Thursday, January 17, 2013

PRASASRI 4



Sayup-sayup terdengar adzan Shubuh  berkumandang, aku masih meringkuk di ranjang dan enggan bangkit dari tidur yang tidak terlalu nyenyak semalam. Ibu yang hari itu tidur di sampingku sudah tidak ada, pasti beliau sudah terbangun sedari tadi. Ibu memang selalu begitu, bangun lebih awal dari semua penghuni rumah, menyiapkan keperluan semua anggota keluarga. Dan aku, hanya tinggal menikmatinya saja, jarang sekali membantu Ibu di pagi hari. Tapi, pagi itu Ibu terlihat tidak melakukan aktivitas seperti biasanya, beliau sibuk membongkar isi lemari. Sebuah tas yang biasa kami gunakan untuk pergi ke luar kota diraihnya, setiap helai baju dilipatnya dan dimasukkan ke dalam tas. Dengan nyawa yang belum terkumpul dan mata yang masih buram, aku mendekati Ibu.
“Berangkat jam berapa, Bu?” Tanyaku sambil duduk di dekat Ibu.
“Nanti, kalau kamu, Tyo, dan Mas Pras sudah berangkat sekolah, Ibu dan Bapak berangkat.” Ibu menjawab tanpa memandangku.
Esok, aku tidak bisa lagi bermalas-malasan bangun pagi seperti hari ini dan hari-hari sebelumnya. Pekerjaan rumah Ibu, mulai esok sudah berpindah menjadi tugasku. Hari ini Ibu dan Bapak akan pergi ke Jogja, ke sebuah rumah sakit swasta,rencananya Ibu akan melakukan operasi. Operasi syaraf yang terjepit di tulang belakang. Semalam, Ibu mempersiapkan segalanya. Mempersiapka segala keperluanku dan kedua saudara laki-lakiku. Karena aku perempuan sendiri, tentunya urusan memasak dan pekerjaan rumah lainya Ibu limpahkan padaku. Disebabkan waktu yang hanya semalam, Ibu hanya sempat mengajariku menanak nasi. Kata Ibu, yang penting bisa nanak nasi dulu, untuk urusan lauk nanti beli saja. Kemudian cara mencuci dan menyetlika baju juga Ibu ajarkan malam itu, dan mau tidak mau aku harus belajar. Aku hanya mengangguk dan sesekali bertanya ketika Ibu mengajariku, dan Ibu paling mewanti-wanti ketika mengajariku menyetlika. Aku menghela napas ketika semua instruksi Ibu telah usai. Sejujurnya aku ingin belajar seperti ini, tapi tidak dalam waktu sesingkat ini dengnan kondisi yang sama sekali tidak aku inginkan.
“Bu, Pak, Setya berangkat sekolah ya.” Punggung tangan Bapak dan Ibu aku cium. Ketika aku mencium punggung tangan Ibu yang mulai keriput, Ibu manarikku, lalu meraih badanku. Dipeluknya aku, hangat sekali. Tiba-tiba pundakku terasa hangat dan basah, Ibu menangis. Entah apa yang terjadi, semalam Ibu bilang operasinya tidak akan lama dan Ibu akan segera pulang, tapi kenapa Ibu sekarang menangis. Aku tidak mau banyak tanya, aku berusaha percaya seutuhnya apa yang dikatakan Ibu semalam. Tapi seberapa pun aku percaya, aku juga benci perpisahan. Mataku mulai memerah, aku sudah tak mampu membendung air mata. Seketika aku sesegukan. Pelukan Ibu semakin erat, beradu dengan gejolak dan tanda tanya besar dalam pikiranku tentang kondisi Ibu. Ajaib, pelukan itu mampu menghentikan tangisku, menenangkanku. Dengan sigap Ibu lalu membangkitakn badanku, menghapus air mataku, lengkap dengan kecupan hangat di kening dan kedua pipiku. Tas sekolah aku raih, ini langkah terberat pergi ke sekoalah. Sebab nanti ketika pulang, untuk pertama kalinya aku tidak akan bertemu ke dua malaikat duniaku dalam waktu yang entah sampai kapan.
Di sekolah aku hanya mematung di bangku. Meletakkan kepalaku di atas ke dua tangan yang bersedekap di atas meja. Teman-teman nampak kewalahan mengajakku bermain karena sama sekali tidak aku gubris. Siang itu, aku malas sekali pulang ke rumah. Tapi tiba-tiba pekerjaan rumah menghantui, aku belum nanak nasi. Bergegas aku meninggalkan SD N 6 Wonogiri, sekolahku. Belakangan ini, semenjak Ibu bolak-balik ke rumah sakit aku jadi lebih sering melompat pagar belakang sekolah ketika pulang. Aku ingin segera sampai rumah, dan mengetahui kondisi terkini Ibu. Sudah sebulan belakangan Ibu mengeluh sakit pada lutut kirinya, Bapak lalu memaksa Ibu untuk periksa di rumah sakit umum di Solo. Kabar baik, Ibu hanya perlu mengikuti terapi selama tiga minggu dan sakitnya akan hilang. Tapi ternyata tak semulus yang kami bayangkan, kaki Ibu tak kunjung sembuh meski paket terapi sudah habis. Setelah konsultasi pada seorang dokter, Ibu lalu memberanikan diri untuk periksa ke dokter spesialis syaraf di Jogja. Kala itu aku ikut, miris! Setelah melakukan check up, Ibu diharuskan menjalani operasi. Yang membuat kami tersentak, operasi harus dilakukan sesegera mungkin dan Ibu harus diopname malam itu juga. Namun dengan tegas Ibu menolak, dalam kondisi segenting itu Ibu masih memikirkan kami, anak-anaknya. Mana mungkin Ibu akan meninggalkan kami tanpa bekal apa-apa, dengan bersi kukuh Ibu memaksa dokter untuk mengundurnya. Sehari, iya mengundurnya sehari untuk mengajriku nanan nasi dan cuci baju.
Rumah masih tampak lengang, Tyo tertidur di depan TV. Anak itu, selalu lebih kuat dari aku. Dengan langkah gontai aku masuk kamar, terlihat sebuah surat bertengger manis di atas meja belajar. sudah ku duga itu pasti surat dari Ibu, setiap kali akan pergi Ibu pasti meninggalkan surat. Kuhempaskan tubuhku di atas ranjang, sembari perlahan aku baca surat itu.
Dik Setya+Dik Tyo yts. .

Dik hati-hati yaa, doakan ibu agar selamat dan lancar,dapat kembali sehat lagi. Dik Setya nanti pulang sekolah ketempat Mbak Bela ya njaga Mas Faras. Dik Tyo diajak, jangan dinakali ya, makan dulu.
Wis yaa . .

Cium dan peluk sayang

Ibuk
Air mataku lagi-lagi menetes tak karuan. Setelah melipat surat itu dan menaruhnya di lemari aku melangkahkan kaki menuju dapur. Aku kaget bukan kepalang di meja makan sudah terhidang banyak makanan, padahal seingatku tadi pagi Ibu tidak sempat memasak. Setelah aku amati masakan-masakan itu, aku mulai menyadari bahwa itu bukan masakan Ibu. Ya, aku hapal betul masakan Ibu, bahkan hanya dengan melihatnya saja aku sudah bisa mengenalinya. Tapi tak penting masakan siapa, yang jelas aku lega bisa makan tanpa harus repot-repot beli lauk. Tinggal masak nasi, dan makan. Setelah aku usai memasak nasi, Tyo terbangun dan buru-buru menuju ke arahku.
“Mbak, tadi di kasih lauk sama Bu Camat. Warungnya kan baru buka.” Kata Tyo sembari mengolet.
“Ow. Iya, nanti kita kembalikan pring-piringnya dan bilang terima kasih.” Tandasku sambil meraih tudung saji di meja makan lalu menutupkannya.
Usai nasi masak, aku dan Tyo lantas segera menyantap hidangan yang ada. Selezat apa pun masakan ini, batinku tetap bergelayut pada masakan Ibu yang tidak ada tandingannya. Mas Pras belum pulang, barangkali dia akan pulang sore karena mengikuti les. Seperti instruksi dari Ibu, setelah mengembalikan piring-piring kepada Bu Camat, kami lalu menuju rumah sepupu kami yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah.
Malam ini hening sekali, Mas Pras sibuk dengan komputernya, Tyo sibuk membisu di depan TV, dan aku berusaha sekuat tenaga untuk membaca buku tapi tidak konsen sama sekali. Kuraih gagang telepon, aku telepon rumah sakit dimana Ibu dirawat. Iya, tadi siang Bapak telpon melalui telepon rumah sakit dan memintaku menghubungi rumah sakit jika terjadi sesuatu atau hanya sekedar ingin mendengar suara Bapak dan Ibu.
“Halo, Selamat malam. Ada yang bisa dibantu?” Suara nyaring dari seorang wanita terdengar di ujung telepon.
“Selamat malam, saya minta tolong disambungkan dengan kamar No. 56.” Kataku sedikit gugup.
“Baiklah, tolong tunggu sebentar.” Suara nyaring itu kembali menyeruak.
Tidak begitu lama kemudian aku sudah terhubung dengan Ibu, aku menceritakan apa saja yang sudah terjadi hari ini. Sesekali Ibu tertawa dan mendeham. Di ujung pembicaraan, aku bertanya pada Ibu,
“Bu, kapan pulang?” Aku tahu ini pertanyaan yang sangat memberatkan bagi Ibu. Sebenarnya aku tak tega menanyakan ini, tapi hatiku terus bergejolak. Karena tak kunjung ada jawaban, aku mengalihkan pembicaraan.
“Eh, Ibu diinfus? Di sana enak tidak Bu makannya? Ibu sekarang gimana kondisinya?” Tanyaku beruntun, agar Ibu lupa tentang pertanyaanku tadi “Kapan pulang?”.
“Tidak, Nduk. Ibu tidak diinfus. Ibu masih seperti biasanya kok. Makanan di sini enak-enak, Nduk. O iya, soal kapan pulang. Ibu belum bisa memastikan. Hari ini Ibu melakukan banyak check up, dan hasilnya baru keluar beberapa hari ke depan. Kalau badan Ibu sehat, Ibu bisa segera operasi dan pulang. Doakan saja ya, Nduk.” Jelas Ibu.
Masih lama, pekikku dalam hati. Tyo yang sedari tadi duduk manis di sampingku tiba-tiba meraih gagang telpon yang masih melekat di kupingku. Kubiarkan dia meraihnya, dan kusaksikan banyak pertanyaan ia lontarkan pada Ibu. Hebatnya, dia tidak cengeng sepertiku. Padahal usianya jauh lebih belia dariku, Tyo masih kelas 1 SD sedangkan aku sudah kelas 6 SD.
Tiga hari berlalu tanpa Bapak dan Ibu. Aktivitas pagiku seperti biasa, usai salat aku langsung masak air untuk membuat susu. Lalu menanak nasi, dan kalau sempat ya menyuci baju. Mas Pras bertugas membeli lauk. Sedang Tyo, hanya aku minta untuk menemani di dapur atau kalau tidak aku biarkan dia tidur lagi. Aku dan Tyo satu sekolah, kita selalu berangkat bersama.  
Siang itu ketika jam istirahat tiba, Luki menyusulku di perpustakaan. Kebetulan sejak kelas 6 ini aku mendapat tugas sebagai sekertaris perpustakaan. Tugasku sederhana, hanya memberikan kartu perpustakan pada anak-anak yang akan meminjam buku dan mencatatnya pada buku perpustakaan. Aku sangat menikmati tugas ini, karena dengan begitu aku juga bisa tahu lebih banyak buku yang ada di perpustakaan. Luki  duduk di dekatku, lalu menyenggol lenganku yang tengah sibuk mencatat buku-buku yang dipinjam. Aku paham kode dari Luki, lalu aku mengentikan sejenak kesibukanku.
“Ada apa, Ki?” Tanyaku tanpa bertele-tele.
“Aku punya kabar gembira buatmu!” Ujar Luki antusias.
“Apa??” Tanyaku penasaran.
“Tadi, aku ketemu sama Bu Siti. Kita diminta untuk ikut latihan bikin sinopsis lagi buat perlombaan, akan ada seleksi lagi. Nanti sore, kita sama-sama ke rumah Bu Siti ya? Ini kesempatan baik buatmu! Dulu kan kamu nyaris mau maju lomba, siapa tahu kali ini benar-benar lolos. Aku tunggu di rel kereta biasa kita kumpul ya. Jam 4!” Luki menjelaskan padaku tentang kabar gembira itu tanpa jeda, dia bercerita dengan semangat berkobar-kobar.
Sekolah kami memang terkenal sering memenangi juara lomba sinopsisi, jadi setiap kali akan diadakan seleksi kami sangat antusias. Apalagi aku, yang notabene sangat gemar membaca dan menulis. Ketika kelas 5 aku juga mengikuti pelatihan sinopsis di rumah Bu Siti, guru Bahasa Indonesia kami. Kala itu cara menulisku dinilai sudah cukup baik, tapi karena aku tidak pandai presentasi jadi aku belum berhasil ikut lomba. Karena kegagalan itu, kau mau memperbaikinya di seleksi berikutnya. Berbeda denganku, Luki hanya ingin menambah pengalaman saja dan tidak telalu berharap untuk bisa ikut lomba.
“Aku nggak bisa, Ki.” Tukasku singkat.
“Apa???? Aku tahu kamu itu pengen banget ikut lomba kan? Kenapa sekarang ada kesempatan kamu nggak ikut?? Kamu takut gagal lagi?” Luki nampak kesal setelah mendengar jawabanku.
“Bukan, bukan gitu. Jujur aku pengen ikut tapi keadaanku tidak memungkinkan.” Aku mulai murung.
“Kenapa?” Luki seolah mendesakku untuk terus bercerita.
“Ibuku, Ibuku sakit. Sekarang di rawat di rumah sakit yang ada di Jogja. Pekerjaan rumah sekarang jadi tanggung jawabku, tapi itu sebenarnya tidak jadi soal karena aku bisa mengerjakannya pagi hari. Tapi, Tyo sama siapa kalau aku latihan sinopsis. Mas Pras sekarang sedang sibuk ikut les dan juga ikut bimbingan belajar untuk bisa masuk perguruan tinggi, dia kan sudah kelas 3 SMA. Aku juga tidak mau dia terlalu repot memikirkan aku dan Tyo. Sedangkan kau tau sendiri, latihan sinopsis itu sangat menyita waktu. Kita bisa pulang malam atau bahkan menginap di rumah Bu Siti. Mana aku bisa, Ki.” Akhirnya aku mencurahkan semuanya pada Luki.
Keadaan menjadi hening. Luki menunduk dan berhenti memaksaku untuk mengikuti latihan itu. Dulu, ketika kelas 5 aku pernah ikut letihan membuat sinopsis di rumah Bu Siti. Waktu itu aku berangkat pukul 16.00 WIB, tapi karena aku terlalu asyik menulis aku baru pulang sekitar pukul 21.00 WIB. Sebelumnya ketika ba’da Isya’ Ibu dan Tyo sudah  menjemputku . Tapi aku menolak di ajak pulang, “Tanggung, Bu” kataku pada Ibu yang sudah susah payah menjemputku. Aku memang tidak bisa dipaksa, Ibu lalu mebiarkanku tetap menulis. Dan aku pulang diantar suaminya Bu Siti.
“Ya sudah, kalau begitu alasanmu. Aku turut prihatin, kamu yang sabar ya. Nanti aku bilang ke Bu Siti soal ini. Karena tadi beliau menanyakanmu.” Kata-kata Luki menghancurkan hening yang tiba-tiba hadir. Tangannya lalu menepuk-nepuk lenganku, pertanda menguatkan. Aku pun tersenyum, senyum yang sangat aku paksakan.
Sekonyong-konyong kau langkahkan kaki menuju rumah, ingin segera menghempas badanku di atas ranjang. Tiba-tiba kepalaku pening, mungkin terlalu memikirkan lomba sinopsis. Dengan berat hati aku mengubur dalam-dalam mimpi yang sudah aku idamkan sejak dulu itu. Tiba-tiba telepon rumah berdering, Ibu menelpon. Kabar baik, akhir pekan ini karena libur tiga hari aku akan dijemput Bapak dan sama-sama menjenguk Ibu ke Jogja. Sebentar lagi rindu ini sirna, sungguh bertemu dengan Ibu adalah obat mujarab untuk menyembuhakan luka apa saja. Seketika, lomba sinopsis itu tak lagi menghujam jantungku. Bayang-bayang wajah Ibu enjadi pelipur lara yang mendamaikan hati.
Setelah perpisahan dengan Ibu, aku merasa banyak hal yang berubah dariku. Aku belajar untuk tidak lagi menjadi anak manja yang apa-apa tinggal minta. Keadaan yang mendesakku untuk berubah, atau barangkali ini memang cara Allah untuk merubahku. Sungguh, Allah selalu punya cara untuk menegur hamba-Nya dan menuntun hamba-Nya pada jalan yang benar. .

Wednesday, January 16, 2013

ELERSFOUR 1



Akhirnya saya tiba pada fase yang harus saya tapaki untuk menuju puncak tertinggi. Setahun dengan bintang satu ternyata bukan waktu yang lama, dan kini bintang satu di lengan kiri saya sudah betambah menjadi dua. Kelas sosial adalah pilihan dari sekolah untuk  saya tempati, kontras dengan kemauan mas dan bapak saya. Adalah XI IPS 2,yang menjadi  tempat labuhan sementara mimpi indah dan harapan saya yang masih tergantung dalam angan-angan semu di langit-langit lamunan saya.  Menjadi bendahara kelas adalah amanah besar yang harus saya emban kala itu. Satu minggu berlalu dengan mereka, masa-masa adaptasipun sudah mulai terlewati, ini tidak seburuk yang saya kira. Walaupun rasa canggung itu tidak mungkin bisa terpungkiri keberadaannya. Namun, waktu memupuskan segalanya. Ditambah teman sebangku saya adalah Arin, yaitu teman sebangku saya juga ketika kelas X. Hal itu jelas menjadikan saya semakin mudah untuk beradaptasi. Tak terasa sampai juga pada minggu ke dua. Parianty adalah sebutan mereka untuk saya, dan saya meyukainya. Pada minggu inilah, semua kembali dipertaruhkan. Mimpi dan segalanya akan segera diperjelas arahnya. Rabu, 21 Juli 2010 di Laboratorium Biologi, tes pindah jurusan dilaksanakan. Tes tersebut diikuti oleh empat belas siswa, diawasi oleh satu orang bapak guru, dengan dua puluh soal yang terdiri dari  lima soal tiap-tiap mapel (Matematika, Kimia, Fisika, Biologi). Di mana saya dan seorang sahabat saya sejak kelas  X, yaitu Bintan berada di antara empat belas siswa tersebut. Sedangkan Arin memilih bertahan di IPS. Dua kerangka manusia yang berada tepat di hadapan saya seperti memberi amunisi semangat kepada saya, namun saya tidak beranjak dari ketidak mengertian. Soal ini semacam kemoterapi, yang memiliki dampak berkepanjangan dan membuat rambut rontok secara perlahan. Saya hanya bisa memainkan pensil dan mencorat-coret sesuka saya di selembar buram yang seyogyanya dipergunakan untuk menghitung hitungan yang terdapat dalam soal tersebut. Tapi, saya terlanjur optimis tidak bisa mengerjakan soal, sehingga melamun adalah pilihan yang sangat tepat sembari menunggu bel berbunyi. Bintan yang begitu fasih mengerjakan soal nampak prihatin melihat keadaan lembar jawab saya yang begitu mengenaskan. Akhirnya dia membantu saya.
Selepas tes tersebut, bagi saya sudah tidak ada lagi harapan yang pantas untuk saya pertahankan. Saya kubur dalam-dalam untuk masuk kelas IPA dan saya kokohkan semangat saya  untuk mengejar mimpi hingga puncak tertinggi di IPS. Bahkan saya sudah ikhlas mendengar orasi menjatuhkan yang bernada tinggi dari beberapa pihak tentang pilihan saya ini. Dan saya mulai menikmatinya, menikmati semuanya. Bahkan semua hal yang bermaksud menjatuhkan saya pun saya nikmati sebagai ajang pendewasaan diri.
Tiba waktu pengumuman pindah jurusan, ada delapan siswa yang dipanggil ke kantor guru. Saya dan Bintan termasuk di antaranya, dengan bermacam argument kami semua melangkahkan kaki menuju kantor guru. Pak kepala sekolah lalu mengabarkan kabar gembira pada kami, bawasanya kami direstui untuk bermigrasi ke kelas IPA. Saya seperti mati rasa, dan seketika lantas menatap Bintan dengan tatapan nanar. Kami gembira. Hari itu, Sabtu, 24 Juli 2010 mungkin adalah awal yang sebenarnya untuk memulai segalanya. Allah barangkali punya rencana lain dalam hidup saya di tengah keterbatasan yang saya miliki. Saya sangat berterima kasih kepada Bintan dan semua orang yang sudah terlibat dalam perjuangan ini.
Teman-teman saya yang sejak awal berada di kelas IPA pun turut antusias mendengar berita bahwa saya akan segera bermigrasi ke kelas IPA. Ditambah ternyata kita akan sekelas, bahagia tiada tara rasanya. Namun, tiba-tiba kesedihan mendera begitu dahsyat dan memaksa saya menepi sejenak dari segala persiapan untuk memulai segalanya dari awal di kelas IPA. Saya menjadi murung ketika melihat di papan pengumuman bahwa saya dan Bintan tidak sekelas. Bintan singgah di XI IPA 5 dan saya terdampar di XI IPA 4. Iya, XI IPA 4 adalah tempat dimana saya akan menetap selama dua semester. Ketakutan tentang mitos anak IPA yang serba ‘kaku’ dan sangat ‘keakuan’benar-benar menyiutkan nyali saya.
Dengan langkah gontai dan jantung yang berdegup tak beraturan kaki saya melangkah sedikit menyeret ke kelas XI IPA 4. Pijakan pertama di bibir pintu, keramaian membuncah. Semua berbincang tentang PR Matematika, PR Kimia, dan pelajaran lainnya. Kepala saya tiba-tiba mendidih, mendidih sebelum dipanaskan. Ini tempat macam apa, pekik saya dalam hati sembari menelan ludah dan menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Setelah memilih bangku ke tiga dari depan, posisi yang saya rasa nyaman dan aman, saya rebahkan punggung saya pada sandaran kursi. Saya menengadah ke langit-langit ruang kelas, ‘adaptasi lagi’ suara saya lirih sembari menutup mata sejenak. Berharap ketika saya buka mata, semua menjadi lebih baik. Tiba-tiba suara kencang dari mulut pintu menyeruak, ‘ASRIIIIIIIIIIIIII’. Sontak saya tercengang. Ratih, Ain, Dessy dan Indah terlihat antusias ketika mendapati saya sudah duduk manis di ruang kelas mereka. Saya juga tak kalah antusias, meski dengan ketakutan yang segudang tapi saya bahagia bisa sekelas dengan mereka. Teman sebangku saya adalah Eka, dia juga mantan penghuni IPS seperti saya.
Saya amati satu persatu wajah anak XI IPA 4, terbesit rasa aneh ketika memandangi mereka satu-satu. Mereka tidak semenakutkan yang saya bayangkan, mereka masih bisa terkekeh-kekeh menertawakan hal-hal konyol dari banyolan yang mereka ciptakan. Sesekali saya ikut terpekik, dan pada akhirnya tawa saya membaur dengan tawa mereka. Kebetulan kala itu sedang diadakan perayaan ulang tahun SMA, jadi tentunya banyak perlombaan antar kelas. XI IPA 4 juga mengikuti perlombaan itu dengan antusias meski dengan sedikit nyleneh. Presiden Republik XI IPA 4, Onika, mengajak pasukannya menyusun strategi. Usai olah raga, kami masih bertahan di lapangan untuk membicarakan siapa saja yang akan mewakili kelas untuk mengikuti beberapa perlombaan yang ada. Dalam forum agak absurd itu, saya tiba-tiba merasa sudah menjadi bagian dari XI IPA 4,sungguh ini adaptasi yang sangat cepat dan menyenangkan.
Saya mulai bisa akrab dengan penduduk XI IPA 4, dan canda tawa itu membuncah setiap saat. Mereka juga bahu membahu membantu saya untuk mengejar ketertinggalan dalam mengikuti pelajaran, dengan suka rela mereka meminjamkan buku catatan mereka untuk saya salin. Sungguh, mitos tentang anak IPA itu tidak berlaku di XI IPA 4. Semua ketakutan saya menguap.
Acara tumpengan yang mewajibkan setiap kelas membuat nasi tumpeng semakin menyatukan kita. Usai dihias dan dinilai kami santap bersama-sama nasi tumpeng tersebut. Kami tidak peduli tumpeng itu akan menang atau tidak, yang ada dalam pikiran kami hanyalah kebersamaan menyantap nasi tumpeng lengkap dengan antek-anteknya. Sungguh, kehangatan tercipta di sini.
Saya merasa beruntung bisa mengalami masa-masa transisi hanya dalam kurun waktu satu bulan. Merasakan kesuperan kelas IPS, dan dengan keajaiban yang luar biasa akhirnya saya terdampar pada kelas IPA yang amazing. Saya merasa teramat bodoh telah menyangka penduduk XI IPA 4 dengan praduga tak bersalah. Menilai segala sesuatu dari satu sudut pandang saja memang sering menghadirkan luka setelah sudut pandang lain bisa terlihat. XI IPA 4 adalah kelas IPA yang berjiwa sosial tingkat tinggi. Di sinilah, kisah-kisah konyol, gokil, dan tidak terlupakan itu akan dimulai. Bersama penduduk Republik XI IPA 4. 

 

Tuesday, January 15, 2013

PRASASRI 3



Semua bermula  ketika saya menemukan kejanggalan di  kelopak mata saya yang sebelah kiri,ada benjolan seperti timbilen. Rasanya sebenarnya tidak sakit, padahal setahu saya timbilen itu sakit. Tapi, benjolan ini mengganjal dan sangat mengganggu penglihatan saya. Akhirnya saya bilang ke Bapak, dua hari kemudian saya periksa ke dokter umum , kata Pak Dokter yang di mata saya itu memang timbilen tapi tidak bisa hilang sendiri. Jadi harus di bedah. lalu untuk penanganan sementara saya diberi tetes mata dan diberi surat pengantar untuk periksa ke dokter spesialis mata. Takut juga membayangkan mata saya akan di ‘bongkar’, tapi sejujurnya yang jadi pikiran itu pas nanti mata saya diperban, sama sekali tidak terbayangkan bagaimana menyiksanya melihat dengan satu mata.
Beberapa hari berlalu, karena padatnya kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah alias main, saya belum periksa ke dokter spesialis mata. Antara takut, males, dan berbagai alasan busuk lainnya. Hingga pada hari  Senin, 8 Agustus 2011 sudah tidak ada  lagi alasan  yang bisa saya buat  untuk menunda kembali jadwal kunjungan ke dokter spesialis mata. Semua ketakutan saya harus saya tanggalkan hari itu, demi saya sendiri.
Ba’da maghrib seusai sholat dan buka puasa , saya diantar Bapak dan Anan, adik saya, ke dokter mata. Baru masuk ruang pendaftaran pasien saja bulu kuduk saya sudah berdiri, kaki gemetar, pikiran melanglang buana entah ke mana. Dengan sigap Bapak lalu mendaftar antrean pada petugas yang ada. Identitas lengkap saya cukup menjadi syarat untuk bisa berjumpa dengan pak dokter. Dikarenakan masih ada pasien yang tengah diperiksa saya diminta untuk menunggu di kursi tunggu yang berjejer rapi di ruang tunggu.
Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya tiba giliran saya untuk masuk ruang praktik. Wajah tampan dengan senyum memikat serta aura luar biasa yang diapancarkan oleh Pak Dokter menyambut  kedatangan saya di ruang praktik. Tidak terlalu buruk, pekik saya dalam hati. Pak Dokter yang dengan keramahannya mampu menentramkan jiwa raga  itu meminta saya untuk mendekat pada   sebuah alat yang berfungsi untuk mendeteksi materi apa yang ada di mata saya. Alat itu memiliki bentuk seperti teropong, jadi saya meletakkan mata saya seperti saya menggunakan teropong. Begitu Pak Dokter memeriksa dan melakukan analisa, beliau mendeham beberapa kali dan kembali melempar senyum pada saya, sontak saya kembali kelabakan.  Persis seperti dugaan sebelumnya, ini timbilen yang agak bandel lagi kurang ajar sehingga tidak bisa hilang dengan sendirinya. Perlu dilakukan pembedahan agar benjolan yang mengganjal dan menggangu penglihatan ini sirna. Pak Dokter lalu berbincang dengan Bapak, mereka berdua membicarakan tentang nasib mata saya. Saya hanya bisa menunggu, sepenuhnya saya serahkan pada Bapak. Iya, untuk hal seperti ini saya cenderung memilih untuk menjadi anak penurut. Bapak lalu bilang “Di bedah ya.” Sembari menelan ludah, saya mengangguk pelan. Pak Dokter yang mungkin juga merasakan perubahan muka saya dari hancur ke tambah hancur tersenyum geli, lalu berkata “Tenang, Dik. Sebentar kok.” Suara itu, iya suara itu menusuk-nusuk ulu hati dan perlahan menengkan sanubari.
Sebelum di bedah saya harus melakukan check tekanan darah dan gula darah. Alhamdulillah semua normal. Setelah saya dinyatakan siap untuk melakukan proses bedah mata itu Pak Dokter lalu mempersiapkan segala sesuatunya. Sebelum mata saya dibedah, mata saya diberi tetes mata terlebih dahulu. Dari sekian banyak tetes mata yang pernah saya coba, ini adalah tetes mata terkeren yang pernah saya jajal. Maklumlah, sejak kecil saya sudah sangat akrab dengan tetes mata dan juga dokter mata. Saya diminta menunggu sekitar sepuluh menit untuk memastikan tetes mata itu benar-benar berekasi sebagaimana mestinya. Sepuluh menit berlalu dengan cepat dan semakin menghimpit ketakutan saya, tetes mata itu menunjukkan reaksinya. Di luar duagaan,  ia mampu menyulap mata saya menjadi merah padam seperti usai menangis tersedu-sedu, lalu sensasi lain mulai menyusul. Kelopak mata saya serasa kaku, sekonyong-konyong saya kerahkan tenaga untuk berkedip.
Sembari menunggu tetes mata itu bereaksi, Bapak lalu diminta untuk menandatangani sebuah surat, tapi saya tidak tahu surat apa. Mungkin, semacam surat perijinan dari keluarga untuk bilsa dilakukan operasi.
Setelah tetes mata  dipastikan telah benar-benar menguasai mata saya, saya lalu diminta berbaring di sebuah ranjang, sebut saja ranjang pesakitan. Karena hanya orang-orang malang dan orang-orang pilihan yang bisa menjajal empuknya ranjang ini.  Pak Dokter dengan santun mempersilahkan saya berbaring dengan rileks, kemudian dengan telaten beliau membersihkan mata saya dengan menggunakan alcohol. Aroma alcohol yang menusuk-nusuk hidung sangat kontras dengan efeknya yang mampu membuat mata saya terasa dingin. Setelah itu, saya diminta untuk memejamkan mata. Selanjutnya, wajah saya ditutup  menggunakan kain yang hanya  ada satu lubang, yaitu di bagian mata kiri. Kemudian untuk persiapan terakhir mata saya kembali ditetes, tapi menurut saya kali ini rasanya biasa saja tidak sekaget waktu ditetes pertama tadi. Sehabis ditetes saya diminta untuk memejamkan mata lagi. Setelah itu, saya tidak tahu lagi apa yang Pak Dokter lakukan terhadap mata saya yang malang ini. Mungkin Pak Dokter tengah mempersiapkan alat-alat bedahnya. Karena sebelum saya diminta untuk memejamkan mata saya tidak melihat alat-alat medis yang biasanya digunakan untuk melakukan sebuah pembedahan. Di ruang operasi hanya ada saya, Pak Dokter dan satu asistennya. Bapak saya diminta untuk menunggu di luar. Buat saya tidak jadi soal, yang penting doa dari Bapak tetap mengalir untuk saya, saya yakin itu.
Bedah mata dimulai. Dengan mata terpejam halusinasi saya mengembara kemana-mana, membayangkan nasib mata saya, dan sesekali membayangkan wajah tampan Pak Dokter . Halusinasi saya terhenti setelah Pak Dokter menginstruksikan saya untuk mengarahkan bole mata ke bawah, lalu saya merasa kelopak mata saya seperti ditarik ke atas. Perlahan, saya mulai berkawan dengan kegelapan. Saya tidak mampu lagi melihat apa-apa, rasanya saat merem atau pun melek sama saja. Saya tidak lagi melihat cahaya dari lampu yang ada, benar-benar inilah kegelapan. Tiba-tiba ada sensasi baru lagi, mata saya seperti didongkrak pelan-pelan, dan saya mulai merasakan sakit. Tapi semua masih sama, saya tidak melihat apapun, gelap. Suasana menjadi sangat hening, hanya terdengar detak jarum jam dan detak jantung saya yang berdegup kencang. Sesekali saya mendengar  Pak Dokter berkata “Berdoa ya..”.  menurut saya Pak Dokter telah menciptakan suasana bedah mata ini seceria mungkin, tapi tetap saja saya tanggapi dengan dingin. Jujur, karena saya takut. Keramahan Pak Dokter beserta kegantengannyapun tak mampu membuat saya berpaling dari rasa takut ini. Bedah mata masih berlanjut, tiba-tiba saya merasakan mata saya seperti dijugil. Rasanya sakitttttt sekali, benar-benar sakit. Pak dokter seolah mengetahui rintihan rasa sakit saya, beliau lalu berkata “Sebentar lagi yaa,, berdoa yaa..”. sejenak rasa sakit itu menghilang, namun masih berbekas. Beberapa detik kemudian, rasa itu muncul lagi , bahkan kali ini jauh lebih dahsyat. Kemudian saya merasakan ada sesuatu yang di ambil dari mata saya, sakit sekali.  Saya mencoba menikmati rasa sakit itu, berdoa dan berharap kondisi ini segera berlalu. Tak banyak yang bisa saya lakukan ketika menghadapi rasa sakit itu, saya hanya bisa mengepalkan tangan saya dengan kuatnya dan menyatukan jari-jari kaki saya. Tak lama saya merasa mata saya seperti mengendur,  tidak tegang lagi . Perlahan saya bisa kembali melihat semuanya. Walau hanya samar-samar dan sebentar, karena mata saya harus segera diperban. Saya mendengar Pak Dokter berkata “Alhamdulillah” , lirih tapi terdengar jelas di telinga saya.  Pertanda bedah mata selesai. Mata saya kemudian diperban dengan sangat rapi oleh Pak Dokter. Untuk mencairkan suasana, Pak Dokter dengan senyumnya mulai membuka percakapan lagi. Beliau bertanya,  “Sakit ya Dik?” Entah, sepertinya itu memang pertanyaan retoris yang memang tidak memerlukan jawaban. Karena sebelum saya sempat menjawab, Pak Dokter sudah memberikan penjelasan, Beliau kembali berkata  “Operasi di bagian kelopak mata memang lebih sakit dari operasi katarak.”  Mendengar penjelasan dari Pak Dokter barusan saya terperanjat dan nyengir pahit.
Setelah mata saya selesai diperban saya lalu bangkit dari ranjang, Bapak lalu diminta masuk ke ruang operasi . Pak Dokter memberikan saya tiga jenis obat dan sebuah tetes mata untuk memulihkan penglihatan saya. Pak dokter juga mewanti-wanti saya agar tidak mengkonsumsi telur dan gorengan. Iya, timbilen atau bintitan atau dalam bahasa latinnya disebut hordeolum itu bisa disebabkan karena sang penderita tidak menjaga kebersihan mata dan area wajah, terlalu banyak mengkonsumsi telur dan gorengan yang notabene mengandung lemak jenuh. Pak Dokter juga menyuruh saya untuk lebih rajin mebersihkan muka, agar kuman-kumannya sirna. Jadi, mungkin ada kesamaan antara jerawat dengan bintitan, atau mereka masih saudara? Atau bagaimana, entahlah, biar mereka selesaikan sendiri sengketa di antara mereka. Yang jelas, saya jadi introspeksi diri agar tidak terlalu jorok. Iya, selama ini kalau main habis dari jalanan dan kena debu, asap kendaran, sesampainya rumah ya udah cuek langsung melakukan aktivitas lain tanpa peduli kebersihan. Tentunya ini sangat tidak pantas untuk ditiru, tapi saya yakin siapa juga yang mau meniru.
Pak dokter lalu membuatkan saya surat ijin untuk istirahat di rumah selama tiga hari . Setelah semua selesai termasuk urusan administrasi saya lalu pulang. Malam itu saya lalui dengan sangat menyiksa, mata saya senat-senut. Saya salut sama bajak laut yang di TV itu,mereka betah banget matanya ditutup satu. Saya saja baru semalem udah nggak betah. Mungkin ini juga teguran, atau sebuah pembelajaran untuk saya tentang bagaimana seharusnya  mensyukuri dan menjaga baik-baik apa yang telah Allah berikan. Iya, dari hal sepele masalah besar itu terjadi. Waspadalah! Waspadalah!