Tuesday, May 26, 2020

Bergerak, Pelan-Pelan


Langit sedang cerah-cerahnya, warna biru bersih tanpa awan seketika menyeruak pandangan mata. Kupu-kupu berterbangan mengintari taman bunga, seekor kucing melompat ke sana ke mari mengejar dan berusaha menangkap kupu-kupu. Hujan semalam menjadikan bau tanah masih segar, sisa-sisa air di dahan  masih kerap memercik mengenai seorang gadis kecil yang duduk di bawahnya.

Gadis kecil itu membuka buku peta yang ia pinjam dari perpusatakaan sekolah. Anak ini ingin sekali keliling Indonesia, melihat keelokan alam semesta dari hijaunya pemandangan juga meriahnya gedung pencakar langit di kota-kota besar.  Tiba-tiba sang ibu memanggil, meminta sang anak masuk rumah dan segera sarapan. Sudah pukul 06.30, harus segera bergegas ke sekolah. Gadis itu selalu bersemangat untuk berangkat sekolah, kakinya lincah menaiki anak tangga, menuju rumahnya di lantai 11, di sebuah rumah susun padat penghuni di pinggiran kota. Pemandangan setiap hari selalu sesak, yang ia lihat hanya beton-beton besar menutup pemandangan. Dan berangkat ke sekolah adalah hal yang paling isa sukai.

Sesampainya di sekolah, ia buru-buru berkeliling ke Papua, pemandangan lautnya selalu memikat siapa saja yang berkunjung ke sana. Tempo hari ia baru saja pulang dari Padang, menikmati rendang sampai mabok rasanya. Kemarinnya lagi ia baru berkunjung ke Bali, menikmati tradisi dan tariannya yang masih dijaga dengan baik. Dan perjalanannya dihentikan oleh bel masuk. Sebelum diteriaki guru piket, anak ini bergegesas merapikan buku, memberi batas halaman terakhir ia baca yang akan dilanjutkan lagi jika jam istirahat tiba. Sampai bertemu nanti lagi, perpustakaan.

Kegemaran gadis kecil yang duduk di kelas 5 SD dalam membaca buku-buku sejarah dan letak geografis di Indonesia ini diketahui oleh semua guru. Nilai IPS-nya selalu sempurna. Begitu berlanjut hingga ia duduk di bangku SMA. Kegemarannya membaca buku dan peta Indonesia itu membuatnya dipilih untuk mewakili sekolah dalam olimpiade geografi.

Hingga akhirnya, hari ini ia sedang berada di Padang, sungguhan Padang, menginap di sebuah hotel untuk mengikuti olimpiade nasional. Bulan lalu ia baru pulang dari Bali, dua bulan lalu juga ia baru saja dari Makassar. Siapa sangka, dari gemerannya membaca peta dan seluk-beluknya, ia bisa sungguhan mengelilingi Indonesia.

Maka, bermimpi saja dulu, tidak apa-apa. Sembari terus bergerak, sekecil apapun pergerakan kita, setiap langkahnya akan mendekatkan kita pada impian. Tidak apa pelan-pelan, tidak apa jika terasa tidak memungkinkan, tidak apa jika tujuan terasa masih terlalu jauh, tida apa. Kita hanya butuh konsisten tetap melangkah, sesekali istirahat, lalu melangkah lagi, sebab impian tidak akan pernah jadi nyata jika hanya sekadar dibayangkan tanpa melakukan apa-apa.

Sunday, May 17, 2020

Menjemput Pertolongan


Seorang gadis kecil menundukkan kepalanya dalam-dalam di ujung taman bunga, menyaksikan anak-anak bersenda gurau dengan ibu bapaknya. Ia memeluk lututnya erat-erat.. Setelah matahari sedikit tertutup awan, ia kembali membawa dagangannya, topi-topi rajut lucu untuk melindungi kepala para pengunjung taman  dari teriknya matahari di musim panas kali ini. Hari ini harus dapat uang banyak, obat sakit asma ibundanya belum ditebus sejak dua hari kemarin. Bapaknya minggat sejak ia lahir, kabarnya kepincut penyanyi karaoke di pulau seberang, begitu cerita yang kerap ia dengar dari tetangganya. Usianya baru dua belas tapi episode kehidupannya sudah buat kekuatan hatinya meretas.
Pada usianya yang masih belia, ia dipaksa dewasa lebih cepat. Demi ibundanya, satu-satunya yang ia punya saat ini. Belum lagi serangkaian drama hinaan dari kawan sekolahnya, sudah beragam jenis hinaan hingga kupingnya jadi kebal. Hati anak belia ini sudah dibentengi banyak perkara berat, maka hal-hal remeh dari mulut-mulut jahil itu tidak lagi menjadi soal. Meski langkahnya terseok-terseok, tetapi sedikitpun ia tidak pernah punya niatan untuk menyerah. Baginya, nasihat guru agamanya selalu jadi pedoman kehidupan, yang terpenting terus berusaha, pertolongan bisa datang dari mana saja.

Batinnya hanya akan jadi nelangsa jika menyaksikan anak-anak seusianya bisa bermain bersama orang tuanya, bersenang-senang, menikmati indahnya taman bunga, makan bersama di kedai dekat sungai, dan wujud kebersamaan lainnya. Wajar, dia baru usia dua belas, dan dia juga manusia, nelangsa, sedih, duka lara tentu jadi salah satu perasaan yang bisa hinggap pada hati manusia siapa saja. Tetapi jika ia pulang, meski hanya dengan nasi ditabur garam, asal makan bersama ibunya, itu sudah sangat istimewa. Lebur sudah lelahnya, hilang seketika nelangsa hatinya.

Keesokan harinya, saat bersiap berangkat sekolah sembari menyiapkan dagangannya, ia selalu tanamkan dalam langkah pertamanya ketika meninggalkan rumah, tetap berusaha sebab pertolongan datang dari mana saja. Dan, benar, pertolongan itu sungguhan datang, pertolongan yang datang sepuluh tahun kemudian, tepatnya hari ini, saat usianya genap dua puluh dua tahun. Pertolongan itu datang dari kegigihannya, topi-topi yang ia jual selama ini adalah topi rajutan ibunya. Butuh sepuluh tahun lamanya untuk bisa memasarkan topi itu lebih luas. Pada suatu hari di taman bunga, ia bertemu seorang bule dari Eropa yang memborong dagangannya. Sang bule ternyata youtuber, ia lalu mempromosikan topi rajut tersebut di chanel youtubenya. Tidak disangka, pesanan topi itu dalam waktu satu minggu mencapai puluhan ribu. Usaha topinya melesat cepat, tidak pernah disangka sebelumnya. Bahkan ia sudah punya pabrik topi yang diresmikan tepat hari ini. Sungguh benar kata guru agamanya, pertolongan itu bisa datang dari mana saja. Mungkin bukan hari ini, bukan besok, bukan besok besoknya lagi, tapi nanti akan ada waktunya sendiri.

Bagi kamu yang sedang mersakan lelah dalam berjuang, jangan sampai berhenti ya. Mungkin hasilnya bukan hari ini, bukan besok, bukan besok besoknya lagi, tapi pasti akan ada waktunya nantii. Maka, mari sama-sama tetap berjuang ya, sampai pertolongan yang tidak disangka-sangka itu sungguh menghampiri kita. Sebab, kadang, pertolongan itu harus diupayakan dan dijemput, tidak serta merta akan datang sendirinya.

Saturday, May 16, 2020

Secukupnya, Bunga


Seorang gadis sedang tersipu malu ketika sang kekasih berlutut di hadapannya sembari menyerahkan cicin dan bunga mawar putih kesukaannya. Selepas menjalani hubungan sekian purnama, terombang-ambing oleh keadaan dan ketidakpastian, akhirnya sang lelaki memiliki keberanian untuk menyatakan keseriusannya. Bunga mawar putih jadi saksi kebahagiaan dua insan yang siap menjejakki babak kehidupan baru.

Di lain tempat, seorang kakek menangis tersedu di atas pusara sembari menaburkan mawar merah. Seminggu lalu sang istri meninggal dunia, setelah setengah abad lebih menjalani kehidupan bersama dengan kasih sayang dan penerimaan yang dirajut setiap saat dan terjaga hingga napas salah satu di antara keduanya menemukan ujungnya. Selama seminggu terakhir, setiap sore kakek selalu berkunjung ke makam nenek, bercerita tentang hari yang ia lalui, sendiri. Sang kakek sudah ikhlas, meski sesekali air mata masih bercucuran deras di pipinya. Tetapi untuk sebuah perpisahan, air mata adalah salah satu cara melegakan, bukan serta merta sebagai wujud ketidakikhlasan. Taburan bunga mawar merah di atas pusara jadi saksi duka berpisahnya dua insan manusia.

Seni kehidupan selalu terdiri dari bahagai dan duka, keduanya wajar dialami siapa saja. Pada suatu episode manusia akan menemukan orang baru dan bahagia bersama, lalu episode berikutnya ia mungkin akan ditinggalkan untuk selama-lamanya hingga duka terasa sesak sekali di dada. Sebuah siklus kehidupan yang wajar, semua manusia akan mengalaminya, seperti bunga yang bisa jadi wujud bahagia ataupun duka.

Maka, untuk dua hal yang bertolak belakang ini baiknya secukupnya saja. Bahagai secukupnya, berduka secukupnya.Sehingga, ketika tiba pada salah satu siklusnya, kita tetap bisa tegap melanjutkan kehidupan.

Pedas Level Tak Hingga


Pedagang sayur keliling datang di suatu komplek padat penduduk. Seperti biasanya, ibu-ibu seketika berkumpul untuk berburu sayur dan bumbu dapur untuk perlengkapan masak hari ini. Beberapa ibu-ibu cekatan membeli kebutuhannya, lalu bergegas kembali ke rumah. Tapi, beberapa ibu lainnya masih betah memilih bayam mana yang paling segar, sembari terus berbincang denga ibu-ibu lainnya. Tema percakapannya tentu saja seputar kabar terkini tentang kondisi komplek, dan kabar terbaru dari penghuni komplek. Bahkan ada yang sengaja menyindir ibu-ibu lainnya yang sedang berbelanja. Sindiran dan pertanyaan pedas, mulut tetangga jika diibaratkan level pedas seblak, mungkin sudah masuk level tak hingga. Saking pedasanya di atas maksimal.

“Jeng, anak sampean kok neng omah wae? Sarjana wes wisuda kok neng omah wae. Aduh eman sing ngragati wong tuone.”

Padahal sang anak yang sarjana itu, meski Cuma di rumah saja tapi sesungguhnya sedang menyelesaikan pekerjaan besar dari bisnis yang dikelolanya, yang gajinya ditafsir 10 kali lipat lebih besar dari karyawan biasa. Nanti kalau tiba-tiba si anak yang sarjana tapi disebut pengangguran tiba-tiba beli mobil mewah, percakapan ibu-ibu ini sudah beda, disangka pesugihan lah, main om-om lah, maling lah, korupsi lah, dan lain lain dan lain lain. Mulut tetangga, lebih fasih berkomentar tentang hidup tetangganya daripada komentator bola yang sedang mengomentari pertandingan bola. 

“Jeng, anak e sampean kok rung rabi ta? Duh, selak tuwo lho, Jeng.”

Padahal menikah atau belum menikahnya anak tetangganya tidak akan ada urusannya dengan si ibu pedas level maksimal ini. Lagi pula, menikah kan butuh kesiapan, tidak hanya kejar-kejaran dengan usia. Prihatin, banyak yang menikah muda tapi gagal, berujung KDRT, selingkuh, lalu cerai. Gara-gara apa? Iya, terlalu buru-buru menikah padahal dirinya belum sungguhan siap.

Sudahlah, cukup ibu-ibu komplek yang suka rumpi urusan tetangganya dengan pertanyaan dan komentar super pedas level tak hingga. Urusan pekerjaan, setiap orang punya perhitungan, tidak semua yang tidak kerja kantoran itu berarti tidak bekerja. Apalagi urusan pernikahan, menikah muda itu baik, tapi menikah di usia yang tidak lagi muda juga bukan berarti tidak baik, kan?

Semua orang punya perhitungan dan kesiapannya masing-masing. Biarkan orang lain menjalani hidupnya tanpa harus menjadi munafik  pada dirinya sendiri hanya demi dianggap ‘wah’ oleh orang lain.

Wednesday, May 13, 2020

Sabar Dulu, Ya

Baju-baju kembali dilipat ke dalam lemari, oleh-oleh untuk saudara di tanah kelahiran akhirnya dimakan sendiri sebelum basi sembari menatap tiket yang jauh-jauh hari telah dipesan kini tiba-tiba dibatalkan, dan hati kembali ditata lagi agar lebih sabar terima keadaan ini.

Kali ini, orang-orang yang merindu akhirnya mengalah, memberi waktu lebih lama pada jarak. Ego yang menggebu-gebu untuk perjuangkan temu akhirnya dengan suka rela ikut mengalah pada keadaan.

Sebaik-baiknya temu adalah yang memahami keadaan, bukan semata-mata hanya karena rindu. Temu yang lahir dari kesabaran diri ditikam rindu berhari-hari, hingga nyeri sekujur hati, pasti akan lebih punyai arti. Sebab temu yang susah payah diupayakan akan membuat diri jadi makin tahu diri untuk menghargai waktu demi waktu ketika temu itu tiba, nanti.

Menunda pulang adalah hal berat, semua orang tentu akan sepakat. Tetapi untuk kali ini, tolong bertahan ya, jabat erat dari layar ponsel pada kerabat dan kawan dekat agar sama-sama saling kuat. Sebab, yang sedang didera nelangsa bukan hanya yang tidak bisa pulang, tapi juga yang sedang menunggu seseorang yang ternyata tidak bisa pulang.

Dari Prasetyani Estuning Asri, yang sering dilanda temu tapi semu


Tuesday, May 12, 2020

Untuk yang Sedang Kecewa

Di balik jendela dengan penerangan yang remang, wajah gadis itu masih nampak lesu, tatap matanya sendu. Tempo hari, ia masih memutuskan untuk menunggu. Padahal, janji-janji palsu itu hilir mudik menghiasi hari-hari, menikam rasa percaya, menyuburkan bibit-bibit dilema. Tempo hari, hatinya masih mempercayai, janji-janji itu kelak akan dibayar tuntas.
Kekuatan apa yang menjadikan gadis itu begitu percaya? Bahkan ketika mulut romantis si pembual janji itu kini sudah menjadi apatis. Tidak peduli barang seujung kukupun tentang bualan janji-janjinya sendiri. Entah, umpatan jenis apa yang pantas untuk lelaki tabiat begini.
Dan segalanya berubah hari ini, gadis itu tidak lagi mempedulikan janji-janji lelaki itu. Tidak perlu memberi tambahan waktu bagi laki-laki yang tidak pernah punya sikap. Selesai. Segalanya selesai hari ini.
Di balik jendela lain, laki-laki dengan tatapan nanar menatap jalanan. Kebingungan menyelesaikan situasi, menepati janji-janji yang ia tanam sendiri. Sedang keadaan sudah tidak lagi memungkinkan untuk menepati. Hari ini ia berencana menemui, berharap janji-janji itu bisa segera ia lunasi. Sebelum ia menyadari, bahwa yang diberi janji sudah anggap janji-janji itu mati, tidak lagi punyai arti.
Serangkaian salah paham kerap menjadi awal mula remuknya sebuah cerita. Banyak kehancurhan terjadi bukan karena ada yang mendua, bukan pula karena ada yang bosan, tetapi karena buruknya cara berkomunikasi.
Dari Prasetyani Estuning Asri, sobat ambyar yang punya cara berkomunikasi tidak baik

Berhenti Sajalah

Sudah lebih dari 2880 hari, terhitung hingga hari ini, ketika hati masih terpasung dalam sangkar ceritanya. Sejatinya, ada banyak alasan untuk memilih meninggalkan. Tetapi, dekapan kata-katanya terlalu kuat, pesonanya terlalu memikat, jerat bualannya terlalu erat. Hingga kaki tiba-tiba terasa enggan meninggalkan. Rasa-rasanya, ada candu yang menarik diri untuk kembali bertahan, lagi, dan lagi.

Siapa lagi yang terjebak dalam realita seperti ini? Menikmati disakiti, menyulam lagi patah hati, merelakan diri jadi sasaran kebohongan. Hingga ketika kata-kata maaf sudah hilang arti, tapi dirinya masih berbesar hati memberi maaf dan sekali lagi memilih untuk bertahan, lagi, dan lagi. Lalu kemudian, setelah maaf itu memudar, alur ceritanya akan kembali lagi. Kebohongan demi kebohongan mendera, cerita-cerita palsu mewarnai hari, kemudian kata maaf kembali menguar dan diri sendiri perlahan mulai menyulam patah hati, lagi.

Berhentilah memaksakan diri, menyadari bahwa sebaik-baiknya pilihan adalah yang tidak menyakiti diri sendiri. Sekalipun pilihan itu adalah meninggalkan atau ditinggalkan. Selagi itu baik untuk hati, lakukan.

Hatimu layak untuk dirajut dari awal, tanpa harus kembali menyulam yang berulang kali dipatahkan.

Dari Prasetyani Estuning Asri, yang sedang merajut hatinya dari awal (lagi)

Wednesday, May 6, 2020

Cadangan

Bagi penderita mata minus, apalagi minusnya sudah berpangkat-pangkat, kacamata adalah hal mutlak yang harus selalu ada. Sebab, pandangan yang buram kerap membuat salah langkah, atau salah membaca, atau hal-hal riskan lainnya. Beberapa penderita mata minus adalah manusia ceroboh, yang kerap lupa menaruh kacamata hingga kelimpungan mencarinya, atau sembarangan menaruh kacamat hingga terinjak dan framenya patah. Pernah pada suatu ketika, seorang pengguna kacamata minus 3,5 ditambah silinder 0,5 lupa menaruh kacamata satu-satunya, ternyata tertinggal di dalam kulkas. Atau, pernah juga ketiduran tanpa melepas kacamata lalu tertindih badan sendiri hingga frame penyangga di telinga patah. Kalau sudah begitu jadi panik, padahal harus segera melakukan aktivitas lain yang tentu memerlukan kacamata. Salah sendiri, sudah tahu cuma punya kacamata satu, tapi tidak dijaga baik-baik, kalau sudah begini akhirnya hanya bisa menggerutu.
Oleh sebab itu, penderita mata minus denga sifat bawaan ceroboh tidak bisa hanya punya satu kacamata. Harus punya cadangan, minimal dua kacamata, jaga-jaga jika tiba-tiba terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.
Cadangan itu memang penting untuk beberapa hal, seperti olah raga sepak bola yang memerlukan pemain cadangan jika ada pemain yang cedera atau kelelahan, baju cadangan jika sedang berpergian di musim hujan agar tidak repot jika baju tiba-tiba basah kuyup, rencana cadangan ketika merancang jalan menuju impian jika rencana A gagal maka ke rencana B, tujuan cadangan jika sedang berpergian jika lokasi A tutup maka ganti ke lokasi B.
Tapi, tidak semua hal harus pakai cadangan. Cadang pasangan, misalnya. Seenaknya ganti pasangan, padahal belum selesai kisahnya dengan seseorang yang lama. Hebat sekali orang  yang hatinya bisa serta merta meninggalkan begitu saja, tanpa ada rasa bersalah, tanpa ada permintaan maaf. Kuat sekali seseorang yang bisa meninggalkan, hatinya mudah sekali melebur semua kenangan, melenggang dengan bahagia dengan seseorang yang baru. Pintar sekali orang yang bisa berpenampilan selalu menawan padahal pada waktu yang bersamaan ia sedang menikam hati seseorang. Jangan-jangan orang seperti ini, hatinya juga sedang minus? Atau silinder? Hingga buram bahkan tak bisa fokus satu titik saja, mudah berbelok pada orang lain. Lalu, kacamata hatinya lupa ditaruh di mana, atau framenya sedang patah, jadi sembarangan sekali memakai hatinya. Hati-hati ya sama hati orang, hati-hati.

Tuesday, May 5, 2020

Aroma dan Sejuta Kenangannya

Aku baru tahu, sedahsyat itu aroma-aroma mempercikkan kenangan. Kadang indera penciuman langsung bersinergi ke otak, bukan sekadar mencerna aromanya tapi langsung seketika flash back pada kenangan yang dibawa oleh aroma tersebut.
Aroma apapun, parfume, pengharum baju, tanah yang terkena air hujan, pengharum ruangan, bahkan pengharum kamar mandi.
Jadi sering saja tiba-tiba terkesiap, merasa takjub, “wah baunya mengingatkanku pada….” dan seketika sekelebat kenangan menari-nari di seisi kepala. Dari yang membuat cekikikan, menahan napas, hingga sesegukan.
Uwh, tahu gitu, dulu tiap ketemu aku tutup hidung saja ya, daripada aroma parfumenya membekas begini, tiap hirup aroma yang sama susah sekali kendalikan ingatan.
Baik-baik ya, kamu, jangan cuma jaga pandangan, tapi juga jaga pernapasan, awas, aroma juga jadi salah satu ujian ketika sedang harus melupakan. Huft~

    Maafkan Aku, Mas, yang Belum Bisa Sungguh-Sungguh Melupakan

    Kondisi dunia akhir-akhir ini sedang tidak baik, Mas. Termasuk negara kita, juga kota di mana  kita dipertemukan –dan sekaligus dipisahkan. Sebuah virus yang penularannya masif, seketika meluas mengikis kedamain hidup masyarakat dunia. Ah, tentu kamu sudah tahu dengan baik kabar ini. Berita di portal media manapun sedang gencar membahas ini.
    Lalu, bagaimana kabarmu? Keluargamu? Baik-baik sajakah? Apakah kamu juga terpaksa harus menjalani work from home karena tempatmu bekerja sudah masuk zona merah?
    Oh ya, juga kabar mengerikan kembali mencuat. Belum selesai dengan virus mengerikan, di beberapa daerah banyak maling berkeliaran. Ambil beras, ambil hewan peliharaan, dan ambil apa saja. Keadaan sedang segenting ini ya, Mas.
    Lalu bagaimana denganmu? Kabar kesehatanmu? Juga kondisi lingkungan tempat tinggalmu? Baik-baik saja, kan? Semoga begitu, ya.
    Aduh, kok aku masih suka seperti ini ya. Suka tiba-tiba mencemaskanmu, lagi. Suka tiba-tiba ingin mengetahui kabarmu, lagi. Padahal kan jelas-jelas sudah ada yang ambil alih posisi itu, oleh seorang perempuan cantik nan sholehah.
    Tapi tenang, Mas. Aku tentu tidak akan konyol mengusik hubungan kalian, aku hanya sedang belum terbiasa sepenuhnya lepas. Ada banyak penyesuaian yang harus aku lakukan perlahan-lahan. Semoga kamu dan pasanganmu bisa memakluminya. Ia pun perempuan, tentu akan mengerti bagaimana beratnya perjuangan untuk lepas dari seorang lelaki yang ditemani berjuang sejak 8 tahun dengan cerita jatuh bangun, tangis, hingga bahagia, selengkap itu ceritanya dan tentu menutupnya tidak bisa serta merta. Kecuali jika cerita itu hanya dianggap lelucon palsu, maka mudah saja menepisnya seketika, seperti yang kamu lakukan.
    Wonogiri, 5 Mei 2020