Akhirnya saya tiba
pada
fase yang harus saya tapaki untuk menuju puncak tertinggi. Setahun dengan
bintang satu ternyata bukan waktu yang lama, dan kini bintang satu di lengan
kiri saya sudah betambah menjadi dua. Kelas sosial adalah pilihan dari sekolah
untuk saya tempati, kontras dengan
kemauan mas dan bapak saya. Adalah XI IPS 2,yang menjadi tempat labuhan sementara mimpi indah dan
harapan saya yang masih tergantung dalam angan-angan semu di langit-langit
lamunan saya. Menjadi bendahara kelas
adalah amanah besar yang harus saya emban kala itu. Satu minggu berlalu dengan
mereka, masa-masa adaptasipun sudah mulai terlewati, ini tidak seburuk yang
saya kira. Walaupun rasa canggung itu tidak mungkin bisa terpungkiri
keberadaannya. Namun, waktu memupuskan segalanya. Ditambah teman sebangku saya
adalah Arin, yaitu teman sebangku saya juga ketika kelas X. Hal itu jelas
menjadikan saya semakin mudah untuk beradaptasi. Tak terasa sampai juga pada
minggu ke dua. Parianty adalah sebutan mereka untuk saya, dan saya meyukainya.
Pada minggu inilah, semua kembali dipertaruhkan. Mimpi dan segalanya akan segera
diperjelas arahnya. Rabu, 21 Juli 2010 di Laboratorium Biologi, tes pindah
jurusan dilaksanakan. Tes tersebut diikuti oleh empat belas siswa, diawasi oleh
satu orang bapak guru, dengan dua puluh soal yang terdiri dari lima soal tiap-tiap mapel (Matematika, Kimia,
Fisika, Biologi). Di mana saya dan seorang sahabat saya sejak kelas X, yaitu Bintan berada di antara empat belas
siswa tersebut. Sedangkan Arin memilih bertahan di IPS. Dua kerangka manusia
yang berada tepat di hadapan saya seperti memberi amunisi semangat kepada saya,
namun saya tidak beranjak dari ketidak mengertian. Soal ini semacam kemoterapi,
yang memiliki dampak berkepanjangan dan membuat rambut rontok secara perlahan.
Saya hanya bisa memainkan pensil dan mencorat-coret sesuka saya di selembar
buram yang seyogyanya dipergunakan untuk menghitung hitungan yang terdapat
dalam soal tersebut. Tapi, saya terlanjur optimis tidak bisa mengerjakan soal,
sehingga melamun adalah pilihan yang sangat tepat sembari menunggu bel
berbunyi. Bintan yang begitu fasih mengerjakan soal nampak prihatin melihat
keadaan lembar jawab saya yang begitu mengenaskan. Akhirnya dia membantu saya.
Selepas tes tersebut,
bagi saya sudah tidak ada lagi harapan yang pantas untuk saya pertahankan. Saya
kubur dalam-dalam untuk masuk kelas IPA dan saya kokohkan semangat saya untuk mengejar mimpi hingga puncak tertinggi
di IPS. Bahkan saya sudah ikhlas mendengar orasi menjatuhkan yang bernada
tinggi dari beberapa pihak tentang pilihan saya ini. Dan saya mulai menikmatinya,
menikmati semuanya. Bahkan semua hal yang bermaksud menjatuhkan saya pun saya
nikmati sebagai ajang pendewasaan diri.
Tiba waktu
pengumuman pindah jurusan, ada delapan siswa yang dipanggil ke kantor guru.
Saya dan Bintan termasuk di antaranya, dengan bermacam argument kami semua
melangkahkan kaki menuju kantor guru. Pak kepala sekolah lalu mengabarkan kabar
gembira pada kami, bawasanya kami direstui untuk bermigrasi ke kelas IPA. Saya
seperti mati rasa, dan seketika lantas menatap Bintan dengan tatapan nanar.
Kami gembira. Hari itu, Sabtu, 24 Juli 2010 mungkin adalah awal yang sebenarnya
untuk memulai segalanya. Allah barangkali punya rencana lain dalam hidup saya
di tengah keterbatasan yang saya miliki. Saya sangat berterima kasih kepada
Bintan dan semua orang yang sudah terlibat dalam perjuangan ini.
Teman-teman saya
yang sejak awal berada di kelas IPA pun turut antusias mendengar berita bahwa
saya akan segera bermigrasi ke kelas IPA. Ditambah ternyata kita akan sekelas,
bahagia tiada tara rasanya. Namun, tiba-tiba kesedihan mendera begitu dahsyat
dan memaksa saya menepi sejenak dari segala persiapan untuk memulai segalanya
dari awal di kelas IPA. Saya menjadi murung ketika melihat di papan
pengumuman bahwa saya dan Bintan tidak sekelas. Bintan singgah di XI IPA 5 dan
saya terdampar di XI IPA 4. Iya, XI IPA 4 adalah tempat dimana saya akan
menetap selama dua semester. Ketakutan tentang mitos anak IPA yang serba ‘kaku’
dan sangat ‘keakuan’benar-benar menyiutkan nyali saya.
Dengan langkah
gontai dan jantung yang berdegup tak beraturan kaki saya melangkah sedikit
menyeret ke kelas XI IPA 4. Pijakan pertama di bibir pintu, keramaian
membuncah. Semua berbincang tentang PR Matematika, PR Kimia, dan pelajaran
lainnya. Kepala saya tiba-tiba mendidih, mendidih sebelum dipanaskan. Ini tempat
macam apa, pekik saya dalam hati sembari menelan ludah dan menggaruk kepala
yang sebenarnya tidak gatal. Setelah memilih bangku ke tiga dari depan, posisi yang
saya rasa nyaman dan aman, saya rebahkan punggung saya pada sandaran kursi. Saya
menengadah ke langit-langit ruang kelas, ‘adaptasi lagi’ suara saya lirih
sembari menutup mata sejenak. Berharap ketika saya buka mata, semua menjadi
lebih baik. Tiba-tiba suara kencang dari mulut pintu menyeruak, ‘ASRIIIIIIIIIIIIII’.
Sontak saya tercengang. Ratih, Ain, Dessy dan Indah terlihat antusias ketika
mendapati saya sudah duduk manis di ruang kelas mereka. Saya juga tak kalah
antusias, meski dengan ketakutan yang segudang tapi saya bahagia bisa sekelas
dengan mereka. Teman sebangku saya adalah Eka, dia juga mantan penghuni IPS
seperti saya.
Saya amati satu persatu
wajah anak XI IPA 4, terbesit rasa aneh ketika memandangi mereka satu-satu. Mereka
tidak semenakutkan yang saya bayangkan, mereka masih bisa terkekeh-kekeh
menertawakan hal-hal konyol dari banyolan yang mereka ciptakan. Sesekali saya
ikut terpekik, dan pada akhirnya tawa saya membaur dengan tawa mereka. Kebetulan
kala itu sedang diadakan perayaan ulang tahun SMA, jadi tentunya banyak
perlombaan antar kelas. XI IPA 4 juga mengikuti perlombaan itu dengan antusias
meski dengan sedikit nyleneh. Presiden Republik XI IPA 4, Onika, mengajak
pasukannya menyusun strategi. Usai olah raga, kami masih bertahan di lapangan
untuk membicarakan siapa saja yang akan mewakili kelas untuk mengikuti beberapa
perlombaan yang ada. Dalam forum agak absurd itu, saya tiba-tiba merasa sudah
menjadi bagian dari XI IPA 4,sungguh ini adaptasi yang sangat cepat dan
menyenangkan.
Saya mulai bisa
akrab dengan penduduk XI IPA 4, dan canda tawa itu membuncah setiap saat. Mereka
juga bahu membahu membantu saya untuk mengejar ketertinggalan dalam mengikuti
pelajaran, dengan suka rela mereka meminjamkan buku catatan mereka untuk saya
salin. Sungguh, mitos tentang anak IPA itu tidak berlaku di XI IPA 4. Semua ketakutan
saya menguap.
Acara tumpengan
yang mewajibkan setiap kelas membuat nasi tumpeng semakin menyatukan kita. Usai
dihias dan dinilai kami santap bersama-sama nasi tumpeng tersebut. Kami tidak
peduli tumpeng itu akan menang atau tidak, yang ada dalam pikiran kami hanyalah
kebersamaan menyantap nasi tumpeng lengkap dengan antek-anteknya. Sungguh,
kehangatan tercipta di sini.
Saya merasa
beruntung bisa mengalami masa-masa transisi hanya dalam kurun waktu satu bulan.
Merasakan kesuperan kelas IPS, dan dengan keajaiban yang luar biasa akhirnya
saya terdampar pada kelas IPA yang amazing. Saya merasa teramat bodoh telah
menyangka penduduk XI IPA 4 dengan praduga tak bersalah. Menilai segala sesuatu
dari satu sudut pandang saja memang sering menghadirkan luka setelah sudut
pandang lain bisa terlihat. XI IPA 4 adalah kelas IPA yang berjiwa sosial
tingkat tinggi. Di sinilah, kisah-kisah konyol, gokil, dan tidak terlupakan itu
akan dimulai. Bersama penduduk Republik XI IPA 4.
No comments:
Post a Comment