“Mbak, ayo gowes.”
“Ah, aku ameh les Fisika.”
“Yah, dilit wae.”
“Wis telat kok iki, dilit engkas diampiri kancaku. Suk Minggu
wae.”
Begitu kejadian dua tahun silam. Ketika usiaku 17 dan dia
13. Ketika aku beranjak dewasa dan dia beranjak remaja.
“Nan, ayo gowes.”
“Ah, aku ameh les Bahasa Inggris.”
“Yah, dilit wae.”
“Wis telat iki, dilit engkas diampiri kancaku. Gowes o dewe.”
Begitu kejadian dua minggu silam. Ketika usiaku 19 dan dia 15.
Ketika aku dianggap dewasa dan dia menginjak remaja.
Dua tahun lalu aku menolak, dan dua minggu lalu aku ditolak
dan diacuhkan. Tak ada janji ganti hari, malah justru menyuruhku sendiri. Karma
memang dua kali lipat lebih menyayat. Aku percaya apa yang kita lakukan tempo
hari –entah baik atau buruk—pasti akan menimpa kita beberapa waktu setelahnya.
“Nduk, adik’e dijogo, ojo ditinggal.”
“Halah, ben wong wis gedhe.”
“Weh, yo ra ngono kui.”
Begitu pesan bapak dua tahun silam. Ketika usiaku 17 dan dia
13. Ketika tinggi badanku masih tak terlalu jauh dengannya.
“Nan, mbak’e dijogo, ojo ditinggal.”
“Halah, ben wong wis gedhe. Ben ajar kendel.”
“Weh, yo ra ngono kui.”
Begitu pesan bapak dua minggu silam. Ketika usiaku 19 dan
dia 15. Ketika tinggi badanku hanya seketiaknya saja.
Dua tahun lalu aku menolak, dan dua minggu lalu aku ditolak
dan ditohok. Tak hanya penolakan, tapi juga pemojokan. Karma memang dua kali
lipat lebih menyayat. Aku percaya apa yang kita lakukan tempo hari –entah baik
atau buruk—pasti akan menimpa kita beberapa waktu setelahnya.
Kini usianya 15, baru saja terima rapot dan sebentar lagi
masuk SMA. Masa pubertas dia alami dan tentu saja banyak batas yang kemudian
muncul pada kami. Kini jarang sudah kami jalan berdua di pameran buku. Dia lebih
gemar jalan dengan teman-temannya. Dunia baru sedang merutuknya. Aku paham, sebab
dulu juga sempat berada pada posisi yang sama. Lantas kehilangan dan penyesalan
itu berdatangan. Sialnya, kedatangan mereka beriringan. Sesekali aku
mempersilahkan mereka singgah tapi tak jarang aku jengah dengan kedatangan dua
rasa tak enak ini.
Maka sebelum terlambat, semoga kita tak –lagi— salah tempat menaruh
penolakan. Sebab terkadang, menolak –yang kejam— hanya sekedar menunda
penolakan balik dari orang tersebut dengan kadar yang lebih sadis.
Semoga ini sebatas batas sementara yang kemudian berhenti
dan berganti dengan kebersamaan yang tak
terbatas.
No comments:
Post a Comment