Saturday, May 16, 2020

Pedas Level Tak Hingga


Pedagang sayur keliling datang di suatu komplek padat penduduk. Seperti biasanya, ibu-ibu seketika berkumpul untuk berburu sayur dan bumbu dapur untuk perlengkapan masak hari ini. Beberapa ibu-ibu cekatan membeli kebutuhannya, lalu bergegas kembali ke rumah. Tapi, beberapa ibu lainnya masih betah memilih bayam mana yang paling segar, sembari terus berbincang denga ibu-ibu lainnya. Tema percakapannya tentu saja seputar kabar terkini tentang kondisi komplek, dan kabar terbaru dari penghuni komplek. Bahkan ada yang sengaja menyindir ibu-ibu lainnya yang sedang berbelanja. Sindiran dan pertanyaan pedas, mulut tetangga jika diibaratkan level pedas seblak, mungkin sudah masuk level tak hingga. Saking pedasanya di atas maksimal.

“Jeng, anak sampean kok neng omah wae? Sarjana wes wisuda kok neng omah wae. Aduh eman sing ngragati wong tuone.”

Padahal sang anak yang sarjana itu, meski Cuma di rumah saja tapi sesungguhnya sedang menyelesaikan pekerjaan besar dari bisnis yang dikelolanya, yang gajinya ditafsir 10 kali lipat lebih besar dari karyawan biasa. Nanti kalau tiba-tiba si anak yang sarjana tapi disebut pengangguran tiba-tiba beli mobil mewah, percakapan ibu-ibu ini sudah beda, disangka pesugihan lah, main om-om lah, maling lah, korupsi lah, dan lain lain dan lain lain. Mulut tetangga, lebih fasih berkomentar tentang hidup tetangganya daripada komentator bola yang sedang mengomentari pertandingan bola. 

“Jeng, anak e sampean kok rung rabi ta? Duh, selak tuwo lho, Jeng.”

Padahal menikah atau belum menikahnya anak tetangganya tidak akan ada urusannya dengan si ibu pedas level maksimal ini. Lagi pula, menikah kan butuh kesiapan, tidak hanya kejar-kejaran dengan usia. Prihatin, banyak yang menikah muda tapi gagal, berujung KDRT, selingkuh, lalu cerai. Gara-gara apa? Iya, terlalu buru-buru menikah padahal dirinya belum sungguhan siap.

Sudahlah, cukup ibu-ibu komplek yang suka rumpi urusan tetangganya dengan pertanyaan dan komentar super pedas level tak hingga. Urusan pekerjaan, setiap orang punya perhitungan, tidak semua yang tidak kerja kantoran itu berarti tidak bekerja. Apalagi urusan pernikahan, menikah muda itu baik, tapi menikah di usia yang tidak lagi muda juga bukan berarti tidak baik, kan?

Semua orang punya perhitungan dan kesiapannya masing-masing. Biarkan orang lain menjalani hidupnya tanpa harus menjadi munafik  pada dirinya sendiri hanya demi dianggap ‘wah’ oleh orang lain.

No comments:

Post a Comment