Semua bermula ketika saya menemukan
kejanggalan di kelopak mata saya yang sebelah kiri,ada
benjolan seperti timbilen. Rasanya sebenarnya
tidak sakit, padahal setahu saya timbilen itu
sakit. Tapi, benjolan ini mengganjal dan sangat mengganggu
penglihatan saya. Akhirnya saya bilang ke Bapak, dua hari kemudian
saya periksa ke dokter umum , kata Pak
Dokter yang di mata saya
itu memang timbilen tapi tidak bisa
hilang sendiri. Jadi harus di bedah. lalu untuk penanganan sementara saya
diberi tetes mata dan diberi surat pengantar untuk periksa ke dokter spesialis mata. Takut juga membayangkan mata saya akan di ‘bongkar’, tapi
sejujurnya yang jadi pikiran itu pas nanti mata saya diperban, sama sekali tidak terbayangkan bagaimana menyiksanya melihat dengan satu mata.
Beberapa hari berlalu, karena
padatnya kegiatan di sekolah maupun
di luar sekolah alias main, saya belum periksa ke
dokter spesialis mata. Antara takut,
males, dan berbagai alasan busuk lainnya.
Hingga pada hari Senin, 8 Agustus 2011
sudah tidak ada lagi alasan yang
bisa saya buat untuk menunda kembali jadwal kunjungan ke dokter spesialis mata.
Semua ketakutan saya harus saya tanggalkan hari itu, demi saya sendiri.
Ba’da maghrib seusai sholat dan buka
puasa , saya diantar Bapak
dan Anan, adik saya, ke dokter mata.
Baru masuk ruang pendaftaran pasien saja
bulu kuduk saya sudah berdiri, kaki gemetar, pikiran melanglang buana entah ke
mana. Dengan sigap Bapak lalu mendaftar
antrean pada petugas yang ada. Identitas lengkap
saya cukup menjadi syarat untuk bisa berjumpa dengan pak dokter. Dikarenakan
masih ada pasien yang tengah diperiksa saya diminta untuk menunggu di kursi
tunggu yang berjejer rapi di ruang tunggu.
Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya
tiba giliran saya untuk masuk
ruang praktik. Wajah tampan dengan senyum memikat serta aura luar biasa
yang diapancarkan oleh Pak Dokter menyambut
kedatangan saya di ruang praktik. Tidak terlalu buruk, pekik saya dalam
hati. Pak Dokter
yang dengan keramahannya mampu menentramkan jiwa raga
itu meminta saya
untuk mendekat pada sebuah alat yang berfungsi untuk mendeteksi materi apa yang ada di mata
saya. Alat itu memiliki bentuk seperti teropong, jadi saya meletakkan mata saya
seperti saya menggunakan teropong. Begitu Pak Dokter memeriksa dan melakukan
analisa, beliau mendeham beberapa kali dan kembali melempar senyum pada saya,
sontak saya kembali kelabakan. Persis
seperti dugaan sebelumnya, ini timbilen yang agak bandel lagi kurang ajar
sehingga tidak bisa hilang dengan sendirinya. Perlu dilakukan pembedahan agar
benjolan yang mengganjal dan menggangu penglihatan ini sirna. Pak Dokter lalu
berbincang dengan Bapak, mereka berdua membicarakan tentang nasib mata saya.
Saya hanya bisa menunggu, sepenuhnya saya serahkan pada Bapak. Iya, untuk hal
seperti ini saya cenderung memilih untuk menjadi anak penurut. Bapak lalu
bilang “Di bedah ya.” Sembari menelan ludah, saya mengangguk pelan. Pak Dokter
yang mungkin juga merasakan perubahan muka saya dari hancur ke tambah hancur
tersenyum geli, lalu berkata “Tenang, Dik. Sebentar kok.” Suara itu, iya suara
itu menusuk-nusuk ulu hati dan perlahan menengkan sanubari.
Sebelum di bedah saya harus melakukan
check tekanan darah dan gula darah. Alhamdulillah semua normal. Setelah saya
dinyatakan siap untuk melakukan proses bedah mata itu Pak Dokter lalu
mempersiapkan segala sesuatunya. Sebelum mata saya dibedah, mata saya diberi tetes
mata terlebih dahulu. Dari sekian banyak tetes mata yang pernah saya coba, ini
adalah tetes mata terkeren yang pernah saya jajal. Maklumlah, sejak kecil saya
sudah sangat akrab dengan tetes mata dan juga dokter mata. Saya diminta menunggu sekitar sepuluh menit untuk
memastikan tetes mata itu benar-benar berekasi sebagaimana mestinya. Sepuluh menit berlalu dengan
cepat dan semakin menghimpit ketakutan saya,
tetes mata itu menunjukkan reaksinya. Di luar duagaan, ia
mampu menyulap mata saya menjadi merah padam seperti usai
menangis tersedu-sedu, lalu sensasi lain mulai menyusul. Kelopak mata saya
serasa kaku, sekonyong-konyong saya kerahkan tenaga untuk berkedip.
Sembari menunggu tetes mata itu
bereaksi, Bapak
lalu diminta untuk menandatangani sebuah surat, tapi saya tidak tahu surat apa. Mungkin, semacam surat perijinan
dari keluarga untuk bilsa dilakukan operasi.
Setelah tetes mata dipastikan telah
benar-benar menguasai mata saya, saya lalu diminta
berbaring di sebuah ranjang, sebut saja
ranjang pesakitan. Karena hanya orang-orang malang dan orang-orang pilihan yang
bisa menjajal empuknya ranjang ini. Pak Dokter
dengan santun mempersilahkan saya berbaring dengan rileks,
kemudian dengan telaten beliau membersihkan mata saya
dengan menggunakan alcohol. Aroma alcohol yang menusuk-nusuk hidung sangat kontras
dengan efeknya yang mampu membuat mata saya terasa dingin. Setelah
itu, saya diminta untuk memejamkan
mata. Selanjutnya,
wajah saya ditutup menggunakan
kain yang hanya
ada satu
lubang, yaitu di bagian mata kiri. Kemudian untuk persiapan terakhir mata saya
kembali ditetes, tapi menurut saya kali ini rasanya biasa saja tidak sekaget
waktu ditetes pertama tadi. Sehabis ditetes saya diminta untuk memejamkan mata lagi. Setelah
itu, saya tidak tahu lagi apa yang Pak
Dokter lakukan terhadap mata saya yang malang ini.
Mungkin Pak Dokter tengah
mempersiapkan alat-alat bedahnya. Karena sebelum saya diminta untuk memejamkan mata saya tidak melihat alat-alat
medis yang biasanya digunakan untuk melakukan sebuah pembedahan. Di
ruang operasi hanya ada saya, Pak
Dokter dan satu
asistennya. Bapak saya diminta untuk menunggu di luar. Buat saya tidak jadi soal, yang
penting doa dari Bapak
tetap mengalir untuk saya, saya yakin itu.
Bedah mata dimulai. Dengan mata terpejam halusinasi saya mengembara kemana-mana,
membayangkan nasib mata saya, dan sesekali membayangkan wajah tampan Pak Dokter
. Halusinasi saya terhenti setelah Pak Dokter menginstruksikan saya untuk
mengarahkan bole mata ke bawah, lalu saya merasa
kelopak mata saya seperti ditarik ke atas. Perlahan,
saya mulai berkawan dengan kegelapan. Saya
tidak mampu lagi melihat apa-apa,
rasanya saat merem
atau pun melek sama saja. Saya tidak lagi melihat
cahaya dari lampu yang ada, benar-benar
inilah kegelapan. Tiba-tiba ada sensasi baru lagi, mata saya
seperti didongkrak pelan-pelan, dan
saya mulai merasakan sakit.
Tapi semua masih sama, saya tidak melihat apapun, gelap. Suasana menjadi sangat
hening, hanya terdengar detak jarum jam dan detak jantung saya yang berdegup
kencang. Sesekali saya mendengar Pak Dokter berkata “Berdoa
ya..”. menurut saya Pak Dokter telah menciptakan
suasana bedah mata ini seceria mungkin, tapi tetap saja saya tanggapi dengan
dingin. Jujur, karena saya takut. Keramahan Pak
Dokter beserta
kegantengannyapun tak mampu membuat saya berpaling dari rasa takut ini. Bedah
mata masih berlanjut, tiba-tiba saya merasakan mata saya seperti dijugil.
Rasanya sakitttttt sekali, benar-benar sakit. Pak dokter seolah mengetahui
rintihan rasa sakit saya, beliau lalu berkata “Sebentar lagi yaa,, berdoa
yaa..”. sejenak rasa sakit itu menghilang, namun masih berbekas. Beberapa detik
kemudian, rasa itu muncul lagi , bahkan kali
ini jauh lebih dahsyat.
Kemudian saya merasakan ada sesuatu yang di ambil dari mata saya, sakit sekali.
Saya mencoba menikmati rasa sakit itu, berdoa dan berharap
kondisi ini segera berlalu. Tak banyak yang bisa saya lakukan ketika menghadapi
rasa sakit itu, saya hanya bisa mengepalkan tangan saya dengan kuatnya dan
menyatukan jari-jari kaki saya. Tak lama saya merasa mata saya seperti
mengendur, tidak tegang lagi . Perlahan saya bisa
kembali melihat semuanya. Walau hanya samar-samar dan sebentar, karena mata
saya harus segera diperban.
Saya mendengar Pak
Dokter berkata
“Alhamdulillah” , lirih tapi terdengar jelas di telinga saya. Pertanda
bedah mata selesai. Mata saya kemudian diperban dengan
sangat rapi oleh Pak
Dokter. Untuk mencairkan suasana, Pak Dokter dengan senyumnya
mulai membuka percakapan lagi. Beliau bertanya, “Sakit ya Dik?” Entah, sepertinya itu memang pertanyaan retoris yang
memang tidak memerlukan jawaban. Karena sebelum saya sempat menjawab, Pak Dokter
sudah memberikan penjelasan, Beliau kembali berkata “Operasi di bagian
kelopak mata memang lebih sakit dari operasi katarak.” Mendengar
penjelasan dari Pak Dokter barusan saya terperanjat dan nyengir pahit.
Setelah mata saya selesai diperban saya
lalu bangkit dari ranjang,
Bapak lalu diminta masuk
ke ruang operasi . Pak Dokter
memberikan saya tiga jenis obat dan sebuah tetes mata untuk memulihkan
penglihatan saya. Pak dokter juga mewanti-wanti saya agar tidak mengkonsumsi
telur dan gorengan. Iya, timbilen atau
bintitan atau dalam bahasa latinnya disebut hordeolum itu bisa disebabkan
karena sang penderita tidak menjaga kebersihan mata dan area wajah, terlalu
banyak mengkonsumsi telur dan gorengan yang notabene mengandung lemak jenuh. Pak
Dokter juga menyuruh saya untuk lebih rajin mebersihkan muka, agar
kuman-kumannya sirna. Jadi, mungkin ada kesamaan antara jerawat dengan
bintitan, atau mereka masih saudara? Atau bagaimana, entahlah, biar mereka
selesaikan sendiri sengketa di antara mereka. Yang jelas, saya jadi introspeksi
diri agar tidak terlalu jorok. Iya, selama ini kalau main habis dari jalanan
dan kena debu, asap kendaran, sesampainya rumah ya udah cuek langsung melakukan
aktivitas lain tanpa peduli kebersihan. Tentunya ini sangat tidak pantas untuk
ditiru, tapi saya yakin siapa juga yang mau meniru.
Pak dokter lalu membuatkan saya surat
ijin untuk istirahat di rumah selama tiga hari . Setelah semua selesai termasuk
urusan administrasi saya lalu pulang. Malam itu saya lalui dengan sangat menyiksa, mata
saya senat-senut. Saya salut sama bajak laut yang di TV itu,mereka betah
banget matanya ditutup satu. Saya saja
baru semalem udah nggak
betah. Mungkin ini juga teguran, atau sebuah pembelajaran untuk
saya tentang bagaimana seharusnya mensyukuri dan menjaga baik-baik apa yang
telah Allah berikan. Iya, dari hal sepele masalah besar itu terjadi. Waspadalah!
Waspadalah!
No comments:
Post a Comment