Sayup-sayup terdengar adzan Shubuh berkumandang, aku masih meringkuk
di ranjang dan enggan bangkit dari tidur yang tidak terlalu nyenyak
semalam. Ibu yang hari itu tidur di sampingku sudah tidak ada, pasti
beliau sudah terbangun sedari tadi. Ibu memang selalu begitu, bangun
lebih awal dari semua penghuni rumah, menyiapkan keperluan semua anggota
keluarga. Dan aku, hanya tinggal menikmatinya saja, jarang sekali
membantu Ibu di pagi hari. Tapi, pagi itu Ibu terlihat tidak melakukan
aktivitas seperti biasanya, beliau sibuk membongkar isi lemari. Sebuah
tas yang biasa kami gunakan untuk pergi ke luar kota diraihnya, setiap
helai baju dilipatnya dan dimasukkan ke dalam tas. Dengan nyawa yang
belum terkumpul dan mata yang masih buram, aku mendekati Ibu.
“Berangkat jam berapa, Bu?” Tanyaku sambil duduk di dekat Ibu.
“Nanti, kalau kamu, Tyo, dan Mas Pras sudah berangkat sekolah, Ibu dan Bapak berangkat.” Ibu menjawab tanpa memandangku.
Esok, aku tidak bisa lagi bermalas-malasan bangun pagi seperti hari
ini dan hari-hari sebelumnya. Pekerjaan rumah Ibu mulai esok sudah
berpindah menjadi tugasku. Hari ini Ibu dan Bapak akan pergi ke Jogja,
ke sebuah rumah sakit swasta,rencananya Ibu akan melakukan operasi.
Operasi syaraf yang terjepit di tulang belakang. Semalam, Ibu
mempersiapkan segalanya. Mempersiapka segala keperluanku dan kedua
saudara laki-lakiku. Karena aku perempuan sendiri, tentunya urusan
memasak dan pekerjaan rumah lainya Ibu limpahkan padaku. Disebabkan
waktu yang hanya semalam, Ibu hanya sempat mengajariku menanak nasi.
Kata Ibu, yang penting bisa nanak nasi dulu, untuk urusan lauk nanti
beli saja. Kemudian cara mencuci dan menyetrika baju juga Ibu ajarkan
malam itu, dan mau tidak mau aku harus belajar. Aku hanya mengangguk dan
sesekali bertanya ketika Ibu menjelaskan ini dan itu. Aku menghela
napas ketika semua instruksi Ibu telah usai. Sejujurnya aku ingin
belajar seperti ini, tapi tidak dalam waktu sesingkat ini dengnan
kondisi yang sama sekali tidak aku inginkan.
“Bu,
Pak, Riya berangkat sekolah ya.” Punggung tangan Bapak dan Ibu aku cium.
Ketika aku mencium punggung tangan Ibu yang mulai keriput, Ibu
manarikku, lalu meraih badanku. Dipeluknya aku, hangat sekali. Tiba-tiba
pundakku terasa hangat dan basah, Ibu menangis. Entah apa yang terjadi,
semalam Ibu bilang operasinya tidak akan lama dan Ibu akan segera
pulang, tapi kenapa Ibu sekarang menangis. Aku tidak mau banyak tanya,
aku berusaha percaya seutuhnya apa yang dikatakan Ibu semalam. Tapi
seberapa pun aku percaya, aku juga benci perpisahan. Mataku mulai
memerah, aku sudah tak mampu membendung air mata. Seketika aku
sesegukan. Pelukan Ibu semakin erat, beradu dengan gejolak dan tanda
tanya besar dalam pikiranku tentang kondisi Ibu. Ajaib, pelukan itu
mampu menghentikan tangisku, menenangkanku. Dengan sigap Ibu lalu
membangkitakn badanku, menghapus air mataku, lengkap dengan kecupan
hangat di kening dan kedua pipiku. Tas sekolah aku raih, ini langkah
terberat pergi ke sekoalah seumur hidupku. Sebab nanti ketika pulang,
untuk pertama kalinya aku tidak akan bertemu ke dua malaikat duniaku
dalam waktu yang entah sampai kapan.
Di sekolah aku
hanya mematung di bangku. Meletakkan kepalaku di atas ke dua tangan yang
bersedekap di atas meja. Teman-teman nampak kewalahan mengajakku
bermain karena sama sekali tidak aku gubris. Siang itu, aku malas sekali
pulang ke rumah. Tapi tiba-tiba pekerjaan rumah menghantui, aku belum
nanak nasi. Bergegas aku meninggalkan SD N 6 Wonogiri, sekolahku.
Belakangan ini, semenjak Ibu bolak-balik ke rumah sakit aku jadi lebih
sering melompat pagar belakang sekolah ketika pulang. Aku ingin segera
sampai rumah, dan mengetahui kondisi terkini Ibu. Sudah sebulan
belakangan Ibu mengeluh sakit pada lutut kirinya, Bapak lalu memaksa Ibu
untuk periksa di rumah sakit umum di Solo. Kabar baik, Ibu hanya perlu
mengikuti terapi selama tiga minggu dan sakitnya akan hilang. Tapi
ternyata tak semulus yang kami bayangkan, kaki Ibu tak kunjung sembuh
meski paket terapi sudah habis. Setelah konsultasi pada seorang dokter,
Ibu lalu memberanikan diri untuk periksa ke dokter spesialis syaraf di
Jogja. Kala itu aku ikut, miris! Setelah melakukan check up, Ibu
diharuskan menjalani operasi. Yang membuat kami tersentak, operasi harus
dilakukan sesegera mungkin dan Ibu harus diopname malam itu juga. Namun
dengan tegas Ibu menolak, dalam kondisi segenting itu Ibu masih
memikirkan kami, anak-anaknya. Mana mungkin Ibu akan meninggalkan kami
tanpa bekal apa-apa, dengan bersi kukuh Ibu memaksa dokter untuk
mengundurnya. Sehari, iya mengundurnya sehari untuk mengajariku nanak
nasi dan cuci baju.
Rumah masih tampak lengang, Tyo
tertidur di depan TV. Anak itu, selalu lebih kuat dari aku. Dengan
langkah gontai aku masuk kamar, terlihat sebuah surat bertengger manis
di atas meja belajar. Sudah ku duga itu pasti surat dari Ibu, setiap
kali akan pergi Ibu pasti meninggalkan surat. Kuhempaskan tubuhku di
atas ranjang, sembari perlahan aku baca surat itu.
Dik Riya+Dik Tyo yts. .
Dik
hati-hati yaa, doakan ibu agar selamat dan lancar,dapat kembali sehat
lagi. Dik Riya nanti pulang sekolah ketempat Mbak Bela ya njaga Mas
Faras. Dik Tyo diajak, jangan dinakali ya, makan dulu.
Wis yaa . .
Cium dan peluk sayang
Ibuk
Air
mataku lagi-lagi menetes tak karuan. Setelah melipat surat itu dan
menaruhnya di lemari aku melangkahkan kaki menuju dapur. Aku kaget bukan
kepalang di meja makan sudah terhidang banyak makanan, padahal
seingatku tadi pagi Ibu tidak sempat memasak. Setelah aku amati
masakan-masakan itu, aku mulai menyadari bahwa itu bukan masakan Ibu.
Ya, aku hapal betul masakan Ibu, bahkan hanya dengan melihatnya saja aku
sudah bisa mengenalinya. Tapi tak penting masakan siapa, yang jelas aku
lega bisa makan tanpa harus repot-repot beli lauk. Tinggal masak nasi,
dan makan. Setelah aku usai memasak nasi, Tyo terbangun dan buru-buru
menuju ke arahku.
“Mbak, tadi di kasih lauk sama Bu Camat. Warungnya kan baru buka.” Kata Tyo sembari merenggangkan tangannya keatas.
“Ow. Iya, nanti kita kembalikan pring-piringnya dan bilang terima
kasih.” Tandasku sambil meraih tudung saji di meja makan lalu
menutupkannya.
Usai nasi masak, aku dan Tyo lantas
segera menyantap hidangan yang ada. Selezat apa pun masakan ini, batinku
tetap bergelayut pada masakan Ibu yang tidak ada tandingannya. Mas Pras
belum pulang, barangkali dia akan pulang sore karena mengikuti les.
Seperti instruksi dari Ibu, setelah mengembalikan piring-piring kepada
Bu Camat, kami lalu menuju rumah sepupu kami yang jaraknya tidak begitu
jauh dari rumah.
Malam ini hening sekali, Mas Pras
sibuk dengan komputernya, Tyo sibuk membisu di depan TV, dan aku
berusaha sekuat tenaga untuk membaca buku tapi tidak konsen sama sekali.
Kuraih gagang telepon, aku telepon rumah sakit dimana Ibu dirawat. Iya,
tadi siang Bapak telpon melalui telepon rumah sakit dan memintaku
menghubungi rumah sakit jika terjadi sesuatu atau hanya sekedar ingin
mendengar suara Bapak dan Ibu.
“Halo, Selamat malam. Ada yang bisa dibantu?” Suara nyaring dari seorang wanita terdengar di ujung telepon.
“Selamat malam, saya minta tolong disambungkan dengan kamar No. 56.” Kataku sedikit gugup.
“Baiklah, tolong tunggu sebentar.” Suara nyaring itu kembali menyeruak.
Tidak berapa lama kemudian aku sudah terhubung dengan Ibu, aku
menceritakan apa saja yang sudah terjadi hari ini. Sesekali Ibu tertawa
dan mendeham. Di ujung pembicaraan, aku bertanya pada Ibu,
“Bu,
kapan pulang?” Aku tahu ini pertanyaan yang sangat memberatkan bagi
Ibu. Sebenarnya aku tak tega menanyakan ini, tapi hatiku terus
bergejolak. Karena tak kunjung ada jawaban, aku mengalihkan pembicaraan.
“Eh, Ibu diinfus? Di sana enak tidak Bu makannya?
Ibu sekarang gimana kondisinya?” Tanyaku beruntun, agar Ibu lupa tentang
pertanyaanku tadi “Kapan pulang?”.
“Tidak, Nduk.
Ibu tidak diinfus. Ibu masih seperti biasanya kok. Makanan di sini
enak-enak, Nduk. O iya, soal kapan pulang. Ibu belum bisa memastikan.
Hari ini Ibu melakukan banyak check up, dan hasilnya baru keluar
beberapa hari ke depan. Kalau badan Ibu sehat, Ibu bisa segera operasi
dan pulang. Doakan saja ya, Nduk.” Jelas Ibu. Masih lama, pekikku
dalam hati.
Tyo yang sedari tadi duduk manis di
sampingku tiba-tiba meraih gagang telpon yang masih melekat di kupingku.
Kubiarkan dia meraihnya, dan kusaksikan banyak pertanyaan ia lontarkan
pada Ibu. Hebatnya, dia tidak cengeng sepertiku. Padahal usianya jauh
lebih belia dariku, Tyo masih kelas 1 SD sedangkan aku sudah kelas 6 SD.
Tiga hari berlalu tanpa Bapak dan Ibu. Aktivitas
pagiku seperti biasa, usai salat aku langsung masak air untuk membuat
susu. Lalu menanak nasi, dan kalau sempat ya menyuci baju. Mas Pras
bertugas membeli lauk. Sedang Tyo, hanya aku minta untuk menemani di
dapur atau kalau tidak aku biarkan dia tidur lagi. Aku dan Tyo satu
sekolah, kita selalu berangkat bersama.
Siang itu
ketika jam istirahat tiba, Luki,teman baikku, menyusulku di
perpustakaan. Kebetulan sejak kelas 6 ini aku mendapat tugas sebagai
sekertaris perpustakaan. Tugasku sederhana, hanya memberikan kartu
perpustakan pada anak-anak yang akan meminjam buku dan mencatatnya pada
buku perpustakaan. Aku sangat menikmati tugas ini, karena dengan begitu
aku juga bisa tahu lebih banyak buku yang ada di perpustakaan. Luki
duduk di dekatku, lalu menyenggol lenganku yang tengah sibuk mencatat
buku-buku yang dipinjam. Aku paham kode dari Luki, lalu aku mengentikan
sejenak kesibukanku.
“Ada apa, Ki?” Tanyaku tanpa bertele-tele.
“Aku punya kabar gembira buatmu!” Ujar Luki antusias.
“Apa??” Tanyaku penasaran.
“Tadi, aku ketemu sama Bu Siti. Kita diminta untuk ikut latihan bikin
sinopsis lagi buat perlombaan, akan ada seleksi lagi. Nanti sore, kita
sama-sama ke rumah Bu Siti ya? Ini kesempatan baik buatmu! Dulu kan kamu
nyaris mau maju lomba, siapa tahu kali ini benar-benar lolos. Aku
tunggu di rel kereta biasa kita kumpul ya. Jam 4!” Luki menjelaskan
padaku tentang kabar gembira itu tanpa jeda, dia bercerita dengan
semangat berkobar-kobar.
Sekolah kami memang
terkenal sering memenangi juara lomba sinopsisi, jadi setiap kali akan
diadakan seleksi kami sangat antusias. Apalagi aku, yang notabene sangat
gemar membaca dan menulis. Ketika kelas 5 aku juga mengikuti pelatihan
sinopsis di rumah Bu Siti, guru Bahasa Indonesia kami. Kala itu cara
menulisku dinilai sudah cukup baik, tapi karena aku tidak pandai
presentasi jadi aku belum berhasil ikut lomba. Karena kegagalan itu, aku
berjanji akan memperbaiki di seleksi berikutnya. Berbeda denganku, Luki
hanya ingin menambah pengalaman saja dan tidak telalu berharap untuk
bisa ikut lomba.
“Aku nggak bisa, Ki.” Tukasku singkat.
“Apa????
Aku tahu kamu itu pengen banget ikut lomba kan? Kenapa sekarang ada
kesempatan kamu nggak ikut?? Kamu takut gagal lagi?” Luki nampak kesal
setelah mendengar jawabanku.
“Bukan, bukan gitu. Jujur aku pengen ikut tapi keadaanku tidak memungkinkan.” Aku mulai murung.
“Kenapa?” Luki seolah mendesakku untuk terus bercerita.
“Ibuku, Ibuku sakit. Sekarang di rawat di rumah sakit yang ada di
Jogja. Pekerjaan rumah sekarang jadi tanggung jawabku, tapi itu
sebenarnya tidak jadi soal karena aku bisa mengerjakannya pagi hari.
Tapi, Tyo sama siapa kalau aku latihan sinopsis. Mas Pras sekarang
sedang sibuk ikut les dan juga ikut bimbingan belajar untuk bisa masuk
perguruan tinggi, dia kan sudah kelas 3 SMA. Aku juga tidak mau dia
terlalu repot memikirkan aku dan Tyo. Sedangkan kau tau sendiri, latihan
sinopsis itu sangat menyita waktu. Kita bisa pulang malam atau bahkan
menginap di rumah Bu Siti. Mana aku bisa, Ki.” Akhirnya aku mencurahkan
semuanya pada Luki. Keadaan menjadi hening. Luki menunduk dan berhenti
memaksaku untuk mengikuti pelatihan itu.
Dulu, ketika
aku ikut latihan membuat sinopsis di rumah Bu Siti aku berangkat pukul
16.00 WIB, tapi karena aku terlalu asyik menulis aku baru pulang sekitar
pukul 21.00 WIB. Sebelumnya ketika ba’da Isya’ Ibu dan Tyo sudah
menjemputku . Tapi aku menolak di ajak pulang, “Tanggung, Bu” kataku
pada Ibu yang sudah susah payah menjemputku. Aku memang tidak bisa
dipaksa, Ibu lalu mebiarkanku tetap menulis. Dan aku pulang diantar
suaminya Bu Siti.
“Ya sudah, kalau begitu alasanmu.
Aku turut prihatin, kamu yang sabar ya. Nanti aku bilang ke Bu Siti soal
ini. Karena tadi beliau menanyakanmu.” Kata-kata Luki menghancurkan
hening yang tiba-tiba hadir. Tangannya lalu menepuk-nepuk lenganku,
pertanda menguatkan. Aku pun tersenyum, senyum yang sangat aku paksakan.
Sekonyong-konyong
aku langkahkan kaki menuju rumah, ingin segera menghempas badanku di
atas ranjang. Tiba-tiba kepalaku pening, mungkin terlalu memikirkan
lomba sinopsis. Dengan berat hati aku mengubur dalam-dalam mimpi yang
sudah aku idamkan sejak dulu itu. Tiba-tiba telepon rumah berdering, Ibu
menelpon. Kabar baik, akhir pekan ini karena libur tiga hari aku akan
dijemput Bapak dan sama-sama menjenguk Ibu ke Jogja. Sebentar lagi rindu
ini sirna, sungguh bertemu dengan Ibu adalah obat mujarab untuk
menyembuhakan luka apa saja. Seketika, lomba sinopsis itu tak lagi
menghujam jantungku walaupun tak bisa dipungkiri masih meninggalkan
perih. Bayang-bayang wajah Ibu menjadi pelipur lara yang mendamaikan
hati. Setelah perpisahan dengan Ibu, aku merasa banyak hal yang
berubah dariku. Aku belajar untuk tidak lagi menjadi anak manja yang
apa-apa tinggal minta. Keadaan yang mendesakku untuk berubah, atau
barangkali ini memang cara Allah untuk merubahku. Sungguh, Allah selalu
punya cara untuk menegur hamba-Nya dan menuntun hamba-Nya pada jalan
yang benar.
***
Jum’at pagi
yang indah. Tak sabar rasanya ingin segera bangun dan bergegas melepas
rindu pada Ibu, rindu yang menggebu tak terbantahkan. Pagi-pagi sekali
Bapak datang dari Jogja menggunakan bus, aku dan Tyo lantas segera
bersiap. Tanpa istirahat, Bapak langsung mengajak kami berangkat dengan
menggunakan motor. Mungkin, Bapak teramat khawatir meninggalkan Ibu
terlalu lama. Mas Pras tidak ikut, dia tidak libur dan akan menyusul
hari Sabtu setelah pulang sekolah. Perjalanan menuju Jogja terasa lama,
mungkin rindu ini yang menyaratkan agar cepat sampai tapi jarak tak mau
bertoleransi. Sesekali aku bertanya tentang keadaan Ibu, dan Bapak
menjawab secukupnya. Tiba-tiba Bapak memelankan laju motor, lalu menepi
pada sebuah warung soto. Bapak memang selalu memahami masalah perut
kami, beliau sangat mewajibkan kami untuk sarapan. Terlebih Ibu, tiada
satu pagi pun yang beliau lewatkan untuk memastikan anak-anaknya sudah
minum susu dan sarapan. Padahal, aku tahu betul bahwa Bapak dan Ibu
jarang sekali sarapan. Begitulah orang tua, terlalu mengkhawatirkan
anaknya tapi tidak peduli dengan dirinya sendiri.
Satu
jam kemudian kami sampai di rumah sakit. Setelah memakirkan motor, Bapak
lalu mengajak aku dan Tyo menuju bangsal kamar Ibu. Rumah sakit ini
terkesan klasik, tapi mewah. Setiap lorongnya bersih dan tertata rapi.
Seperti biasa Bapak berjalan dengan cepat, aku dan Tyo agak sedikit
keteteran mengikutinya, bahkan sesekali kami berdua harus berlari kecil
untuk mengejar Bapak. Hatiku berbunga, aku ingin segera sampai kamar No.
56.
54, 55, dan 56... Ibuuu!! Seruku sambil berlari
menjangkau pelukannya. Tyo lalu mendesal dari belakangku dan memaksaku
menyingkir dari pelukan hangat itu, aku menyadari bahwa harus berbagi.
Ibu terlihat sehat, beliau masih berjalan seperti biasa. Tanpa infus,
tanpa alat bantu apa pun. Hanya saja jalannya memang sedikit terganggu
karena rasa sakit di lututnya. Setelah memastikan kondisi Ibu, aku masuk
ke kamar, melihat-lihat apa yang ada. Aku bergumam pelan. “Kamarnya bagus.”
“Iya.. tapi sebagus-bagus kamar ini lebih nyaman rumah sendiri, Nduk.” Kata Ibu yang tak kusangka ternyata mendengar celotehku.
Tiba-tiba
seorang dokter dan suster masuk ke kamar Ibu untuk memeriksa dan
memberikan hasil lab. Kami harus keluar kamar, hanya Bapak dan Ibu yang
tinggal di kamar. Aku menguping dari luar, sedang Tyo asyik dengan
gamenya.
“Operasinya harus diundur, atau mungkin
dibatalkan. Karena pada paru-paru Ibu ada bercak-bercak putih.
Bercak-bercak putih yang ada di paru-paru Ibu itu bisa saja hanya flek
biasa, atau mungkin tumor, atau bisa jadi yang lainnya. Untuk itu, besok
kita harus megambil sedikit bercak itu dan akan diteliti.” Kata Pak
Dokter dengan tenang, dan menenangkan.
Tumor? Aku
terperanjat mendengar kata itu. Tapi masih belum pasti, bisa saja itu
hanya flek. Aku mencoba menenangkan diriku sendiri.
“Kalau
itu tumor, lantas bagaimana, Dok?” Ibu terdengar bertanya dengan lirih.
Barangkali agar aku tidak dengar, tapi jangkauan pendengaranku masih
mampu menangkapnya.
“Kalau tumor, operasi tulang
belakangnya akan dibatalkan. Kita akan mengangkat tumornya, karena bisa
jadi sakitnya dari situ.” Pak Dokter menjelaskan lagi.
“Lalu kapan akan dilakukan pengambilan sempel bercak di paru-paru istri saya, Dok?” Kali ini Bapak angkat bicara.
“Besok siang, Pak. Mohon dipersiapkan.” Jawab Pak Dokter.
Ibu
lantas menjelaskan padaku hasil check up, menjelaskan hal yang sudah
jelas aku dengar. Dengan bahasa yang simpel, dan tidak serumit yang aku
dengar dari Pak Dokter tadi. Ibu hanya bilang paru-parunya kotor, lalu
besok harus dibersihakan sehingga operasi tertunda dan dipastikan
pulangnya lebih lama.
Keesokan harinya, Ibu menjalani
proses pengambilan bercak noda di paru-parunya. Menggunakan alat suntik
spesial, dari samping suntikan itu dimasukan hingga menjangkau
paru-paru. Tak terbayang bagaimana bentuk suntikan itu karena dilengkapi
dengan selang kecil untuk mengambil bercak di paru-paru Ibu. Lalu
bercak itu bisa tersedot. Ibu tidak pernah mengeluh sakit secara
blak-blakkan, tapi kali ini Ibu bilang sakit sekali meski sudah dibius.
Setelah bercak diambil, Ibu harus menunggu hasilnya beberapa hari lagi. Menunggu lagi, Ibu pulangnya akan lebih lama lagi, pekikku dalam hati.
Minggu
malam adalah jadwalku untuk kembali pulang ke Wonogiri, Mas Pras yang
kemarin pagi baru datang kini sudah bersiap untuk mengajakku pulang. Tyo
dengan langkah berat dan agak diseret mengikuti langkah Mas Pras. Tapi,
aku enggan pulang. Aku peluk erat Ibu, aku takut terjadi sesuatu.
Entahlah, tapi tiba-tiba aku sangat ketakutan meninggalkan Ibu. Aku
mulai menangis, meronta dan meminta untuk tetap tinggal. Semua ikut
panik, terlebih Ibu yang juga ikut menitihkan air mata. Bapak kelabakan
melihat situasi seperti itu. Tiba-tiba Tyo berlari ke arah aku dan Ibu,
ikut memeluk kami berdua. Dengan terisak, dia juga berkata tidak ingin
pulang. Mas Pras tertegun, aku tahu dia juga sebenarnya enggan pulang.
Tapi jadwal ulangannya padat, dan dia adalah tipe orang yang terlalu
gengsi jika telihat lemah. Dia selalu terlihat tabah, kuat, dan
manguatkan. Sampai tak ada seorang pun yang mengetahui, sebenarnya apa
yang dia rasakan. Kakakku yang hebat.
Ibu terlihat
tidak tega melihat aku dan Tyo terus menangis. Lalu Ibu mengijinkan aku
dan Tyo untuk menginap satu malam lagi. Jadilah malam itu Mas Pras
pulang bersama Bapak. Aku masih terisak, entah darimana rasa takut yang
maha dahsyat itu menghancurkan akal sehatku. Aku bahkan tak habis pikir
akan menangis sehebat itu.
Dua hari sudah berlalu, aku kembali ke
Wonogiri dan menjalani hidup masih tanpa Ibu. Sedikit mulai terbiasa,
mebagi tugas rumah dan sekolah. Hanya saja aku menjadi jarang main,
beruntung teman-teman sering sekali berkunjung ke rumahku. Mereka
memahami betul kondisiku.
Siang itu aku pulang seperti
biasa, setelah singgah sebantar ke perpustakaan aku menuju rumah. Tidak
seperti biasanya, Pakdheku datang dan mengajakku untuk segera ke Jogja.
Beliau tidak banyak cerita, hanya mengatakan Ibu akan pulang. Aku
senang, tapi khawatir sekali. Apa yang membuat Ibu bisa pulang secepat
ini? Operasinya bagaimana? Apa di paru-paru Ibu ada tumor? Atau kenapa?
Semua tanya itu hanya mampu aku simpan, aku canggung untuk banyak tanya
pada Pakdhe. Aku amati raut muka Pakdhe, sangat panik. Dari situ aku
menyadari, kabar kepulangan Ibu bukanlah kabar baik. Aku hanya diam,
menunggu kabar yang mungkin belum saatnya tersampaikan padaku. Tak
berapa lama Mas Pras datang, dengan menggunakan dua motor aku, Pakdhe,
Mas Pras, dan Tyo melesat menuju Jogja. Aku berada dalam satu motor
dengan Pakdhe, cara Pakdhe mengemudikan motor yang tergesa-gesa dan
panik membuatku semakin yakin bahwa ada sesuatu hal besar yang terjadi.
Sesekali
aku memejamkan mata, berharap ini hanya mimpi. Dan Ibu baik-baik saja.
Di perjalanan, pikiranku melanglang buana entah kemana. Memikirkan
berbagai hal yang tidak-tidak. Pernah aku mencoba menenangkan diri,
meminta perasaanku tenang. Membayangkan Ibu sudah sembuh dan memang
sudah saatnya pulang. Tapi sia-sia, usahaku menghibur diri tak ada
gunanya. Jemariku mengepal dan kupukul-pukulkan pada telapak tangan
kiriku. Gelagat kepanikanku akhirnya diketahui Pakdhe. Beliau lalu
berkata, “Istighfar..”Aku lantas menarik napas, lalu membuangnya
berharap masalah ini ikut tebuang bersama hembusan napasku.
Sesampainya
di rumah sakit, Pakdhe menggandeng tanganku dan berlari kecil menuju
kamar No. 56. Mas Pras yang menggandeng Tyo mengekor di belakang kami.
Tidak ada yang bahagia dengan kabar kepulangan Ibu. Padahal, kabar ini
yang paling aku tunggu selama beberapa hari ini.
Seperti
biasa, aku menghitung...54, 55, dan 56.. Dan..aku lihat seorang wanita
nampak gelisah melihat kanan dan kiri, seperti menunggu sesuatu. Iya ,
itu Ibu. Sekonyong-konyong aku berlari menuju Ibu. Kali ini Ibu yang
meraih badanku dengan buru-buru, lalu memelukku. Seperti biasa, erat
sekali. Tapi, ini bukan pelukan Ibu yang biasanya. Aku rasa ada yang
janggal, entah apa.
“Ibu ndak jadi operasi.” Dengan menyeka air matanya, Ibu membuka pembicaraan.
Aku
bingung harus bagaimana meresponnya. Di satu sisi aku jelas bahagia Ibu
tidak jadi operasi dan akan pulang, tapi di sisi lain aku kalut. Bapak
yang usai berbicara empat mata dengan Mas Pras terlihat lesu di pojok
kamar. Kepalanya disangga oleh tangan kanannya yang ditumpu oleh kaki
kanan yang ditekuknya. Mas Pras seperti biasa, raut wajahnya tak bisa
terbaca dengan jelas, tapi aku tahu ada yang disembunyikan. Ia hanya
pura-pura terlihat baik-baik saja, sebenarnya tidak.
Malam
itu Ibu diwajibkan untuk menginap lagi satu malam. Semalaman Ibu
menangis, dan memelukku tiada henti. Ibu mengajakku tidur di atas
ranjang rumah sakit. Aku memang yang paling dekat dengan Ibu, kami
berbagi tempat tidur yang semestinya hanya untuk pasien saja. Tapi Ibu
tida peduli, dia tetap mengajakku tidur berdua. Seolah beliau tidak mau
jauh dariku, begitupun dengan aku.
“Nduk, Ibu kena
penyakit parah. Tapi kamu ndak perlu khawatir. Ibu akan berjanji untuk
sembuh, Nduk. Ibu akan menemanimu sampai kamu menikah nanti, sampai kamu
punya anak. Ibu akan berusaha, Nduk.. Doakan ya.” Kata-kata Ibu
menghujam jantungku. Aku hanya bisa menangis terisak sambil memeluk Ibu.
“I
.. I.. Ibu sakit apa?” Aku kuatkan hati untuk bertanya, sebuah
pertanyaan yang aku tahan sejak tadi. Sebuah pertanyaan yang sejujurnya
aku sendiri tidak ingin mendengar jawabannya, tapi aku tetap bertanya.
“Ndak kok, Nduk. Sudah, tidur ya..” Ibu sangat menutupinya, Beliau memaksaku tidur dan aku tak kuasa menolaknya.
Benar-benar
malam paling kelabu, dan aku masih berharap ini mimpi. Atau ini cuma
sandiwara, dan tiba-tiba “Surprise..selamat ualang tahun Riya..” .
Pikiran bodoh itu mulai menggelayuti sistem kerja otakku.
Keesokan
harinya kami pulang ke Wonogiri, kepulangan Ibu yang awalnya aku
idam-idamkan kini justru menyakitkan. Ibu masih murung, tapi tetap
berusaha tersenyum. Setibanya di rumah, banyak yang menjenguk
Ibu. Kabar kepulangan Ibu dengan cepat menyebar di seantero kampung.
Tapi, dalam keadaan seperti itu Ibu masih memepedulikanku. Beliau
memintaku untuk membeli kentang di warung sebelah rumah. Beliau bilang
akan merebuskan kentang untukku. Iya, aku sangat suka kentang rebus. Dan
semenjak Ibu dirawat di rumah sakit aku sudah tidak pernah makan
kentang rebus lagi. Aku tak habis pikir, Ibu mengingat hal sesepele itu
di tengah cobaan berat yang beliau hadapi.
Ibu.. Ibu..
Tangguh sekali dirimu. Entah penyakit apa yang tengah mengerogoti
tubuhmu tapi aku tahu itu penyakit parah. Namun, semangat hidupmu demi
aku, demi kelurgamu, adalah bukti betapa luar biasanya engkau. Bahkan,
untuk kesembuahnmu, kau perjaungkan untuk aku dan keluarga. Aku sayang
Ibu, sungguh sangat sayang.