Guguran Angsana masih menutupi
sepertiga bagian jalanan kampus. Aku adalah pengagum Angsana. Yang sangat gemar
berdiri di bawah pohon Angsana ketika bunga kuning ini sedang berguguran.
Biasanya aku menelentangkan telapak tangan dan mebiarkan Angsana jatuh di sana,
atau kalau sedang benar-benar penat aku dongakkan kepalaku menghadap pohon lalu
membiarkan bunga-bunga mungil itu menyentuh wajahku. Entah bagaimana, ini
menenangkan buatku. Andai saja semua ingatan pahit itu seringan Angsana: mudah
gugur dan terbang jauh dibawa angin. Namun aku belajar satu hal dari Angsana,
meski kita jatuh dan luruh kita masih bisa terlihat indah. Ya, Angsana yang
jatuh ke tanah selalu indah.
Kuhela napas panjang dan
melanjutkan perjalanan. Hari ini ada kelas pagi, dan aku sudah terlambat
sepuluh menit. Namun langkahku kembali tersendat, kali ini cenderung berat. Kusaksikan
ibu-ibu paruh baya mengaduk semen dengan pacul dan perabot lainnya, wajah
mereka penuh peluh tapi tetap saja melempar senyum yang buat hati jadi teduh. Tuhan,
bukankah lebih baik ibu-ibu ini mengaduk sayur di dapur rumahnya? Menyiapkan
makan untuk anak dan suaminya? Tidak malah melakukan pekerjaan yang –menurutku—
sekeras ini. Katakanlah memang ibu-ibu tersebut kuat, tapi mereka adalah
perempuan. Bagiku tetap menyakitkan menyaksikan mereka begitu, sangat
menyakitkan. Bayangan wajah ibu muncul, memang beliau tak bekerja mengaduk
semen seperti ibu-ibu ini. Tapi hatinya dan hati semua ibu itu sama, selalu
diaduk perasaan cemas tentang keberlangsungan hidup keluarganya. Terutama
anaknya. Aku hela napas lebih panjang, sambil membuat pengharapan. Moga Bunda
di sana disayang Allah.
Sol sepatuku kembali beradu dengan
trotoar kampus, sesekali mengenai Angsana yang berserakan. Sudah lima belas
menit keterlambatanku, dan ada hal lain yang membuat langkahku kembali melemah.
Seorang perempuan paruh baya dan lelaki paruh baya berjalan beriringan tepat di
depanku. Secara otomatis langkahku ikut melamban, mengamati sepasang paruh baya
tersebut. Sang lelaki menggenggam sekumpulan kemoceng di tangan kananya,
sementara kanan kirinya memegang pundak sang perempuan. Sang perempuan juga tak
kalah sibuk, kedua tangannya memeluk beberapa sapu ijuk. Mereka berdua berjalan
beriringang, menjajakan kemoceng dan sapu ijuk pada siapa saja yang membutuhkan.
Kusaksikan langkah kaki mereka yang pelan tapi terus saja berjalan, pasti dan jelas arahnya.
Meski pelan, tapi mereka pantang mundur. Apalagi memilih duduk dan berharap
belas kasih. Tidak, itu bukan mereka. Betapa bergetarnya seluruh isi hati
menyaksikan ini semua. Jelas, perasaan malu itu terus menyergap diri. Malu,
malu sekali!!! Bukankah harusnya aku bisa semantap mereka? Lebih malah! Ya, harusnya. Tapi nyatanya? Ya beginilah. Oh ya,
kau perlu tahu satu hal. Kenapa sang lelaki memegang pundak sang perempuan?
Sebab hanya dengan begitulah sang lelaki bisa ‘melihat’. Itulah yang membuat
semua terasa lebih menyayat.
Alhasil aku sampai di kelas hampir
setengah jam setelah kelas dimulai. Ya, aku terlambat. Tapi bagiku ini
terlambat yang berkualitas. Sebab bisa saja ketika aku tadi tidak terlambat aku
hanya akan terpenjara pada kelas pagi dan terhinoptis integral tak tentu atau
sebangsanya. Namun dengan terlambat, aku bisa dapat banyak pelajaran di jalan,
yang tidak akan pernah aku dapat di dalam kelas. Dan tidak akan pernah aku
dapat ketika aku tidak terlambat.
Oleh karena itu, jangan cela orang
yang terlambat. Bisa jadi dia memang terlambat yang berkualitas. Bagaimana
terlambat yang berkualitas itu? Terlambat yang bukan karena bangun kesiangan, ketinggalan
bis, antre mandi, dan kawan-kawannya.
No comments:
Post a Comment