Friday, February 7, 2014

Kisah Tanpa Judul 3

Sudah satu minggu Ibu di rumah sakit, aku dan Tyo berkunjung ke rumah sakit sewaktu akhir pekan. Kami  diantar Kakung  menggunakan bis, sedangkan Mas Pras lebih memilih naik motor. Terakhir kabar yang aku dengar minggu depan Ibu akan dioperasi, karena kepala tulang paha Ibu sudah digerogoti sel kanker sehingga harus diganti dengan tulang imitasi. Ingin rasanya aku menunggu di rumah sakit, mendampingi Ibu meski hanya di depan pintu ruang operasi , tak apa, setidaknya aku lebih dekat. Tapi keadaan amat tidak memungkinkan. Tepat di hari operasi Ibu aku sedang UAS SD dan Mas Pras UN SMA, hanya Tyo yang bisa berada di rumah sakit karena memang sedang libur. Itu adalah moment terberat, aku benar-benar hilang konsentrasi. Aku sempat protes pada Tuhan, kenapa disaat aku sedang butuh suasana kondusif dan perasaan tenang agar bisa fokus belajar kondisi malah sangat berantakan. Ya, tapi apa mau dikata, beginilah keadaannya. Mau tidak mau, suka tikda suka, harus tetap dijalani.

Selama mengerjakan soal beragam ketakutan  dan bayangan buruk tak hentinya menderu kepalaku. Bagaimana jika operasinya gagal dan Ibu tak bisa berjalan lagi, bagaimana jika kondisi Ibu tiba-tiba memburuk, atau bagaimana jika Ibu......... Ah, lelehan air asin di sudut mataku sudah membasahi lembar jawaban yang masih kubiarkan kosong setengahnya. Aku takut, sangat takut. Kenapa secepat ini semua kondisi berubah, kenapa secepat ini. Tanganku mulai meremas lembar soal hingga nyaris robek.

“Pak, bagaimana operasinya? Ibu sudah sadar? Operasinya berhasil kan? Gimana , Pak?” Tanyaku beruntun tanpa jeda. Usai mengerjakan soal –secara asal— aku memang sengaja langsung melesat pulang, menghampiri benda mati yang menjadi satu-satunya ‘sumber suara’ aku dan Bapak: telpon.

“Nduk, ini Bulik, Bapak sedang masuk ke ruang operasi, tadi dokteranya menyuruh Bapak masuk. Operasinya belum selesai, Nduk. Kamu doakan terus ya.” Suara bulik menandakan kecemasan yang sangat, aku makin lemas.

Di rumah berdua dengan Mas Pras menjadikan suasan amat kaku, aku tahu dia sama kacaunya dengan aku, tapi ya dia penyimpan yang baik. Siang hari menjelang sore, Kakung datang mengajak aku ke rumah sakit. Nampaknya beliau paham benar aku ingin menjenguk Ibu. Tanpa berpikir dua kali, aku terima ajakan Kakung.
“Tidak usah cemas, tidur dulu saja, perjalanan masih jauh.” Kakung membelai lembut rambutku. Dan aku hanya mengangguk pelan sambil kembali menghadap ke jendela, melihat apa saja, menenangkan hati.

***
Sesampainya di rumah sakit rupanya operasi sudah selesai, kulihat banyak kerabat yang menunggu Ibu. Ibu masih tak sadarkan diri setelah tujuh jam masa sulit yang beliau hadapi, obat bius itu masih menyandra kesadaran Ibu. Tyo nampak terkantuk di sisi ranjang tempat Ibu berbaring, Bapak sedang berbincang dengan salah seorang kerabat dengan mata kebas. Semua menoleh kepadaku, menyambut dengan mata belas kasih. Aku melenggang ke arah Ibu, mengelus tangan keriputnya yang membiru saking lamanya  dijejali jarum infus. Kemudian menyapa Tyo yang nampak girang dengan kedatanganku. Tak lama setelah Bapak selesai berbincang aku mendesal minta dipangku.

“Kenapa Bapak menangis? Semua baik-baik saja, bukan? Ibu akan bisa berjalan lagi, kan?” Tanyaku lepas dengan posisi kepala mendongak melihat Bapak.

“Tentu, semua baik-baik saja. Ibu tak hanya akan bisa berjalan, tapi juga bisa berlari. Tadi Bapak diminta Pak Dokter untuk melihat apa yang terjadi dengan kepala tulang paha Ibu. Ah, Bapak tak tega menyaksikan kondisi Ibu. Sulit untuk Bapak ceritakan. Yang jelas, sesuatu yang mebuat Ibu kesakitan selama ini sudah diambil. Ibu akan lebih baik.” Jelas Bapak sambil mengusap-usap kepalaku.

Melihat aku menunduk lesu, Bapak mengalihkan pembicaraan, “Bagaimana ujian hari ini? Berjalan dengan baik kan? Kemarin kata Mas Pras kamu pulang les sendiri ya, tidak menunggu dijemput? Kenapa?”

Aku tersengal mendengar pertanyaan Bapak tentang ujian hari ini, mau baik bagaimana kalau selama ujian aku hanya mengerjakan asal karena semua pikiran tercurah pada kondisi Ibu. Tapi untuk mendamaikan hati Bapak aku mengangguk lemas. “Baik, Pak. Oh iya, kemarin aku menunggu Mas Pras lama sekali jadinya aku pulang sendiri.”

“Syukurlah kalau baik. Kamu yang nurut sama Mas Pras ya, kalau sudah dibilang mau dijemput ya tunggu dulu. Kamu kan tahu Mas Pras juga les untuk menghadapi UN. Lain kali jangan diulangi lagi ya.”

“Iya, Pak.” Kataku disambut dengan tangan Bapak yang mengacak rambutku.

Malam itu aku menginap di rumah sakit, menunggu Ibu. Aku lega melihat Ibu sudah siuman, namun kalut melihat Ibu mulai mengigit bibir menahan sakit, mungkin perih bekas operasi mulai terasa. Di sisi ranjang selain kateter ada selang yang mengalirkan darah dari luka operas Ibu. Ini menyakitkan sekali pastinya, aku hanya bisa berdoa semoga Ibu kuat.

***
Seabrek ujian yang harus aku dan Mas Pras hadapi di jenjang akademik sudah selesai, tinggal ujian hidup yang entah kapan akan selesai. Dua minggu setelah operasi kondisi Ibu makin membaik. Tapi Ibu masih harus meminum minyak ikan –yang bau anyirnya selalu membuat aku bergidik— untuk mempercepat proses keringnya luka bekas operasi. Aku tahu, Ibu akan menempati janjinya untuk sembuh. Dan Ibu tak pernah ingkar janji, tak pernah.

“Aduh, Ibu seperti anak kecil ya harus latihan berjalan.” Ibu sempat membuka candaan ketika aku dan Tyo sedang sama-sama tegang melihat Ibu melangkahkan kakinya untuk pertama kali setelah tiga minggu berbaring di atas ranjang.

“Tidak apa Bu, Ibu tidak seperti anak kecil. Sungguh.” Aku justru merespon candaan Ibu dengan amat serius.
Ibu tersenyum simpul lalu  mengacak rambutku sambil berkata, “Anak pintar, pemahamanmu memang baik, Nduk.”

Memasuki minggu kedua pasca operasi Ibu sudah mulai latihan berjalan. Aku tak lewatkan satu detik pun untuk selalu mendampingi Ibu. Sekadar memegang tangannya atau membantu meletakkan krek yang Ibu gunakan untuk mengganti tumpuan kaki kirinya. Iya, benda asing yang masuk ke dalam tubuh Ibu berbentuk tulang imitasi itu masih perlu adaptasi, sedikit banyak menghalangi kenyamanan berjalan Ibu. Alhasil, untuk beberapa hari ke depan Ibu harus terapi dan latihan berjalan.

Usai operasi wajah Ibu nampak lebih bersinar, nampaknya semangat hidup Ibu mulai bangkit lagi. Aku girang bukan main menyaksikan air muka Ibu yang tak hentinya menyunggingkan senyum, tanpa tahu rasa apa yang sebenarnya ada di balik dada Ibu. Kerabat dan kawan Ibu silih berganti datang memberi dukungan moril, doa, dan buah tangan yang selalu membuat Tyo senang.

“Alhamdulillah kondisinya sudah makin baik. Ya, mereka yang mambuat saya punya semangat baru.” Kata Ibu ketika berbincang dengan salah seorang temannya sambil menunjuk ke arahku dan Tyo yang sedang asyik bermain game.

Memasuki minggu ke empat Ibu sudah bisa pulang. Rasa sakit di lutut yang selama ini Ibu rasakan sudah lenyap, hanya saja Ibu masih harus belajar berjalan. Kesembuhan ‘kecil’ Ibu kali ini berarti amat besar untukku, meski sel biadab itu masih menggerogoti paru-paru Ibu tapi aku tak peduli. Yang aku pedulikan hanyalah: Ibu kembali, bisa berjalan lagi, menemani aku di rumah, mendengarkan ceritaku, itu saja, cukup.






<photo id="1" />

No comments:

Post a Comment