Sayup-sayup terdengar
adzan Shubuh berkumandang, aku masih
meringkuk di ranjang dan enggan bangkit dari tidur yang tidak terlalu nyenyak
semalam. Ibu yang hari itu tidur di sampingku sudah tidak ada, pasti beliau
sudah terbangun sedari tadi. Ibu memang selalu begitu, bangun lebih awal dari semua
penghuni rumah, menyiapkan keperluan semua anggota keluarga. Dan aku, hanya
tinggal menikmatinya saja, jarang sekali membantu Ibu di pagi hari. Tapi, pagi
itu Ibu terlihat tidak melakukan aktivitas seperti biasanya, beliau sibuk
membongkar isi lemari. Sebuah tas yang biasa kami gunakan untuk pergi ke luar
kota diraihnya, setiap helai baju dilipatnya dan dimasukkan ke dalam tas.
Dengan nyawa yang belum terkumpul dan mata yang masih buram, aku mendekati Ibu.
“Berangkat
jam berapa, Bu?” Tanyaku sambil duduk di dekat Ibu.
“Nanti,
kalau kamu, Tyo, dan Mas Pras sudah berangkat sekolah, Ibu dan Bapak
berangkat.” Ibu menjawab tanpa memandangku.
Esok, aku
tidak bisa lagi bermalas-malasan bangun pagi seperti hari ini dan hari-hari
sebelumnya. Pekerjaan rumah Ibu, mulai esok sudah berpindah menjadi tugasku.
Hari ini Ibu dan Bapak akan pergi ke Jogja, ke sebuah rumah sakit
swasta,rencananya Ibu akan melakukan operasi. Operasi syaraf yang terjepit di
tulang belakang. Semalam, Ibu mempersiapkan segalanya. Mempersiapka segala
keperluanku dan kedua saudara laki-lakiku. Karena aku perempuan sendiri,
tentunya urusan memasak dan pekerjaan rumah lainya Ibu limpahkan padaku. Disebabkan
waktu yang hanya semalam, Ibu hanya sempat mengajariku menanak nasi. Kata Ibu,
yang penting bisa nanak nasi dulu, untuk urusan lauk nanti beli saja. Kemudian cara
mencuci dan menyetlika baju juga Ibu ajarkan malam itu, dan mau tidak mau aku
harus belajar. Aku hanya mengangguk dan sesekali bertanya ketika Ibu mengajariku,
dan Ibu paling mewanti-wanti ketika mengajariku menyetlika. Aku menghela napas
ketika semua instruksi Ibu telah usai. Sejujurnya aku ingin belajar seperti
ini, tapi tidak dalam waktu sesingkat ini dengnan kondisi yang sama sekali
tidak aku inginkan.
“Bu, Pak,
Setya berangkat sekolah ya.” Punggung tangan Bapak dan Ibu aku cium. Ketika aku
mencium punggung tangan Ibu yang mulai keriput, Ibu manarikku, lalu meraih
badanku. Dipeluknya aku, hangat sekali. Tiba-tiba pundakku terasa hangat dan
basah, Ibu menangis. Entah apa yang terjadi, semalam Ibu bilang operasinya
tidak akan lama dan Ibu akan segera pulang, tapi kenapa Ibu sekarang menangis.
Aku tidak mau banyak tanya, aku berusaha percaya seutuhnya apa yang dikatakan
Ibu semalam. Tapi seberapa pun aku percaya, aku juga benci perpisahan. Mataku
mulai memerah, aku sudah tak mampu membendung air mata. Seketika aku sesegukan.
Pelukan Ibu semakin erat, beradu dengan gejolak dan tanda tanya besar dalam
pikiranku tentang kondisi Ibu. Ajaib, pelukan itu mampu menghentikan tangisku,
menenangkanku. Dengan sigap Ibu lalu membangkitakn badanku, menghapus air
mataku, lengkap dengan kecupan hangat di kening dan kedua pipiku. Tas sekolah
aku raih, ini langkah terberat pergi ke sekoalah. Sebab nanti ketika pulang,
untuk pertama kalinya aku tidak akan bertemu ke dua malaikat duniaku dalam
waktu yang entah sampai kapan.
Di sekolah
aku hanya mematung di bangku. Meletakkan kepalaku di atas ke dua tangan yang
bersedekap di atas meja. Teman-teman nampak kewalahan mengajakku bermain karena
sama sekali tidak aku gubris. Siang itu, aku malas sekali pulang ke rumah. Tapi
tiba-tiba pekerjaan rumah menghantui, aku belum nanak nasi. Bergegas aku
meninggalkan SD N 6 Wonogiri, sekolahku. Belakangan ini, semenjak Ibu
bolak-balik ke rumah sakit aku jadi lebih sering melompat pagar belakang
sekolah ketika pulang. Aku ingin segera sampai rumah, dan mengetahui kondisi
terkini Ibu. Sudah sebulan belakangan Ibu mengeluh sakit pada lutut kirinya,
Bapak lalu memaksa Ibu untuk periksa di rumah sakit umum di Solo. Kabar baik,
Ibu hanya perlu mengikuti terapi selama tiga minggu dan sakitnya akan hilang.
Tapi ternyata tak semulus yang kami bayangkan, kaki Ibu tak kunjung sembuh
meski paket terapi sudah habis. Setelah konsultasi pada seorang dokter, Ibu
lalu memberanikan diri untuk periksa ke dokter spesialis syaraf di Jogja. Kala
itu aku ikut, miris! Setelah melakukan check up, Ibu diharuskan menjalani
operasi. Yang membuat kami tersentak, operasi harus dilakukan sesegera mungkin
dan Ibu harus diopname malam itu juga. Namun dengan tegas Ibu menolak, dalam
kondisi segenting itu Ibu masih memikirkan kami, anak-anaknya. Mana mungkin Ibu
akan meninggalkan kami tanpa bekal apa-apa, dengan bersi kukuh Ibu memaksa
dokter untuk mengundurnya. Sehari, iya mengundurnya sehari untuk mengajriku
nanan nasi dan cuci baju.
Rumah masih
tampak lengang, Tyo tertidur di depan TV. Anak itu, selalu lebih kuat dari aku.
Dengan langkah gontai aku masuk kamar, terlihat sebuah surat bertengger manis
di atas meja belajar. sudah ku duga itu pasti surat dari Ibu, setiap kali akan
pergi Ibu pasti meninggalkan surat. Kuhempaskan tubuhku di atas ranjang,
sembari perlahan aku baca surat itu.
Dik
Setya+Dik Tyo yts. .
Dik hati-hati yaa, doakan ibu agar selamat dan lancar,dapat kembali sehat lagi. Dik Setya nanti pulang sekolah ketempat Mbak Bela ya njaga Mas Faras. Dik Tyo diajak, jangan dinakali ya, makan dulu.
Wis yaa . .
Cium dan peluk sayang
Ibuk
Dik hati-hati yaa, doakan ibu agar selamat dan lancar,dapat kembali sehat lagi. Dik Setya nanti pulang sekolah ketempat Mbak Bela ya njaga Mas Faras. Dik Tyo diajak, jangan dinakali ya, makan dulu.
Wis yaa . .
Cium dan peluk sayang
Ibuk
Air mataku
lagi-lagi menetes tak karuan. Setelah melipat surat itu dan menaruhnya di
lemari aku melangkahkan kaki menuju dapur. Aku kaget bukan kepalang di meja
makan sudah terhidang banyak makanan, padahal seingatku tadi pagi Ibu tidak
sempat memasak. Setelah aku amati masakan-masakan itu, aku mulai menyadari
bahwa itu bukan masakan Ibu. Ya, aku hapal betul masakan Ibu, bahkan hanya
dengan melihatnya saja aku sudah bisa mengenalinya. Tapi tak penting masakan
siapa, yang jelas aku lega bisa makan tanpa harus repot-repot beli lauk. Tinggal
masak nasi, dan makan. Setelah aku usai memasak nasi, Tyo terbangun dan
buru-buru menuju ke arahku.
“Mbak, tadi
di kasih lauk sama Bu Camat. Warungnya kan baru buka.” Kata Tyo sembari
mengolet.
“Ow. Iya,
nanti kita kembalikan pring-piringnya dan bilang terima kasih.” Tandasku sambil
meraih tudung saji di meja makan lalu menutupkannya.
Usai nasi
masak, aku dan Tyo lantas segera menyantap hidangan yang ada. Selezat apa pun
masakan ini, batinku tetap bergelayut pada masakan Ibu yang tidak ada
tandingannya. Mas Pras belum pulang, barangkali dia akan pulang sore karena
mengikuti les. Seperti instruksi dari Ibu, setelah mengembalikan piring-piring
kepada Bu Camat, kami lalu menuju rumah sepupu kami yang jaraknya tidak begitu
jauh dari rumah.
Malam ini
hening sekali, Mas Pras sibuk dengan komputernya, Tyo sibuk membisu di depan
TV, dan aku berusaha sekuat tenaga untuk membaca buku tapi tidak konsen sama
sekali. Kuraih gagang telepon, aku telepon rumah sakit dimana Ibu dirawat. Iya,
tadi siang Bapak telpon melalui telepon rumah sakit dan memintaku menghubungi
rumah sakit jika terjadi sesuatu atau hanya sekedar ingin mendengar suara Bapak
dan Ibu.
“Halo,
Selamat malam. Ada yang bisa dibantu?” Suara nyaring dari seorang wanita
terdengar di ujung telepon.
“Selamat
malam, saya minta tolong disambungkan dengan kamar No. 56.” Kataku sedikit
gugup.
“Baiklah,
tolong tunggu sebentar.” Suara nyaring itu kembali menyeruak.
Tidak begitu
lama kemudian aku sudah terhubung dengan Ibu, aku menceritakan apa saja yang
sudah terjadi hari ini. Sesekali Ibu tertawa dan mendeham. Di ujung
pembicaraan, aku bertanya pada Ibu,
“Bu, kapan
pulang?” Aku tahu ini pertanyaan yang sangat memberatkan bagi Ibu. Sebenarnya aku
tak tega menanyakan ini, tapi hatiku terus bergejolak. Karena tak kunjung ada
jawaban, aku mengalihkan pembicaraan.
“Eh, Ibu
diinfus? Di sana enak tidak Bu makannya? Ibu sekarang gimana kondisinya?”
Tanyaku beruntun, agar Ibu lupa tentang pertanyaanku tadi “Kapan pulang?”.
“Tidak, Nduk.
Ibu tidak diinfus. Ibu masih seperti biasanya kok. Makanan di sini enak-enak,
Nduk. O iya, soal kapan pulang. Ibu belum bisa memastikan. Hari ini Ibu
melakukan banyak check up, dan hasilnya baru keluar beberapa hari ke depan. Kalau
badan Ibu sehat, Ibu bisa segera operasi dan pulang. Doakan saja ya, Nduk.”
Jelas Ibu.
Masih lama,
pekikku dalam hati. Tyo yang sedari tadi duduk manis di sampingku tiba-tiba
meraih gagang telpon yang masih melekat di kupingku. Kubiarkan dia meraihnya,
dan kusaksikan banyak pertanyaan ia lontarkan pada Ibu. Hebatnya, dia tidak
cengeng sepertiku. Padahal usianya jauh lebih belia dariku, Tyo masih kelas 1
SD sedangkan aku sudah kelas 6 SD.
Tiga hari
berlalu tanpa Bapak dan Ibu. Aktivitas pagiku seperti biasa, usai salat aku langsung
masak air untuk membuat susu. Lalu menanak nasi, dan kalau sempat ya menyuci
baju. Mas Pras bertugas membeli lauk. Sedang Tyo, hanya aku minta untuk
menemani di dapur atau kalau tidak aku biarkan dia tidur lagi. Aku dan Tyo satu
sekolah, kita selalu berangkat bersama.
Siang itu ketika
jam istirahat tiba, Luki menyusulku di perpustakaan. Kebetulan sejak kelas 6
ini aku mendapat tugas sebagai sekertaris perpustakaan. Tugasku sederhana,
hanya memberikan kartu perpustakan pada anak-anak yang akan meminjam buku dan mencatatnya
pada buku perpustakaan. Aku sangat menikmati tugas ini, karena dengan begitu
aku juga bisa tahu lebih banyak buku yang ada di perpustakaan. Luki duduk di dekatku, lalu menyenggol lenganku
yang tengah sibuk mencatat buku-buku yang dipinjam. Aku paham kode dari Luki,
lalu aku mengentikan sejenak kesibukanku.
“Ada apa,
Ki?” Tanyaku tanpa bertele-tele.
“Aku punya
kabar gembira buatmu!” Ujar Luki antusias.
“Apa??”
Tanyaku penasaran.
“Tadi, aku
ketemu sama Bu Siti. Kita diminta untuk ikut latihan bikin sinopsis lagi buat
perlombaan, akan ada seleksi lagi. Nanti sore, kita sama-sama ke rumah Bu Siti
ya? Ini kesempatan baik buatmu! Dulu kan kamu nyaris mau maju lomba, siapa tahu
kali ini benar-benar lolos. Aku tunggu di rel kereta biasa kita kumpul ya. Jam 4!”
Luki menjelaskan padaku tentang kabar gembira itu tanpa jeda, dia bercerita
dengan semangat berkobar-kobar.
Sekolah kami
memang terkenal sering memenangi juara lomba sinopsisi, jadi setiap kali akan
diadakan seleksi kami sangat antusias. Apalagi aku, yang notabene sangat gemar membaca
dan menulis. Ketika kelas 5 aku juga mengikuti pelatihan sinopsis di rumah Bu
Siti, guru Bahasa Indonesia kami. Kala itu cara menulisku dinilai sudah cukup
baik, tapi karena aku tidak pandai presentasi jadi aku belum berhasil ikut
lomba. Karena kegagalan itu, kau mau memperbaikinya di seleksi berikutnya. Berbeda
denganku, Luki hanya ingin menambah pengalaman saja dan tidak telalu berharap
untuk bisa ikut lomba.
“Aku nggak
bisa, Ki.” Tukasku singkat.
“Apa???? Aku
tahu kamu itu pengen banget ikut lomba kan? Kenapa sekarang ada kesempatan kamu
nggak ikut?? Kamu takut gagal lagi?” Luki nampak kesal setelah mendengar
jawabanku.
“Bukan,
bukan gitu. Jujur aku pengen ikut tapi keadaanku tidak memungkinkan.” Aku mulai
murung.
“Kenapa?” Luki
seolah mendesakku untuk terus bercerita.
“Ibuku,
Ibuku sakit. Sekarang di rawat di rumah sakit yang ada di Jogja. Pekerjaan rumah
sekarang jadi tanggung jawabku, tapi itu sebenarnya tidak jadi soal karena aku
bisa mengerjakannya pagi hari. Tapi, Tyo sama siapa kalau aku latihan sinopsis.
Mas Pras sekarang sedang sibuk ikut les dan juga ikut bimbingan belajar untuk
bisa masuk perguruan tinggi, dia kan sudah kelas 3 SMA. Aku juga tidak mau dia
terlalu repot memikirkan aku dan Tyo. Sedangkan kau tau sendiri, latihan
sinopsis itu sangat menyita waktu. Kita bisa pulang malam atau bahkan menginap
di rumah Bu Siti. Mana aku bisa, Ki.” Akhirnya aku mencurahkan semuanya pada
Luki.
Keadaan menjadi
hening. Luki menunduk dan berhenti memaksaku untuk mengikuti latihan itu. Dulu,
ketika kelas 5 aku pernah ikut letihan membuat sinopsis di rumah Bu Siti. Waktu
itu aku berangkat pukul 16.00 WIB, tapi karena aku terlalu asyik menulis aku
baru pulang sekitar pukul 21.00 WIB. Sebelumnya ketika ba’da Isya’ Ibu dan Tyo
sudah menjemputku . Tapi aku menolak di
ajak pulang, “Tanggung, Bu” kataku pada Ibu yang sudah susah payah menjemputku.
Aku memang tidak bisa dipaksa, Ibu lalu mebiarkanku tetap menulis. Dan aku
pulang diantar suaminya Bu Siti.
“Ya sudah,
kalau begitu alasanmu. Aku turut prihatin, kamu yang sabar ya. Nanti aku bilang
ke Bu Siti soal ini. Karena tadi beliau menanyakanmu.” Kata-kata Luki
menghancurkan hening yang tiba-tiba hadir. Tangannya lalu menepuk-nepuk
lenganku, pertanda menguatkan. Aku pun tersenyum, senyum yang sangat aku
paksakan.
Sekonyong-konyong
kau langkahkan kaki menuju rumah, ingin segera menghempas badanku di atas
ranjang. Tiba-tiba kepalaku pening, mungkin terlalu memikirkan lomba sinopsis. Dengan
berat hati aku mengubur dalam-dalam mimpi yang sudah aku idamkan sejak dulu
itu. Tiba-tiba telepon rumah berdering, Ibu menelpon. Kabar baik, akhir pekan
ini karena libur tiga hari aku akan dijemput Bapak dan sama-sama menjenguk Ibu
ke Jogja. Sebentar lagi rindu ini sirna, sungguh bertemu dengan Ibu adalah obat
mujarab untuk menyembuhakan luka apa saja. Seketika, lomba sinopsis itu tak
lagi menghujam jantungku. Bayang-bayang wajah Ibu enjadi pelipur lara yang
mendamaikan hati.
Setelah perpisahan
dengan Ibu, aku merasa banyak hal yang berubah dariku. Aku belajar untuk tidak
lagi menjadi anak manja yang apa-apa tinggal minta. Keadaan yang mendesakku
untuk berubah, atau barangkali ini memang cara Allah untuk merubahku. Sungguh,
Allah selalu punya cara untuk menegur hamba-Nya dan menuntun hamba-Nya pada
jalan yang benar. .