Tuesday, January 15, 2013

PRASASRI 3



Semua bermula  ketika saya menemukan kejanggalan di  kelopak mata saya yang sebelah kiri,ada benjolan seperti timbilen. Rasanya sebenarnya tidak sakit, padahal setahu saya timbilen itu sakit. Tapi, benjolan ini mengganjal dan sangat mengganggu penglihatan saya. Akhirnya saya bilang ke Bapak, dua hari kemudian saya periksa ke dokter umum , kata Pak Dokter yang di mata saya itu memang timbilen tapi tidak bisa hilang sendiri. Jadi harus di bedah. lalu untuk penanganan sementara saya diberi tetes mata dan diberi surat pengantar untuk periksa ke dokter spesialis mata. Takut juga membayangkan mata saya akan di ‘bongkar’, tapi sejujurnya yang jadi pikiran itu pas nanti mata saya diperban, sama sekali tidak terbayangkan bagaimana menyiksanya melihat dengan satu mata.
Beberapa hari berlalu, karena padatnya kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah alias main, saya belum periksa ke dokter spesialis mata. Antara takut, males, dan berbagai alasan busuk lainnya. Hingga pada hari  Senin, 8 Agustus 2011 sudah tidak ada  lagi alasan  yang bisa saya buat  untuk menunda kembali jadwal kunjungan ke dokter spesialis mata. Semua ketakutan saya harus saya tanggalkan hari itu, demi saya sendiri.
Ba’da maghrib seusai sholat dan buka puasa , saya diantar Bapak dan Anan, adik saya, ke dokter mata. Baru masuk ruang pendaftaran pasien saja bulu kuduk saya sudah berdiri, kaki gemetar, pikiran melanglang buana entah ke mana. Dengan sigap Bapak lalu mendaftar antrean pada petugas yang ada. Identitas lengkap saya cukup menjadi syarat untuk bisa berjumpa dengan pak dokter. Dikarenakan masih ada pasien yang tengah diperiksa saya diminta untuk menunggu di kursi tunggu yang berjejer rapi di ruang tunggu.
Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya tiba giliran saya untuk masuk ruang praktik. Wajah tampan dengan senyum memikat serta aura luar biasa yang diapancarkan oleh Pak Dokter menyambut  kedatangan saya di ruang praktik. Tidak terlalu buruk, pekik saya dalam hati. Pak Dokter yang dengan keramahannya mampu menentramkan jiwa raga  itu meminta saya untuk mendekat pada   sebuah alat yang berfungsi untuk mendeteksi materi apa yang ada di mata saya. Alat itu memiliki bentuk seperti teropong, jadi saya meletakkan mata saya seperti saya menggunakan teropong. Begitu Pak Dokter memeriksa dan melakukan analisa, beliau mendeham beberapa kali dan kembali melempar senyum pada saya, sontak saya kembali kelabakan.  Persis seperti dugaan sebelumnya, ini timbilen yang agak bandel lagi kurang ajar sehingga tidak bisa hilang dengan sendirinya. Perlu dilakukan pembedahan agar benjolan yang mengganjal dan menggangu penglihatan ini sirna. Pak Dokter lalu berbincang dengan Bapak, mereka berdua membicarakan tentang nasib mata saya. Saya hanya bisa menunggu, sepenuhnya saya serahkan pada Bapak. Iya, untuk hal seperti ini saya cenderung memilih untuk menjadi anak penurut. Bapak lalu bilang “Di bedah ya.” Sembari menelan ludah, saya mengangguk pelan. Pak Dokter yang mungkin juga merasakan perubahan muka saya dari hancur ke tambah hancur tersenyum geli, lalu berkata “Tenang, Dik. Sebentar kok.” Suara itu, iya suara itu menusuk-nusuk ulu hati dan perlahan menengkan sanubari.
Sebelum di bedah saya harus melakukan check tekanan darah dan gula darah. Alhamdulillah semua normal. Setelah saya dinyatakan siap untuk melakukan proses bedah mata itu Pak Dokter lalu mempersiapkan segala sesuatunya. Sebelum mata saya dibedah, mata saya diberi tetes mata terlebih dahulu. Dari sekian banyak tetes mata yang pernah saya coba, ini adalah tetes mata terkeren yang pernah saya jajal. Maklumlah, sejak kecil saya sudah sangat akrab dengan tetes mata dan juga dokter mata. Saya diminta menunggu sekitar sepuluh menit untuk memastikan tetes mata itu benar-benar berekasi sebagaimana mestinya. Sepuluh menit berlalu dengan cepat dan semakin menghimpit ketakutan saya, tetes mata itu menunjukkan reaksinya. Di luar duagaan,  ia mampu menyulap mata saya menjadi merah padam seperti usai menangis tersedu-sedu, lalu sensasi lain mulai menyusul. Kelopak mata saya serasa kaku, sekonyong-konyong saya kerahkan tenaga untuk berkedip.
Sembari menunggu tetes mata itu bereaksi, Bapak lalu diminta untuk menandatangani sebuah surat, tapi saya tidak tahu surat apa. Mungkin, semacam surat perijinan dari keluarga untuk bilsa dilakukan operasi.
Setelah tetes mata  dipastikan telah benar-benar menguasai mata saya, saya lalu diminta berbaring di sebuah ranjang, sebut saja ranjang pesakitan. Karena hanya orang-orang malang dan orang-orang pilihan yang bisa menjajal empuknya ranjang ini.  Pak Dokter dengan santun mempersilahkan saya berbaring dengan rileks, kemudian dengan telaten beliau membersihkan mata saya dengan menggunakan alcohol. Aroma alcohol yang menusuk-nusuk hidung sangat kontras dengan efeknya yang mampu membuat mata saya terasa dingin. Setelah itu, saya diminta untuk memejamkan mata. Selanjutnya, wajah saya ditutup  menggunakan kain yang hanya  ada satu lubang, yaitu di bagian mata kiri. Kemudian untuk persiapan terakhir mata saya kembali ditetes, tapi menurut saya kali ini rasanya biasa saja tidak sekaget waktu ditetes pertama tadi. Sehabis ditetes saya diminta untuk memejamkan mata lagi. Setelah itu, saya tidak tahu lagi apa yang Pak Dokter lakukan terhadap mata saya yang malang ini. Mungkin Pak Dokter tengah mempersiapkan alat-alat bedahnya. Karena sebelum saya diminta untuk memejamkan mata saya tidak melihat alat-alat medis yang biasanya digunakan untuk melakukan sebuah pembedahan. Di ruang operasi hanya ada saya, Pak Dokter dan satu asistennya. Bapak saya diminta untuk menunggu di luar. Buat saya tidak jadi soal, yang penting doa dari Bapak tetap mengalir untuk saya, saya yakin itu.
Bedah mata dimulai. Dengan mata terpejam halusinasi saya mengembara kemana-mana, membayangkan nasib mata saya, dan sesekali membayangkan wajah tampan Pak Dokter . Halusinasi saya terhenti setelah Pak Dokter menginstruksikan saya untuk mengarahkan bole mata ke bawah, lalu saya merasa kelopak mata saya seperti ditarik ke atas. Perlahan, saya mulai berkawan dengan kegelapan. Saya tidak mampu lagi melihat apa-apa, rasanya saat merem atau pun melek sama saja. Saya tidak lagi melihat cahaya dari lampu yang ada, benar-benar inilah kegelapan. Tiba-tiba ada sensasi baru lagi, mata saya seperti didongkrak pelan-pelan, dan saya mulai merasakan sakit. Tapi semua masih sama, saya tidak melihat apapun, gelap. Suasana menjadi sangat hening, hanya terdengar detak jarum jam dan detak jantung saya yang berdegup kencang. Sesekali saya mendengar  Pak Dokter berkata “Berdoa ya..”.  menurut saya Pak Dokter telah menciptakan suasana bedah mata ini seceria mungkin, tapi tetap saja saya tanggapi dengan dingin. Jujur, karena saya takut. Keramahan Pak Dokter beserta kegantengannyapun tak mampu membuat saya berpaling dari rasa takut ini. Bedah mata masih berlanjut, tiba-tiba saya merasakan mata saya seperti dijugil. Rasanya sakitttttt sekali, benar-benar sakit. Pak dokter seolah mengetahui rintihan rasa sakit saya, beliau lalu berkata “Sebentar lagi yaa,, berdoa yaa..”. sejenak rasa sakit itu menghilang, namun masih berbekas. Beberapa detik kemudian, rasa itu muncul lagi , bahkan kali ini jauh lebih dahsyat. Kemudian saya merasakan ada sesuatu yang di ambil dari mata saya, sakit sekali.  Saya mencoba menikmati rasa sakit itu, berdoa dan berharap kondisi ini segera berlalu. Tak banyak yang bisa saya lakukan ketika menghadapi rasa sakit itu, saya hanya bisa mengepalkan tangan saya dengan kuatnya dan menyatukan jari-jari kaki saya. Tak lama saya merasa mata saya seperti mengendur,  tidak tegang lagi . Perlahan saya bisa kembali melihat semuanya. Walau hanya samar-samar dan sebentar, karena mata saya harus segera diperban. Saya mendengar Pak Dokter berkata “Alhamdulillah” , lirih tapi terdengar jelas di telinga saya.  Pertanda bedah mata selesai. Mata saya kemudian diperban dengan sangat rapi oleh Pak Dokter. Untuk mencairkan suasana, Pak Dokter dengan senyumnya mulai membuka percakapan lagi. Beliau bertanya,  “Sakit ya Dik?” Entah, sepertinya itu memang pertanyaan retoris yang memang tidak memerlukan jawaban. Karena sebelum saya sempat menjawab, Pak Dokter sudah memberikan penjelasan, Beliau kembali berkata  “Operasi di bagian kelopak mata memang lebih sakit dari operasi katarak.”  Mendengar penjelasan dari Pak Dokter barusan saya terperanjat dan nyengir pahit.
Setelah mata saya selesai diperban saya lalu bangkit dari ranjang, Bapak lalu diminta masuk ke ruang operasi . Pak Dokter memberikan saya tiga jenis obat dan sebuah tetes mata untuk memulihkan penglihatan saya. Pak dokter juga mewanti-wanti saya agar tidak mengkonsumsi telur dan gorengan. Iya, timbilen atau bintitan atau dalam bahasa latinnya disebut hordeolum itu bisa disebabkan karena sang penderita tidak menjaga kebersihan mata dan area wajah, terlalu banyak mengkonsumsi telur dan gorengan yang notabene mengandung lemak jenuh. Pak Dokter juga menyuruh saya untuk lebih rajin mebersihkan muka, agar kuman-kumannya sirna. Jadi, mungkin ada kesamaan antara jerawat dengan bintitan, atau mereka masih saudara? Atau bagaimana, entahlah, biar mereka selesaikan sendiri sengketa di antara mereka. Yang jelas, saya jadi introspeksi diri agar tidak terlalu jorok. Iya, selama ini kalau main habis dari jalanan dan kena debu, asap kendaran, sesampainya rumah ya udah cuek langsung melakukan aktivitas lain tanpa peduli kebersihan. Tentunya ini sangat tidak pantas untuk ditiru, tapi saya yakin siapa juga yang mau meniru.
Pak dokter lalu membuatkan saya surat ijin untuk istirahat di rumah selama tiga hari . Setelah semua selesai termasuk urusan administrasi saya lalu pulang. Malam itu saya lalui dengan sangat menyiksa, mata saya senat-senut. Saya salut sama bajak laut yang di TV itu,mereka betah banget matanya ditutup satu. Saya saja baru semalem udah nggak betah. Mungkin ini juga teguran, atau sebuah pembelajaran untuk saya tentang bagaimana seharusnya  mensyukuri dan menjaga baik-baik apa yang telah Allah berikan. Iya, dari hal sepele masalah besar itu terjadi. Waspadalah! Waspadalah!





No comments:

Post a Comment