Wednesday, January 16, 2013

ELERSFOUR 1



Akhirnya saya tiba pada fase yang harus saya tapaki untuk menuju puncak tertinggi. Setahun dengan bintang satu ternyata bukan waktu yang lama, dan kini bintang satu di lengan kiri saya sudah betambah menjadi dua. Kelas sosial adalah pilihan dari sekolah untuk  saya tempati, kontras dengan kemauan mas dan bapak saya. Adalah XI IPS 2,yang menjadi  tempat labuhan sementara mimpi indah dan harapan saya yang masih tergantung dalam angan-angan semu di langit-langit lamunan saya.  Menjadi bendahara kelas adalah amanah besar yang harus saya emban kala itu. Satu minggu berlalu dengan mereka, masa-masa adaptasipun sudah mulai terlewati, ini tidak seburuk yang saya kira. Walaupun rasa canggung itu tidak mungkin bisa terpungkiri keberadaannya. Namun, waktu memupuskan segalanya. Ditambah teman sebangku saya adalah Arin, yaitu teman sebangku saya juga ketika kelas X. Hal itu jelas menjadikan saya semakin mudah untuk beradaptasi. Tak terasa sampai juga pada minggu ke dua. Parianty adalah sebutan mereka untuk saya, dan saya meyukainya. Pada minggu inilah, semua kembali dipertaruhkan. Mimpi dan segalanya akan segera diperjelas arahnya. Rabu, 21 Juli 2010 di Laboratorium Biologi, tes pindah jurusan dilaksanakan. Tes tersebut diikuti oleh empat belas siswa, diawasi oleh satu orang bapak guru, dengan dua puluh soal yang terdiri dari  lima soal tiap-tiap mapel (Matematika, Kimia, Fisika, Biologi). Di mana saya dan seorang sahabat saya sejak kelas  X, yaitu Bintan berada di antara empat belas siswa tersebut. Sedangkan Arin memilih bertahan di IPS. Dua kerangka manusia yang berada tepat di hadapan saya seperti memberi amunisi semangat kepada saya, namun saya tidak beranjak dari ketidak mengertian. Soal ini semacam kemoterapi, yang memiliki dampak berkepanjangan dan membuat rambut rontok secara perlahan. Saya hanya bisa memainkan pensil dan mencorat-coret sesuka saya di selembar buram yang seyogyanya dipergunakan untuk menghitung hitungan yang terdapat dalam soal tersebut. Tapi, saya terlanjur optimis tidak bisa mengerjakan soal, sehingga melamun adalah pilihan yang sangat tepat sembari menunggu bel berbunyi. Bintan yang begitu fasih mengerjakan soal nampak prihatin melihat keadaan lembar jawab saya yang begitu mengenaskan. Akhirnya dia membantu saya.
Selepas tes tersebut, bagi saya sudah tidak ada lagi harapan yang pantas untuk saya pertahankan. Saya kubur dalam-dalam untuk masuk kelas IPA dan saya kokohkan semangat saya  untuk mengejar mimpi hingga puncak tertinggi di IPS. Bahkan saya sudah ikhlas mendengar orasi menjatuhkan yang bernada tinggi dari beberapa pihak tentang pilihan saya ini. Dan saya mulai menikmatinya, menikmati semuanya. Bahkan semua hal yang bermaksud menjatuhkan saya pun saya nikmati sebagai ajang pendewasaan diri.
Tiba waktu pengumuman pindah jurusan, ada delapan siswa yang dipanggil ke kantor guru. Saya dan Bintan termasuk di antaranya, dengan bermacam argument kami semua melangkahkan kaki menuju kantor guru. Pak kepala sekolah lalu mengabarkan kabar gembira pada kami, bawasanya kami direstui untuk bermigrasi ke kelas IPA. Saya seperti mati rasa, dan seketika lantas menatap Bintan dengan tatapan nanar. Kami gembira. Hari itu, Sabtu, 24 Juli 2010 mungkin adalah awal yang sebenarnya untuk memulai segalanya. Allah barangkali punya rencana lain dalam hidup saya di tengah keterbatasan yang saya miliki. Saya sangat berterima kasih kepada Bintan dan semua orang yang sudah terlibat dalam perjuangan ini.
Teman-teman saya yang sejak awal berada di kelas IPA pun turut antusias mendengar berita bahwa saya akan segera bermigrasi ke kelas IPA. Ditambah ternyata kita akan sekelas, bahagia tiada tara rasanya. Namun, tiba-tiba kesedihan mendera begitu dahsyat dan memaksa saya menepi sejenak dari segala persiapan untuk memulai segalanya dari awal di kelas IPA. Saya menjadi murung ketika melihat di papan pengumuman bahwa saya dan Bintan tidak sekelas. Bintan singgah di XI IPA 5 dan saya terdampar di XI IPA 4. Iya, XI IPA 4 adalah tempat dimana saya akan menetap selama dua semester. Ketakutan tentang mitos anak IPA yang serba ‘kaku’ dan sangat ‘keakuan’benar-benar menyiutkan nyali saya.
Dengan langkah gontai dan jantung yang berdegup tak beraturan kaki saya melangkah sedikit menyeret ke kelas XI IPA 4. Pijakan pertama di bibir pintu, keramaian membuncah. Semua berbincang tentang PR Matematika, PR Kimia, dan pelajaran lainnya. Kepala saya tiba-tiba mendidih, mendidih sebelum dipanaskan. Ini tempat macam apa, pekik saya dalam hati sembari menelan ludah dan menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Setelah memilih bangku ke tiga dari depan, posisi yang saya rasa nyaman dan aman, saya rebahkan punggung saya pada sandaran kursi. Saya menengadah ke langit-langit ruang kelas, ‘adaptasi lagi’ suara saya lirih sembari menutup mata sejenak. Berharap ketika saya buka mata, semua menjadi lebih baik. Tiba-tiba suara kencang dari mulut pintu menyeruak, ‘ASRIIIIIIIIIIIIII’. Sontak saya tercengang. Ratih, Ain, Dessy dan Indah terlihat antusias ketika mendapati saya sudah duduk manis di ruang kelas mereka. Saya juga tak kalah antusias, meski dengan ketakutan yang segudang tapi saya bahagia bisa sekelas dengan mereka. Teman sebangku saya adalah Eka, dia juga mantan penghuni IPS seperti saya.
Saya amati satu persatu wajah anak XI IPA 4, terbesit rasa aneh ketika memandangi mereka satu-satu. Mereka tidak semenakutkan yang saya bayangkan, mereka masih bisa terkekeh-kekeh menertawakan hal-hal konyol dari banyolan yang mereka ciptakan. Sesekali saya ikut terpekik, dan pada akhirnya tawa saya membaur dengan tawa mereka. Kebetulan kala itu sedang diadakan perayaan ulang tahun SMA, jadi tentunya banyak perlombaan antar kelas. XI IPA 4 juga mengikuti perlombaan itu dengan antusias meski dengan sedikit nyleneh. Presiden Republik XI IPA 4, Onika, mengajak pasukannya menyusun strategi. Usai olah raga, kami masih bertahan di lapangan untuk membicarakan siapa saja yang akan mewakili kelas untuk mengikuti beberapa perlombaan yang ada. Dalam forum agak absurd itu, saya tiba-tiba merasa sudah menjadi bagian dari XI IPA 4,sungguh ini adaptasi yang sangat cepat dan menyenangkan.
Saya mulai bisa akrab dengan penduduk XI IPA 4, dan canda tawa itu membuncah setiap saat. Mereka juga bahu membahu membantu saya untuk mengejar ketertinggalan dalam mengikuti pelajaran, dengan suka rela mereka meminjamkan buku catatan mereka untuk saya salin. Sungguh, mitos tentang anak IPA itu tidak berlaku di XI IPA 4. Semua ketakutan saya menguap.
Acara tumpengan yang mewajibkan setiap kelas membuat nasi tumpeng semakin menyatukan kita. Usai dihias dan dinilai kami santap bersama-sama nasi tumpeng tersebut. Kami tidak peduli tumpeng itu akan menang atau tidak, yang ada dalam pikiran kami hanyalah kebersamaan menyantap nasi tumpeng lengkap dengan antek-anteknya. Sungguh, kehangatan tercipta di sini.
Saya merasa beruntung bisa mengalami masa-masa transisi hanya dalam kurun waktu satu bulan. Merasakan kesuperan kelas IPS, dan dengan keajaiban yang luar biasa akhirnya saya terdampar pada kelas IPA yang amazing. Saya merasa teramat bodoh telah menyangka penduduk XI IPA 4 dengan praduga tak bersalah. Menilai segala sesuatu dari satu sudut pandang saja memang sering menghadirkan luka setelah sudut pandang lain bisa terlihat. XI IPA 4 adalah kelas IPA yang berjiwa sosial tingkat tinggi. Di sinilah, kisah-kisah konyol, gokil, dan tidak terlupakan itu akan dimulai. Bersama penduduk Republik XI IPA 4. 

 

No comments:

Post a Comment