Saturday, December 21, 2013

Sebatas Batas


“Mbak, ayo gowes.”

“Ah, aku ameh les Fisika.”

“Yah, dilit wae.”

“Wis telat kok iki, dilit engkas diampiri kancaku. Suk Minggu wae.”

Begitu kejadian dua tahun silam. Ketika usiaku 17 dan dia 13. Ketika aku beranjak dewasa dan dia beranjak remaja.

“Nan, ayo gowes.”

“Ah, aku ameh les Bahasa Inggris.”

“Yah, dilit wae.”

“Wis telat iki, dilit engkas diampiri kancaku. Gowes o dewe.”

Begitu kejadian dua minggu silam. Ketika usiaku 19 dan dia 15. Ketika aku dianggap dewasa dan dia menginjak remaja.

Dua tahun lalu aku menolak, dan dua minggu lalu aku ditolak dan diacuhkan. Tak ada janji ganti hari, malah justru menyuruhku sendiri. Karma memang dua kali lipat lebih menyayat. Aku percaya apa yang kita lakukan tempo hari –entah baik atau buruk—pasti akan menimpa kita beberapa waktu setelahnya.

“Nduk, adik’e dijogo, ojo ditinggal.”

“Halah, ben wong wis gedhe.”

“Weh, yo ra ngono kui.”

Begitu pesan bapak dua tahun silam. Ketika usiaku 17 dan dia 13. Ketika tinggi badanku masih tak terlalu jauh dengannya.

“Nan, mbak’e dijogo, ojo ditinggal.”

“Halah, ben wong wis gedhe. Ben ajar kendel.”

“Weh, yo ra ngono kui.”

Begitu pesan bapak dua minggu silam. Ketika usiaku 19 dan dia 15. Ketika tinggi badanku hanya seketiaknya saja.
Dua tahun lalu aku menolak, dan dua minggu lalu aku ditolak dan ditohok. Tak hanya penolakan, tapi juga pemojokan. Karma memang dua kali lipat lebih menyayat. Aku percaya apa yang kita lakukan tempo hari –entah baik atau buruk—pasti akan menimpa kita beberapa waktu setelahnya.

Kini usianya 15, baru saja terima rapot dan sebentar lagi masuk SMA. Masa pubertas dia alami dan tentu saja banyak batas yang kemudian muncul pada kami. Kini jarang sudah kami jalan berdua di pameran buku. Dia lebih gemar jalan dengan teman-temannya. Dunia baru sedang merutuknya. Aku paham, sebab dulu juga sempat berada pada posisi yang sama. Lantas kehilangan dan penyesalan itu berdatangan. Sialnya, kedatangan mereka beriringan. Sesekali aku mempersilahkan mereka singgah tapi tak jarang aku jengah dengan kedatangan dua rasa tak enak ini.

Maka sebelum terlambat, semoga kita tak –lagi— salah tempat menaruh penolakan. Sebab terkadang, menolak –yang kejam— hanya sekedar menunda penolakan balik dari orang tersebut dengan kadar yang lebih sadis.

Semoga ini sebatas batas sementara yang kemudian berhenti dan  berganti dengan kebersamaan yang tak terbatas.

Wednesday, December 11, 2013

Bunga Tidur yang Mekar di Dunia Nyata

Ubun-ubunku disengat panas maha dahsyat, pening sekali. Matahari rupanya sedang ingin cari perhatian, panasnya mendidihkan kepala semua orang.  Barangkali mirip kepalaku ketika usai ulangan Kimia atau semacamnya.  Ruang kelas XII IPA 2 akhirnya menjadi tempat pilihan untuk mendinginkan diri dan merenung sejenak. Entahlah, aku rasa waktu berjalan begitu membabi buta atau mungkin aku yang terlalu men'siput'kan diri. Aku lemaskan badan, menikmati perenungan ini dengan kawan-kawan terbaik semasa kelas XI.

 "Nggak kerasa udah mau lulusan aja." Mitha membuka pembicaraan.

"Iya ya, perasaan belum lama MOS ya. Dibentak-bentak bingung bawa barang PR, eh sekarang udah bingung milih jurusan kuliah." Sahutku kemudian, sambil mengangkat kepala yang sedari tadi aku biarkan terkapar lunglai di atas meja.

Suasana kembali hening, dalam diam seolah kami sepakat untuk bilang 'iya ya,waktu kok cepet banget.' Ketika aku, Mitha, Ina, Linda, Risti dan Rahma asyik dengan lamunan kami masing-masing, terdengar suara sol sepatu yang beradu dengan keramik. Derap langkah yang cukup punya ritme untuk menandakan ada  sepasang langah kaki –yang sangat kami kenal— menuju arah kami. “Woi, Mennn!!!” Teriakan menggelegar dari sesosok manusia berpawakan tinggi, cukup kurus, dengan kulit legam. Menghancurkan hening.
Matanya tajam menyoroti kami satu per satu, mendadak jidatnya mengernyit. Lalu bibirnya ditarik beberapa senti ke arah kiri, entah apa yang ada dibenaknya. Laki-laki yang sekilas nampak garang itu, memang tekadang sulit ditebak. Tarikan napas yang cukup panjang terdengar dari dengus hidungnya, gelagat seperti biasa saat ia akan memberi aba-aba –ketika diadaulat menjadi pemimpin upacara –. Kami menunggu, apa yang akan terjadi selepas napas panjang itu terbuang. “Kalau lagi sama-sama susah, buat yang lain seneng aja dulu. Urusan kita seneng atau enggak, itu belakangan. Ada yang bikin seneng ya Alhamdulillah, tapi kalau nggak ada yang udah. Yang penting, yang lain tetep seneng.” Aku bangkit, menyambar lengannya dengan tonjokan kecil. Kata-kata macam apa itu! Kenapa hanya dengan satu tarikan napas, lantas ia bisa mengeluarkan satu kalimat yang menjawab semua keraguan di pikiran kami? Sebentar, aku dan teman-teman masih di alam bawah sadar, sesekali mengucek-ucek mata, dan menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Bagaimana tidak, seseorang berperangai macam pelakon stand up comedy kini menjelma menjadi manusia super sekelas Mario Teguh. Ituuu! Kini, giliran mata-mata kami yang menyorotnya. Tajam. "Dih. Kalian kenapa?" Tidak tahan dipandangi tak wajar, ia pun mengucap sebuah pertanyaan klise. Sekadar kalimat untuk menyampaikan, 'jangan liatin aku kayak begitu'. Melihat dia kebingungan kami semua tertawa, lepas. "Habis, omonganmu itu hlo. Beneran mau nyaingin Pak Mario." Mitha tak tahan untuk menghakiminya. "Keadaan yang buat aku seperti ini. Hahaha." "Duh, tapi kita lagi stress nih! Mumet!" Kataku menyela tawanya. "Kenape, Set?" "Ya, sewajarnya anak kelas tiga SMA lah. Bingung, habis ini mau kemana." Rahma yang menjawab lalu mendekat ke arahku, tangannya melingkar di leherku. Pandangan matanya seperti bertanya padaku, 'iya kan?'. “Hmmm, ya kejar apa yang kalian impikan lah!”

Seolah mengerti apa yang ingin kami tanyakan, dia kembali berujar sebelum kami lanjut bertanya.

“Kalian tahu kan, aku punya mimpi untuk jadi seorang dokter.  Walaupun aku kebanyakan main, tapi aku nggak pernah main-main sama mimpiku itu. Jas putih itu harus aku pakai di masa depan. Dan untuk pembuktian dari kata-kata ini, dari mimpi ini, saat ini cuma usaha keras dan doa maksimal yang bisa aku lakukan. Aku juga hanya manusia, sebatas pemimpi dan pengharap belas kasih Tuhan. Aku paham prestasi akademikku biasa-biasa saja atau nyaris tidak ada, dan pasti banyak yang mencerca mimpiku yang tidak biasa ini. Tapi buat apa dengar kata orang? Diam saja, cukup buktikan!”

Aku tercengang, seperti tenggelam dalam danau mati lalu mengambang di atasnya. Tenang. Namun sesekali ada ikan-ikan kecil yang menyundul jemari kakiku, membuatku terperanjat dan bangkit dari ketenangan. Iya, kata-kata itu menenangkan dan mengobarkan. Bahkan seorang komedian pun bisa golden ways, pikirku.
Laki-laki yang ‘nampak’ garang yang ternyata punya selera humor tinggi dan juga kerap kali golden ways itu bernama Jaya, teman sekelasku sewaktu kelas XI. Tidak banyak yang tahu di balik kegarangannya dia menyimpan berjuta hal mengejutkan. Dia memang pandai menempatkan diri. Dan yang terpenting, dia tidak pernah pilih-pilih teman!

                                                                                                ***
“Jayaa! Hayo, masa’ rumus seperti itu saja lupa!” Bu Ria nampak kesal melihat Jaya lupa salah satu rumus trigonometri. 

Satu kelas ikut menahan napas, tak tega melihat Jaya kelabakan di depan kelas, tapi kami tak bisa bantu apa-apa. Jaya memang tidak terlalu mahir di mata pelajaran hitungan, Matematika dan Fisika kurasa menjadi musuhnya.

“Ini sudah hampir kenaikan kelas. Kalian jangan sampai sering-sering remidi, nanti bisa-bisa tidak naik kelas. Jaya, kamu harus berhati-hati, nilaimu mengkhawatirkan. Jangan sering-sering meninggalkan kelas ya.” Kali ini Pak Doni guru Fisika yang berganti memperingatkan Jaya.

Jaya memang aktif ikut paskibra dan pramuka, dia juga ketua MPK. Tak heran kalau dia sering ketinggalan pelajaran karena kerap mengikuti kegiatan di luar sekolah.

“Anak kayak begitu, mana bisa jadi dokter. Mimpi kan kudu realistis.” Suara sumbang terdengar dari anak kelas sebelah, yang aku sendiri malas sebut namanya.

Jaya tak gentar, meski sampai naik kelas XII nilainya tak terlalu menggembirakan tapi dia tetap semangat mengejar jas putihnya. Bahkan, semakin dicerca, semakin diremehkan, semakin tidak dipercaya, dia semakin kuat mengejar mimpinya. Fokus, pada jas putih saja.
***

Sayangnya, kelas tiga memecah kebersamaan kami. Aku terdampar di kelas XII IPA 4 bersama Linda, Jaya bersama Mitha dan Risti menempati kelas XII IPA 2, Ina di kelas XII IPA 3, dan Rahma di kelas XII IPA 5. Semetara itu sahabat XI IPA 4 lainnya juga sudah berpencar di seantero kelas IPA. Ah, sedih! Aku dengar sekarang Jaya duduk sebangku dengan Woto, ex XI IPA 4 juga, wah dijamin bakal gokil. Tapi aku hanya bisa menelan ludah karena tak bisa satu forum untuk menggila bersama mereka dua semester ke depan. Jidatku panas seketika. Kesal. Sebal.

Kelas XII berjalan seperti roda grobak siomay abang depan sekolah, cepat sekali putarannya. Serangkaian Try Out, UAS, dan Ujian Praktik terlalui begitu saja. Benar-benar cepat, tak ada adegan slow motion sama sekali!!!! Kemudian UAN menjadi awal tertelannya semua kebersamaan, sebab setelahnya kami akan menempuh jalan kami masing-masing.

26 Mei 2012, sekujur tubuh mengigil di tengah terik matahari yang tengah pongah di atas sana, aneh. Kemudian gigil itu perlahan lumer menjadi satu teriakan serempak yang menggelegar,”LULUSS!!!”. Namun mirisnya, gigil itu datang lagi seper sekian detik setelah teriakan lega kami mengudara. Sebuah ketakutan yang gigilnya berlipat-lipat lebih dahsyat: setelah ini mau kemana dan mau apa?

“WAAAAAAAAAAAAAHH. LULUS KITAA!” Rahma berteriak kencang sekali sembari memeluk erat tubuhku. Sayang, responku kurang baik, standar, biasa, tak antusias.

“Mukamu kenapa? Kusut amat, Set?” Risti menyenggol lenganku, dibarengi Mitha, Ina, Linda, dan Rahma yang melingkar mendekati aku.

Kemudian kuutarakan segala ketakutanku, mereka pun akhirnya paham. Alhasil sore itu, di bawah pohon asem dekat lapangan basket kami menikam kekhawatiran, saling menguatkan, dan percaya semua akan baik-baik saja. Kali ini, tanpa Jaya.
***
“Duh, ini pilihan ketiga apa dong?” Jaya terlihat puyeng mengisi formulir online SBMPTN nya.

“Apa kek yang PG nya jangan lebih tinggi dari pilihn sebelumnya.” Mitha memberi saran.

“Iya ya, yang penting pilihan pertama jas putih.” Mata Jayamengkilat seperti diruntuhi optimisme bermilyar-milyar.

Pagi itu di depan kantor kepala sekolah kami sengaja janjian mengisi formulir pendaftaran SBMPTN bareng-bareng. Sekalian ngisi, sekalian mendoakan satu sama lain biar dimudahkan. Dan di akhir nanti bisa teriak LOLOS bareng.

“Kita ini ngisi buat masa depan hlo, jangan main-main. Doa dulu sebelum ngisi.” Jaya mengingatkan.
Aku tidak banyak komentar, sesekali hanya mencengkram kepala yang mendadak pening. Semalam sudah dibahas dengan keluarga di rumah mau pilih prodi apa, dan ya aku bagai wayang yang mau tak mau melakukan apa yang diinginkan dalang agar ceritanya tetap berlanjut. Tak seperti Jaya yang nampak begitu mantap dengan pilihannya. Meski banyak yang menertawakan,tapi dia tetap kekeuh. Andai aku punya keyakinan seperti Jaya.
Tiga hari masa penentuan itu datang juga. Aku sudah tidak bergairah menjalaninya. Semua soal TPA, dasar, dan IPA malas sekali untuk aku sentuh. Malah setengah jam aku sempat pulas dalam lipatan tanganku. Heran saja aku, kenapa banyak sekali yang begitu gencar ingin kuliah. Entahlah, sejak awal aku memang tak pernah tertarik. Mungkin, karena aku hanya wayang.  Sedang orang-orang yang luar biasa di sekitarku adalah penulis skenario dan sekaligus aktor/aktris dalam hidupnya untuk selanjutnya dikoreksi Tuhan, agar tahu lulus sensor atau tidak.
Sebulan setelahnya, pengumuman itu keluar juga. HP ku berdering bekali-kali, banyak pesan dari teman menanyakan hasilnya. Dengan lincah jemariku mengetik ‘belum rejeki’. Aku juga bertanya pada kawan-kawan yang lain. Hanya Linda yang LOLOS, Teknik Arsitektur UNNES. Bahagia rasanya, setidaknya ada kawan yang bisa memecah mimpinya dengan langkah yang tak terlalu terseok.

Setelah malam itu, Jaya tak terdengar lagi kabarnya. Sampai pada pengumuman jalur mandiri ternyata dia diterima di jurusan Hukum. Kebetulan pada pengumuman itu aku juga diterima di universitas yang sama dengan Jaya, tapi beda fakultas.

Kabar baik terus berdatangan, Ina kuliah di jurusan Hukum Internasional, Mitha akhirnya setelah melewati pertempuran sengit bisa juga kuliah di kebidanan, Rahma tedampar jauh di kota metropolitan sekolah kesehatan, dan Risti di arsitektur. Serangkain ospek dan berbagai tetek bengek sudah dilewati para maru, termasuk aku. Beberapa pekan kuliah aku baru dapat kabar dari seorang teman ketika chat di FB. Sebuah kabar mencengangkan, menggelegarkan.

“Setya, sekarang di mana?”
“Di UNS, kamu di mana Yu’?
“Aku di UGM.”
“Wah. Selamat yaa.”
“Iya. Eh, Jaya keren tuh.”
“Knp? di fakultas hukum dia sekarang.”
“Loh, kamu malah belum tahu Set?”
“Tau apa Yu’?”
“Jaya kan sekarang di UNSOED, Fakultas Kedokteran.”

Glek, serasa mau pingsan aku raih HP dan segera menghubungi Jaya. Sial, no HP nya sudah tidak aktif. Selepas pengumuman aku memang sudah tidak pernah bertanya kabar lagi dengan dia, takut melukai hatinya. Sampai kabar sehebat ini aku malah dengan dari orang lain, ya Tuhan.  Aku putar otak, minta no HP nya ke teman yang lain. Dan akhirnya dapat juga.

“JAYAAA!! KAMU GILAAA!!! GILAAA!”
“Heh, ini siapa?”
“SETYA!!! KAMU GILAAAA!!!” “Woiii men. :D Apa kabar??? Gila gimana??” “KEDOKTERAN UNSOED????!! MEN! AKU TERHARUUUU!!!”
“HAHAHA, santai dulu. Iya, Alhamdulillaaaah, berkat doa kalian juga. Aku dulu juga ampek nangis pas baca pengumuman, nggak nyangka.”
“Ya ampun, Jay! Kamu juga nggak kasih kabar sihhh!!!”
“Maaf, aku ganti no HP dan semua kontak ilang, jadi nggak bisa kasih kabar.”
“Ah, ya udah. Gimana ceritanya bisa ketrima????”
“Ya aku usaha maksimal. Pokonya habis-habisan lah belajarnya, doanya juga. Bumbuku itu cuma usaha+doa (sholat wajib, tahajud, dhuha, dzikir) itu aja, dan Alhamdulillah jadi sekarang :’D.”

Aku mrinding seketika. Benar, Jaya tidak pernah main-main dengan impian jas putihnya. Dari jaya aku belajar banyak, tentu saja tentang mimpi yang harus dikejar mati-matian agar bisa benar-benar jadi  jaya.  Terima kasih Tuhan, sudah hadirkan kawan-kawan luar biasa yang memberiku semangat tanpa  kata-kata, tapi dengan praktik langsung. Saat itu juga aku lantas mengobrak-abrik folder lama, melanjutkan lukisan kata yang mulai usang. Aku haru seperti Jaya, berjuang keras mengusahakan apa yang telah diimpikan. Selamat tinggal wayang, aku akan mulai menulis ceritaku sendiri.

Tuesday, December 3, 2013

Terlambat yang Berkualitas



Guguran Angsana masih menutupi sepertiga bagian jalanan kampus. Aku adalah pengagum Angsana. Yang sangat gemar berdiri di bawah pohon Angsana ketika bunga kuning ini sedang berguguran. Biasanya aku menelentangkan telapak tangan dan mebiarkan Angsana jatuh di sana, atau kalau sedang benar-benar penat aku dongakkan kepalaku menghadap pohon lalu membiarkan bunga-bunga mungil itu menyentuh wajahku. Entah bagaimana, ini menenangkan buatku. Andai saja semua ingatan pahit itu seringan Angsana: mudah gugur dan terbang jauh dibawa angin. Namun aku belajar satu hal dari Angsana, meski kita jatuh dan luruh kita masih bisa terlihat indah. Ya, Angsana yang jatuh ke tanah selalu indah.
Kuhela napas panjang dan melanjutkan perjalanan. Hari ini ada kelas pagi, dan aku sudah terlambat sepuluh menit. Namun langkahku kembali tersendat, kali ini cenderung berat. Kusaksikan ibu-ibu paruh baya mengaduk semen dengan pacul dan perabot lainnya, wajah mereka penuh peluh tapi tetap saja melempar senyum yang buat hati jadi teduh. Tuhan, bukankah lebih baik ibu-ibu ini mengaduk sayur di dapur rumahnya? Menyiapkan makan untuk anak dan suaminya? Tidak malah melakukan pekerjaan yang –menurutku— sekeras ini. Katakanlah memang ibu-ibu tersebut kuat, tapi mereka adalah perempuan. Bagiku tetap menyakitkan menyaksikan mereka begitu, sangat menyakitkan. Bayangan wajah ibu muncul, memang beliau tak bekerja mengaduk semen seperti ibu-ibu ini. Tapi hatinya dan hati semua ibu itu sama, selalu diaduk perasaan cemas tentang keberlangsungan hidup keluarganya. Terutama anaknya. Aku hela napas lebih panjang, sambil membuat pengharapan. Moga Bunda di sana disayang Allah.
Sol sepatuku kembali beradu dengan trotoar kampus, sesekali mengenai Angsana yang berserakan. Sudah lima belas menit keterlambatanku, dan ada hal lain yang membuat langkahku kembali melemah. Seorang perempuan paruh baya dan lelaki paruh baya berjalan beriringan tepat di depanku. Secara otomatis langkahku ikut melamban, mengamati sepasang paruh baya tersebut. Sang lelaki menggenggam sekumpulan kemoceng di tangan kananya, sementara kanan kirinya memegang pundak sang perempuan. Sang perempuan juga tak kalah sibuk, kedua tangannya memeluk beberapa sapu ijuk. Mereka berdua berjalan beriringang, menjajakan kemoceng dan sapu ijuk pada siapa saja yang membutuhkan. Kusaksikan langkah kaki mereka yang pelan tapi  terus saja berjalan, pasti dan jelas arahnya. Meski pelan, tapi mereka pantang mundur. Apalagi memilih duduk dan berharap belas kasih. Tidak, itu bukan mereka. Betapa bergetarnya seluruh isi hati menyaksikan ini semua. Jelas, perasaan malu itu terus menyergap diri. Malu, malu sekali!!! Bukankah harusnya aku bisa semantap mereka? Lebih malah! Ya,  harusnya. Tapi nyatanya? Ya beginilah. Oh ya, kau perlu tahu satu hal. Kenapa sang lelaki memegang pundak sang perempuan? Sebab hanya dengan begitulah sang lelaki bisa ‘melihat’. Itulah yang membuat semua terasa lebih menyayat.

Alhasil aku sampai di kelas hampir setengah jam setelah kelas dimulai. Ya, aku terlambat. Tapi bagiku ini terlambat yang berkualitas. Sebab bisa saja ketika aku tadi tidak terlambat aku hanya akan terpenjara pada kelas pagi dan terhinoptis integral tak tentu atau sebangsanya. Namun dengan terlambat, aku bisa dapat banyak pelajaran di jalan, yang tidak akan pernah aku dapat di dalam kelas. Dan tidak akan pernah aku dapat ketika aku tidak terlambat.
Oleh karena itu, jangan cela orang yang terlambat. Bisa jadi dia memang terlambat yang berkualitas. Bagaimana terlambat yang berkualitas itu? Terlambat yang bukan karena bangun kesiangan, ketinggalan bis, antre mandi, dan kawan-kawannya.

Sunday, December 1, 2013

The Spirit of Me



The spirit of Java, begitu julukan untuk kota ini. Ya, Solo. Sejak kanak-kanak aku sudah akrab dengan Solo. Berawal dari duka yang meluber hingga ke perpisahan. Tepatnya tujuh tahun lalu, ketika malaikat duniaku musti menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Dr. Moewardi. Usiaku dua belas ketika itu, dan menjadikan Solo, tepatnya RS Dr. Moewardi sebagai rumah kedua. Setiap akhir pekan selama lebih dari tiga minggu aku menginap di RS Dr. Moewardi, menemani ibu yang sedang melawan sel-sel jahanam yang menggerogoti tubuhnya. Kedai HIK di seberang rumah sakit sudah seperti dapur umum tiap kali malam menjelang. Hidangan Instimewa Kampung yang tersaji di sana membuat air liur berproduksi dua atau bahkan tiga kali lipat lebih melimpah. Sego kucing, sate usus, gorengan, wedang susu jahe, pisang karamel, dan berbagai olahan nikmat lainnya menjadikan diri ini selalu kalap. Meski tempatnya remang, dan musti berjubel dengan pengunjung lain tapi tak jadikan ini penghalang menikmati sajian yang terhidang. Begini caraku mengurangi duka di kota Solo, sesederhana ini. Kemudian tiap pagi datang aku selalu antre di depan RS untuk menikmati sego liwet yang dijual ibu-ibu bersanggul tanggung. Nasi gurih yang kemudian disajikan dengan suwiran ayam, sayur labu siam, telur rebus, dan areh terasa nikmat di sekujur lidah, makin gawat nikmatnya karena dipincuk dengan daun pisang. 

Hingga setahun setelah rutinitas itu, setahun setelah ibuku benar-benar pergi lebih tepatnya, kenangan di seantero RS Dr. Moewardi masih saja membekas. Aku dan keluargaku bahkan hingga kini masih sering menghabiskan malam Minggu di kedai HIK favorit, sambil menyaksikan kamar paling pojok di lantai tiga RS Dr. Moewardi. Meski kini sudah tertutup oleh bangunan baru di depannya tapi segala kenangan tak pernah mampu tertutup. 

Solo masih saja menjadi tempat yang memberikan banyak kejutan. Dua tahun setelahnya, aku mendapat durian runtuh di kota ini. Ketika itu aku duduk di bangku kelas 3 SMP, dan beruntung mendapat kesempatan mengikuti workshop pembuatan roket air di FMIPA Universitas Sebelas Maret. Di aula Gedung B FMIPA UNS aku memperoleh banyak ilmu serta segudang pengalaman. Dan ketika terjun membuat roket air di rektorat UNS aku bahkan tak sadar diri bisa melangkah ke babak selanjutnya. Alhamdulillah, ketika menjalani babak selanjutnya di Jogja aku bisa meraih juara harapan dua, dan berhak mendapat piala, piagam, dan uang tunai sebesar tujuh ratus ribu rupiah. Semua berawal di Solo. 

Empat tahun setelahnya, takdir menuntunku kembali ke Solo. Kini benar-benar rumah keduaku ada di kota ini. Tahun 2012 lalu usai lulus dari SMAN 1 Wonogiri aku ditakdirkan menimba ilmu di FMIPA UNS jurusan Matematika. Ya, tak pernah terpikirkan sebelumnya tempat dimana aku pernah menimba ilmu tentang roket air dulu kini menjadi tempat menimba ilmuku untuk masa depan. Meski tak begitu antusias sebab sebenarnya jiwaku sudah lama terdampar di Sastra –bukan Matematika— tapi aku tetap berjuang untuk ceria. Setidaknya banyak kawan yang begitu hangat di sini. Surya Utama adalah salah satu nama jalan di belakang kampus, tepatnya di belakang Kecamatan Jebres. Di salah satu gang itulah sebuah rumah kos-kosan menjadi tempat aku berteduh. Keluarga baru aku dapatkan di sini, hangat sekali. Semakin kesini aku makin menyatu dengan kota Solo, toko buku yang tersebar di seantero kota adalah tempat favoritku menghabiskan waktu luang. Pernah sekali ketika ada kegiatan asistensi aku dan kawan-kawan menikmati nyamannya ndegan di pinggiran Bengawan Solo. Sisi lain kota Solo kembali aku dapat, sayangnya sampah-sampah mulai bergelimpangan. Dan barangkali, aku kini mulai menjadi salah satu donatur melimpahnya produksi sampah di kota Solo. Maafkan aku ya, Solo. 

Kini usiaku sembilan belas, dan memiliki banyak pehaman baru tentang Solo. Terima kasih Solo, telah menjadi tempat hijrah yang sangat nyaman.

 Dan kini, Solo tak hanya The Spirit of Java tapi juga The Spirit of Me.....