Saturday, May 16, 2020

Secukupnya, Bunga


Seorang gadis sedang tersipu malu ketika sang kekasih berlutut di hadapannya sembari menyerahkan cicin dan bunga mawar putih kesukaannya. Selepas menjalani hubungan sekian purnama, terombang-ambing oleh keadaan dan ketidakpastian, akhirnya sang lelaki memiliki keberanian untuk menyatakan keseriusannya. Bunga mawar putih jadi saksi kebahagiaan dua insan yang siap menjejakki babak kehidupan baru.

Di lain tempat, seorang kakek menangis tersedu di atas pusara sembari menaburkan mawar merah. Seminggu lalu sang istri meninggal dunia, setelah setengah abad lebih menjalani kehidupan bersama dengan kasih sayang dan penerimaan yang dirajut setiap saat dan terjaga hingga napas salah satu di antara keduanya menemukan ujungnya. Selama seminggu terakhir, setiap sore kakek selalu berkunjung ke makam nenek, bercerita tentang hari yang ia lalui, sendiri. Sang kakek sudah ikhlas, meski sesekali air mata masih bercucuran deras di pipinya. Tetapi untuk sebuah perpisahan, air mata adalah salah satu cara melegakan, bukan serta merta sebagai wujud ketidakikhlasan. Taburan bunga mawar merah di atas pusara jadi saksi duka berpisahnya dua insan manusia.

Seni kehidupan selalu terdiri dari bahagai dan duka, keduanya wajar dialami siapa saja. Pada suatu episode manusia akan menemukan orang baru dan bahagia bersama, lalu episode berikutnya ia mungkin akan ditinggalkan untuk selama-lamanya hingga duka terasa sesak sekali di dada. Sebuah siklus kehidupan yang wajar, semua manusia akan mengalaminya, seperti bunga yang bisa jadi wujud bahagia ataupun duka.

Maka, untuk dua hal yang bertolak belakang ini baiknya secukupnya saja. Bahagai secukupnya, berduka secukupnya.Sehingga, ketika tiba pada salah satu siklusnya, kita tetap bisa tegap melanjutkan kehidupan.

No comments:

Post a Comment