Wednesday, May 30, 2018

Diam-Diam Aku Juga Menyimpan Jenuh



Usiaku akan genap 24 tahun di tahun ini, usia yang cukup terlambat jika belum menuntaskan pendidikan S 1. Orang-orang menilaiku begitu bersemangat, meski sudah hampir 6 tahun utuh kuliah, 2 tahun di jurusan yang salah, 4 tahun di jurusan yang aku minati. 6 tahun, bocah sekolah saja sudah lulus SD semestinya. Tapi, kadang kala bukan masalah ingin mendapat gelar atau hak-hal heroik apapun itu. Sesepela, sesak tiap kali bertukar cerita kepada teman-teman sebaya atau bahkan adik kelas semasa SMP atau SMA. Beberapa sudah sibuk mengurus tesis untuk gelar masternya, beberapa sedang semangat keliling dunia untuk menuntaskan pekerjaannya, beberapa nampak sibuk sekali mengurus beasiswa ke luar negeri, beberapa juga sedang beradaptasi karena baru masuk CPNS. Aku tentu gembira mendengar kabar baik itu, ikut bangga pernah menjadi bagian hidupnya meski tak pernah berkontribusi apapun untuk jalannya menuju kesuksesan. Namun, naluriku sebagai manusia utuh yang punya hati, diam-diam aku menyimpan kejenuhan. Aku merasa hidupku begini-begini saja, jalan di tempat tanpa punya arah yang jelas. Jenuh, ya kalau boleh mngeluh jenuh, bosan, aku akan selalu berteriak-teriak jenuh dan bosan setiap hari, keras, kencang, sampai hatiku sedikit bisa lega.

Tapi aku tahu, meneriakkan kejenuhan dan kebosanan bukanlah pilihan yang baik untuk menentramkan hati, tidak pula akan memberi solusi. Tak ada guna. Meski sekarang aku sedikit pontang-panting melawan cekikan jenuh, bosan, malas , dan apapun itu sebutannya. Meski berulang kali aku merasa ingin luruh, berhenti saja, ini semua sudah cukup. Meski berulang kali aku terseok-seok menghentikan langkah di beberapa tepian kisah ini. Meski banyak hal membuatku jatuh, tersungkur, tapi aku (harus) kuat. Kejenuhan ini harus ku obati dengan semangat yang kupaksakan setiap saat, paling tidak, biar aku tidak dipecundangi oleh diriku sendiri, oleh pikiran burukku sendiri, oleh apapun hal buruk yang lahir dari diriku sendiri.

Wonogiri, 30 Mei 2018

Tuesday, May 29, 2018

Ada Baiknya Kita Bertemu


Ada baiknya kita bertemu saja, duduk di  teras rumahmu yang masih sejuk dan teduh. Kita bebas bicara apa saja, mengutarakan apa kegelisahanmu, menceritakan hal-hal yang membuatmu penat belakangan ini, atau apapun. Aku ingin dengar ceritamu.

Ada baiknya kita bertemu saja, belakangan aku memang tidak suka berkabar lewat pesan singkat. Bahasa pesan singkat itu menyesatkan, multi tafsir dan membuat asumsi-asumsi bertebaran sesukanya. Apalagi perihal last seen dan centang biru yang kerap mengundang pikiran buruk.

Ada baiknya kita bertemu saja, sendumu terasa nanar akhir-akhir ini, aku ingin tahu apa yang membuatmu begitu gusar. Kepindahanmu kah? Atau malah kau masih bimbang? Coban ceritakan, kita duduk di warung pinggiran kota ini, menghabiskan waktu menuju petang, tanpa meninggalkan seruan-Nya.

Jadi, kapan kita bisa bertemu? Sore ini, mungkin?


Pulang, Sayang

Ada yang sedang perang
Bergumul saling serang

Siapa, Sayang?

Hatiku yang tak tenang dengan pikiranku yang gersang, Sayang
Kesemuanya beradu menujumu, Sayang
Keduanya ingin rebah dalam dekapanmu, Sayang

Rebahlah, adukanlah, Sayang
Kemarilah, pulang

Sebentar, belum saatnya pulang
Seserahan dan seperangkat alat salat masih menjadi hutang
Tunggu sebentar lagi, kamu akan menjadi rumah, tempat di mana asa dan rasaku pulang

(Prasetyani Estuning Asri, 2018)