The spirit of Java, begitu julukan
untuk kota ini. Ya, Solo. Sejak kanak-kanak aku sudah akrab dengan Solo.
Berawal dari duka yang meluber hingga ke perpisahan. Tepatnya tujuh tahun lalu,
ketika malaikat duniaku musti menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Dr.
Moewardi. Usiaku dua belas ketika itu, dan menjadikan Solo, tepatnya RS Dr.
Moewardi sebagai rumah kedua. Setiap akhir pekan selama lebih dari tiga minggu
aku menginap di RS Dr. Moewardi, menemani ibu yang sedang melawan sel-sel
jahanam yang menggerogoti tubuhnya. Kedai HIK di seberang rumah sakit sudah
seperti dapur umum tiap kali malam menjelang. Hidangan Instimewa Kampung yang
tersaji di sana membuat air liur berproduksi dua atau bahkan tiga kali lipat
lebih melimpah. Sego kucing, sate usus, gorengan, wedang susu jahe, pisang
karamel, dan berbagai olahan nikmat lainnya menjadikan diri ini selalu kalap.
Meski tempatnya remang, dan musti berjubel dengan pengunjung lain tapi tak
jadikan ini penghalang menikmati sajian yang terhidang. Begini caraku mengurangi
duka di kota Solo, sesederhana ini. Kemudian tiap pagi datang aku selalu antre
di depan RS untuk menikmati sego liwet yang dijual ibu-ibu bersanggul tanggung.
Nasi gurih yang kemudian disajikan dengan suwiran ayam, sayur labu siam, telur
rebus, dan areh terasa nikmat di sekujur lidah, makin gawat nikmatnya karena
dipincuk dengan daun pisang.
Hingga setahun setelah rutinitas
itu, setahun setelah ibuku benar-benar pergi lebih tepatnya, kenangan di
seantero RS Dr. Moewardi masih saja membekas. Aku dan keluargaku bahkan hingga
kini masih sering menghabiskan malam Minggu di kedai HIK favorit, sambil
menyaksikan kamar paling pojok di lantai tiga RS Dr. Moewardi. Meski kini sudah
tertutup oleh bangunan baru di depannya tapi segala kenangan tak pernah mampu
tertutup.
Solo masih saja menjadi tempat yang
memberikan banyak kejutan. Dua tahun setelahnya, aku mendapat durian runtuh di
kota ini. Ketika itu aku duduk di bangku kelas 3 SMP, dan beruntung mendapat
kesempatan mengikuti workshop pembuatan roket air di FMIPA Universitas Sebelas
Maret. Di aula Gedung B FMIPA UNS aku memperoleh banyak ilmu serta segudang
pengalaman. Dan ketika terjun membuat roket air di rektorat UNS aku bahkan tak
sadar diri bisa melangkah ke babak selanjutnya. Alhamdulillah, ketika menjalani
babak selanjutnya di Jogja aku bisa meraih juara harapan dua, dan berhak
mendapat piala, piagam, dan uang tunai sebesar tujuh ratus ribu rupiah. Semua
berawal di Solo.
Empat tahun setelahnya, takdir
menuntunku kembali ke Solo. Kini benar-benar rumah keduaku ada di kota ini.
Tahun 2012 lalu usai lulus dari SMAN 1 Wonogiri aku ditakdirkan menimba ilmu di
FMIPA UNS jurusan Matematika. Ya, tak pernah terpikirkan sebelumnya tempat
dimana aku pernah menimba ilmu tentang roket air dulu kini menjadi tempat
menimba ilmuku untuk masa depan. Meski tak begitu antusias sebab sebenarnya
jiwaku sudah lama terdampar di Sastra –bukan Matematika— tapi aku tetap
berjuang untuk ceria. Setidaknya banyak kawan yang begitu hangat di sini. Surya
Utama adalah salah satu nama jalan di belakang kampus, tepatnya di belakang
Kecamatan Jebres. Di salah satu gang itulah sebuah rumah kos-kosan menjadi
tempat aku berteduh. Keluarga baru aku dapatkan di sini, hangat sekali. Semakin
kesini aku makin menyatu dengan kota Solo, toko buku yang tersebar di seantero
kota adalah tempat favoritku menghabiskan waktu luang. Pernah sekali ketika ada
kegiatan asistensi aku dan kawan-kawan menikmati nyamannya ndegan di pinggiran
Bengawan Solo. Sisi lain kota Solo kembali aku dapat, sayangnya sampah-sampah
mulai bergelimpangan. Dan barangkali, aku kini mulai menjadi salah satu donatur
melimpahnya produksi sampah di kota Solo. Maafkan aku ya, Solo.
Kini usiaku sembilan belas, dan
memiliki banyak pehaman baru tentang Solo. Terima kasih Solo, telah menjadi
tempat hijrah yang sangat nyaman.
Dan kini, Solo tak hanya The Spirit of Java tapi juga The Spirit of Me.....
No comments:
Post a Comment