Tuesday, December 3, 2013

Terlambat yang Berkualitas



Guguran Angsana masih menutupi sepertiga bagian jalanan kampus. Aku adalah pengagum Angsana. Yang sangat gemar berdiri di bawah pohon Angsana ketika bunga kuning ini sedang berguguran. Biasanya aku menelentangkan telapak tangan dan mebiarkan Angsana jatuh di sana, atau kalau sedang benar-benar penat aku dongakkan kepalaku menghadap pohon lalu membiarkan bunga-bunga mungil itu menyentuh wajahku. Entah bagaimana, ini menenangkan buatku. Andai saja semua ingatan pahit itu seringan Angsana: mudah gugur dan terbang jauh dibawa angin. Namun aku belajar satu hal dari Angsana, meski kita jatuh dan luruh kita masih bisa terlihat indah. Ya, Angsana yang jatuh ke tanah selalu indah.
Kuhela napas panjang dan melanjutkan perjalanan. Hari ini ada kelas pagi, dan aku sudah terlambat sepuluh menit. Namun langkahku kembali tersendat, kali ini cenderung berat. Kusaksikan ibu-ibu paruh baya mengaduk semen dengan pacul dan perabot lainnya, wajah mereka penuh peluh tapi tetap saja melempar senyum yang buat hati jadi teduh. Tuhan, bukankah lebih baik ibu-ibu ini mengaduk sayur di dapur rumahnya? Menyiapkan makan untuk anak dan suaminya? Tidak malah melakukan pekerjaan yang –menurutku— sekeras ini. Katakanlah memang ibu-ibu tersebut kuat, tapi mereka adalah perempuan. Bagiku tetap menyakitkan menyaksikan mereka begitu, sangat menyakitkan. Bayangan wajah ibu muncul, memang beliau tak bekerja mengaduk semen seperti ibu-ibu ini. Tapi hatinya dan hati semua ibu itu sama, selalu diaduk perasaan cemas tentang keberlangsungan hidup keluarganya. Terutama anaknya. Aku hela napas lebih panjang, sambil membuat pengharapan. Moga Bunda di sana disayang Allah.
Sol sepatuku kembali beradu dengan trotoar kampus, sesekali mengenai Angsana yang berserakan. Sudah lima belas menit keterlambatanku, dan ada hal lain yang membuat langkahku kembali melemah. Seorang perempuan paruh baya dan lelaki paruh baya berjalan beriringan tepat di depanku. Secara otomatis langkahku ikut melamban, mengamati sepasang paruh baya tersebut. Sang lelaki menggenggam sekumpulan kemoceng di tangan kananya, sementara kanan kirinya memegang pundak sang perempuan. Sang perempuan juga tak kalah sibuk, kedua tangannya memeluk beberapa sapu ijuk. Mereka berdua berjalan beriringang, menjajakan kemoceng dan sapu ijuk pada siapa saja yang membutuhkan. Kusaksikan langkah kaki mereka yang pelan tapi  terus saja berjalan, pasti dan jelas arahnya. Meski pelan, tapi mereka pantang mundur. Apalagi memilih duduk dan berharap belas kasih. Tidak, itu bukan mereka. Betapa bergetarnya seluruh isi hati menyaksikan ini semua. Jelas, perasaan malu itu terus menyergap diri. Malu, malu sekali!!! Bukankah harusnya aku bisa semantap mereka? Lebih malah! Ya,  harusnya. Tapi nyatanya? Ya beginilah. Oh ya, kau perlu tahu satu hal. Kenapa sang lelaki memegang pundak sang perempuan? Sebab hanya dengan begitulah sang lelaki bisa ‘melihat’. Itulah yang membuat semua terasa lebih menyayat.

Alhasil aku sampai di kelas hampir setengah jam setelah kelas dimulai. Ya, aku terlambat. Tapi bagiku ini terlambat yang berkualitas. Sebab bisa saja ketika aku tadi tidak terlambat aku hanya akan terpenjara pada kelas pagi dan terhinoptis integral tak tentu atau sebangsanya. Namun dengan terlambat, aku bisa dapat banyak pelajaran di jalan, yang tidak akan pernah aku dapat di dalam kelas. Dan tidak akan pernah aku dapat ketika aku tidak terlambat.
Oleh karena itu, jangan cela orang yang terlambat. Bisa jadi dia memang terlambat yang berkualitas. Bagaimana terlambat yang berkualitas itu? Terlambat yang bukan karena bangun kesiangan, ketinggalan bis, antre mandi, dan kawan-kawannya.

No comments:

Post a Comment