Wednesday, December 11, 2013

Bunga Tidur yang Mekar di Dunia Nyata

Ubun-ubunku disengat panas maha dahsyat, pening sekali. Matahari rupanya sedang ingin cari perhatian, panasnya mendidihkan kepala semua orang.  Barangkali mirip kepalaku ketika usai ulangan Kimia atau semacamnya.  Ruang kelas XII IPA 2 akhirnya menjadi tempat pilihan untuk mendinginkan diri dan merenung sejenak. Entahlah, aku rasa waktu berjalan begitu membabi buta atau mungkin aku yang terlalu men'siput'kan diri. Aku lemaskan badan, menikmati perenungan ini dengan kawan-kawan terbaik semasa kelas XI.

 "Nggak kerasa udah mau lulusan aja." Mitha membuka pembicaraan.

"Iya ya, perasaan belum lama MOS ya. Dibentak-bentak bingung bawa barang PR, eh sekarang udah bingung milih jurusan kuliah." Sahutku kemudian, sambil mengangkat kepala yang sedari tadi aku biarkan terkapar lunglai di atas meja.

Suasana kembali hening, dalam diam seolah kami sepakat untuk bilang 'iya ya,waktu kok cepet banget.' Ketika aku, Mitha, Ina, Linda, Risti dan Rahma asyik dengan lamunan kami masing-masing, terdengar suara sol sepatu yang beradu dengan keramik. Derap langkah yang cukup punya ritme untuk menandakan ada  sepasang langah kaki –yang sangat kami kenal— menuju arah kami. “Woi, Mennn!!!” Teriakan menggelegar dari sesosok manusia berpawakan tinggi, cukup kurus, dengan kulit legam. Menghancurkan hening.
Matanya tajam menyoroti kami satu per satu, mendadak jidatnya mengernyit. Lalu bibirnya ditarik beberapa senti ke arah kiri, entah apa yang ada dibenaknya. Laki-laki yang sekilas nampak garang itu, memang tekadang sulit ditebak. Tarikan napas yang cukup panjang terdengar dari dengus hidungnya, gelagat seperti biasa saat ia akan memberi aba-aba –ketika diadaulat menjadi pemimpin upacara –. Kami menunggu, apa yang akan terjadi selepas napas panjang itu terbuang. “Kalau lagi sama-sama susah, buat yang lain seneng aja dulu. Urusan kita seneng atau enggak, itu belakangan. Ada yang bikin seneng ya Alhamdulillah, tapi kalau nggak ada yang udah. Yang penting, yang lain tetep seneng.” Aku bangkit, menyambar lengannya dengan tonjokan kecil. Kata-kata macam apa itu! Kenapa hanya dengan satu tarikan napas, lantas ia bisa mengeluarkan satu kalimat yang menjawab semua keraguan di pikiran kami? Sebentar, aku dan teman-teman masih di alam bawah sadar, sesekali mengucek-ucek mata, dan menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Bagaimana tidak, seseorang berperangai macam pelakon stand up comedy kini menjelma menjadi manusia super sekelas Mario Teguh. Ituuu! Kini, giliran mata-mata kami yang menyorotnya. Tajam. "Dih. Kalian kenapa?" Tidak tahan dipandangi tak wajar, ia pun mengucap sebuah pertanyaan klise. Sekadar kalimat untuk menyampaikan, 'jangan liatin aku kayak begitu'. Melihat dia kebingungan kami semua tertawa, lepas. "Habis, omonganmu itu hlo. Beneran mau nyaingin Pak Mario." Mitha tak tahan untuk menghakiminya. "Keadaan yang buat aku seperti ini. Hahaha." "Duh, tapi kita lagi stress nih! Mumet!" Kataku menyela tawanya. "Kenape, Set?" "Ya, sewajarnya anak kelas tiga SMA lah. Bingung, habis ini mau kemana." Rahma yang menjawab lalu mendekat ke arahku, tangannya melingkar di leherku. Pandangan matanya seperti bertanya padaku, 'iya kan?'. “Hmmm, ya kejar apa yang kalian impikan lah!”

Seolah mengerti apa yang ingin kami tanyakan, dia kembali berujar sebelum kami lanjut bertanya.

“Kalian tahu kan, aku punya mimpi untuk jadi seorang dokter.  Walaupun aku kebanyakan main, tapi aku nggak pernah main-main sama mimpiku itu. Jas putih itu harus aku pakai di masa depan. Dan untuk pembuktian dari kata-kata ini, dari mimpi ini, saat ini cuma usaha keras dan doa maksimal yang bisa aku lakukan. Aku juga hanya manusia, sebatas pemimpi dan pengharap belas kasih Tuhan. Aku paham prestasi akademikku biasa-biasa saja atau nyaris tidak ada, dan pasti banyak yang mencerca mimpiku yang tidak biasa ini. Tapi buat apa dengar kata orang? Diam saja, cukup buktikan!”

Aku tercengang, seperti tenggelam dalam danau mati lalu mengambang di atasnya. Tenang. Namun sesekali ada ikan-ikan kecil yang menyundul jemari kakiku, membuatku terperanjat dan bangkit dari ketenangan. Iya, kata-kata itu menenangkan dan mengobarkan. Bahkan seorang komedian pun bisa golden ways, pikirku.
Laki-laki yang ‘nampak’ garang yang ternyata punya selera humor tinggi dan juga kerap kali golden ways itu bernama Jaya, teman sekelasku sewaktu kelas XI. Tidak banyak yang tahu di balik kegarangannya dia menyimpan berjuta hal mengejutkan. Dia memang pandai menempatkan diri. Dan yang terpenting, dia tidak pernah pilih-pilih teman!

                                                                                                ***
“Jayaa! Hayo, masa’ rumus seperti itu saja lupa!” Bu Ria nampak kesal melihat Jaya lupa salah satu rumus trigonometri. 

Satu kelas ikut menahan napas, tak tega melihat Jaya kelabakan di depan kelas, tapi kami tak bisa bantu apa-apa. Jaya memang tidak terlalu mahir di mata pelajaran hitungan, Matematika dan Fisika kurasa menjadi musuhnya.

“Ini sudah hampir kenaikan kelas. Kalian jangan sampai sering-sering remidi, nanti bisa-bisa tidak naik kelas. Jaya, kamu harus berhati-hati, nilaimu mengkhawatirkan. Jangan sering-sering meninggalkan kelas ya.” Kali ini Pak Doni guru Fisika yang berganti memperingatkan Jaya.

Jaya memang aktif ikut paskibra dan pramuka, dia juga ketua MPK. Tak heran kalau dia sering ketinggalan pelajaran karena kerap mengikuti kegiatan di luar sekolah.

“Anak kayak begitu, mana bisa jadi dokter. Mimpi kan kudu realistis.” Suara sumbang terdengar dari anak kelas sebelah, yang aku sendiri malas sebut namanya.

Jaya tak gentar, meski sampai naik kelas XII nilainya tak terlalu menggembirakan tapi dia tetap semangat mengejar jas putihnya. Bahkan, semakin dicerca, semakin diremehkan, semakin tidak dipercaya, dia semakin kuat mengejar mimpinya. Fokus, pada jas putih saja.
***

Sayangnya, kelas tiga memecah kebersamaan kami. Aku terdampar di kelas XII IPA 4 bersama Linda, Jaya bersama Mitha dan Risti menempati kelas XII IPA 2, Ina di kelas XII IPA 3, dan Rahma di kelas XII IPA 5. Semetara itu sahabat XI IPA 4 lainnya juga sudah berpencar di seantero kelas IPA. Ah, sedih! Aku dengar sekarang Jaya duduk sebangku dengan Woto, ex XI IPA 4 juga, wah dijamin bakal gokil. Tapi aku hanya bisa menelan ludah karena tak bisa satu forum untuk menggila bersama mereka dua semester ke depan. Jidatku panas seketika. Kesal. Sebal.

Kelas XII berjalan seperti roda grobak siomay abang depan sekolah, cepat sekali putarannya. Serangkaian Try Out, UAS, dan Ujian Praktik terlalui begitu saja. Benar-benar cepat, tak ada adegan slow motion sama sekali!!!! Kemudian UAN menjadi awal tertelannya semua kebersamaan, sebab setelahnya kami akan menempuh jalan kami masing-masing.

26 Mei 2012, sekujur tubuh mengigil di tengah terik matahari yang tengah pongah di atas sana, aneh. Kemudian gigil itu perlahan lumer menjadi satu teriakan serempak yang menggelegar,”LULUSS!!!”. Namun mirisnya, gigil itu datang lagi seper sekian detik setelah teriakan lega kami mengudara. Sebuah ketakutan yang gigilnya berlipat-lipat lebih dahsyat: setelah ini mau kemana dan mau apa?

“WAAAAAAAAAAAAAHH. LULUS KITAA!” Rahma berteriak kencang sekali sembari memeluk erat tubuhku. Sayang, responku kurang baik, standar, biasa, tak antusias.

“Mukamu kenapa? Kusut amat, Set?” Risti menyenggol lenganku, dibarengi Mitha, Ina, Linda, dan Rahma yang melingkar mendekati aku.

Kemudian kuutarakan segala ketakutanku, mereka pun akhirnya paham. Alhasil sore itu, di bawah pohon asem dekat lapangan basket kami menikam kekhawatiran, saling menguatkan, dan percaya semua akan baik-baik saja. Kali ini, tanpa Jaya.
***
“Duh, ini pilihan ketiga apa dong?” Jaya terlihat puyeng mengisi formulir online SBMPTN nya.

“Apa kek yang PG nya jangan lebih tinggi dari pilihn sebelumnya.” Mitha memberi saran.

“Iya ya, yang penting pilihan pertama jas putih.” Mata Jayamengkilat seperti diruntuhi optimisme bermilyar-milyar.

Pagi itu di depan kantor kepala sekolah kami sengaja janjian mengisi formulir pendaftaran SBMPTN bareng-bareng. Sekalian ngisi, sekalian mendoakan satu sama lain biar dimudahkan. Dan di akhir nanti bisa teriak LOLOS bareng.

“Kita ini ngisi buat masa depan hlo, jangan main-main. Doa dulu sebelum ngisi.” Jaya mengingatkan.
Aku tidak banyak komentar, sesekali hanya mencengkram kepala yang mendadak pening. Semalam sudah dibahas dengan keluarga di rumah mau pilih prodi apa, dan ya aku bagai wayang yang mau tak mau melakukan apa yang diinginkan dalang agar ceritanya tetap berlanjut. Tak seperti Jaya yang nampak begitu mantap dengan pilihannya. Meski banyak yang menertawakan,tapi dia tetap kekeuh. Andai aku punya keyakinan seperti Jaya.
Tiga hari masa penentuan itu datang juga. Aku sudah tidak bergairah menjalaninya. Semua soal TPA, dasar, dan IPA malas sekali untuk aku sentuh. Malah setengah jam aku sempat pulas dalam lipatan tanganku. Heran saja aku, kenapa banyak sekali yang begitu gencar ingin kuliah. Entahlah, sejak awal aku memang tak pernah tertarik. Mungkin, karena aku hanya wayang.  Sedang orang-orang yang luar biasa di sekitarku adalah penulis skenario dan sekaligus aktor/aktris dalam hidupnya untuk selanjutnya dikoreksi Tuhan, agar tahu lulus sensor atau tidak.
Sebulan setelahnya, pengumuman itu keluar juga. HP ku berdering bekali-kali, banyak pesan dari teman menanyakan hasilnya. Dengan lincah jemariku mengetik ‘belum rejeki’. Aku juga bertanya pada kawan-kawan yang lain. Hanya Linda yang LOLOS, Teknik Arsitektur UNNES. Bahagia rasanya, setidaknya ada kawan yang bisa memecah mimpinya dengan langkah yang tak terlalu terseok.

Setelah malam itu, Jaya tak terdengar lagi kabarnya. Sampai pada pengumuman jalur mandiri ternyata dia diterima di jurusan Hukum. Kebetulan pada pengumuman itu aku juga diterima di universitas yang sama dengan Jaya, tapi beda fakultas.

Kabar baik terus berdatangan, Ina kuliah di jurusan Hukum Internasional, Mitha akhirnya setelah melewati pertempuran sengit bisa juga kuliah di kebidanan, Rahma tedampar jauh di kota metropolitan sekolah kesehatan, dan Risti di arsitektur. Serangkain ospek dan berbagai tetek bengek sudah dilewati para maru, termasuk aku. Beberapa pekan kuliah aku baru dapat kabar dari seorang teman ketika chat di FB. Sebuah kabar mencengangkan, menggelegarkan.

“Setya, sekarang di mana?”
“Di UNS, kamu di mana Yu’?
“Aku di UGM.”
“Wah. Selamat yaa.”
“Iya. Eh, Jaya keren tuh.”
“Knp? di fakultas hukum dia sekarang.”
“Loh, kamu malah belum tahu Set?”
“Tau apa Yu’?”
“Jaya kan sekarang di UNSOED, Fakultas Kedokteran.”

Glek, serasa mau pingsan aku raih HP dan segera menghubungi Jaya. Sial, no HP nya sudah tidak aktif. Selepas pengumuman aku memang sudah tidak pernah bertanya kabar lagi dengan dia, takut melukai hatinya. Sampai kabar sehebat ini aku malah dengan dari orang lain, ya Tuhan.  Aku putar otak, minta no HP nya ke teman yang lain. Dan akhirnya dapat juga.

“JAYAAA!! KAMU GILAAA!!! GILAAA!”
“Heh, ini siapa?”
“SETYA!!! KAMU GILAAAA!!!” “Woiii men. :D Apa kabar??? Gila gimana??” “KEDOKTERAN UNSOED????!! MEN! AKU TERHARUUUU!!!”
“HAHAHA, santai dulu. Iya, Alhamdulillaaaah, berkat doa kalian juga. Aku dulu juga ampek nangis pas baca pengumuman, nggak nyangka.”
“Ya ampun, Jay! Kamu juga nggak kasih kabar sihhh!!!”
“Maaf, aku ganti no HP dan semua kontak ilang, jadi nggak bisa kasih kabar.”
“Ah, ya udah. Gimana ceritanya bisa ketrima????”
“Ya aku usaha maksimal. Pokonya habis-habisan lah belajarnya, doanya juga. Bumbuku itu cuma usaha+doa (sholat wajib, tahajud, dhuha, dzikir) itu aja, dan Alhamdulillah jadi sekarang :’D.”

Aku mrinding seketika. Benar, Jaya tidak pernah main-main dengan impian jas putihnya. Dari jaya aku belajar banyak, tentu saja tentang mimpi yang harus dikejar mati-matian agar bisa benar-benar jadi  jaya.  Terima kasih Tuhan, sudah hadirkan kawan-kawan luar biasa yang memberiku semangat tanpa  kata-kata, tapi dengan praktik langsung. Saat itu juga aku lantas mengobrak-abrik folder lama, melanjutkan lukisan kata yang mulai usang. Aku haru seperti Jaya, berjuang keras mengusahakan apa yang telah diimpikan. Selamat tinggal wayang, aku akan mulai menulis ceritaku sendiri.

No comments:

Post a Comment