Thursday, January 17, 2013

PRASASRI 4



Sayup-sayup terdengar adzan Shubuh  berkumandang, aku masih meringkuk di ranjang dan enggan bangkit dari tidur yang tidak terlalu nyenyak semalam. Ibu yang hari itu tidur di sampingku sudah tidak ada, pasti beliau sudah terbangun sedari tadi. Ibu memang selalu begitu, bangun lebih awal dari semua penghuni rumah, menyiapkan keperluan semua anggota keluarga. Dan aku, hanya tinggal menikmatinya saja, jarang sekali membantu Ibu di pagi hari. Tapi, pagi itu Ibu terlihat tidak melakukan aktivitas seperti biasanya, beliau sibuk membongkar isi lemari. Sebuah tas yang biasa kami gunakan untuk pergi ke luar kota diraihnya, setiap helai baju dilipatnya dan dimasukkan ke dalam tas. Dengan nyawa yang belum terkumpul dan mata yang masih buram, aku mendekati Ibu.
“Berangkat jam berapa, Bu?” Tanyaku sambil duduk di dekat Ibu.
“Nanti, kalau kamu, Tyo, dan Mas Pras sudah berangkat sekolah, Ibu dan Bapak berangkat.” Ibu menjawab tanpa memandangku.
Esok, aku tidak bisa lagi bermalas-malasan bangun pagi seperti hari ini dan hari-hari sebelumnya. Pekerjaan rumah Ibu, mulai esok sudah berpindah menjadi tugasku. Hari ini Ibu dan Bapak akan pergi ke Jogja, ke sebuah rumah sakit swasta,rencananya Ibu akan melakukan operasi. Operasi syaraf yang terjepit di tulang belakang. Semalam, Ibu mempersiapkan segalanya. Mempersiapka segala keperluanku dan kedua saudara laki-lakiku. Karena aku perempuan sendiri, tentunya urusan memasak dan pekerjaan rumah lainya Ibu limpahkan padaku. Disebabkan waktu yang hanya semalam, Ibu hanya sempat mengajariku menanak nasi. Kata Ibu, yang penting bisa nanak nasi dulu, untuk urusan lauk nanti beli saja. Kemudian cara mencuci dan menyetlika baju juga Ibu ajarkan malam itu, dan mau tidak mau aku harus belajar. Aku hanya mengangguk dan sesekali bertanya ketika Ibu mengajariku, dan Ibu paling mewanti-wanti ketika mengajariku menyetlika. Aku menghela napas ketika semua instruksi Ibu telah usai. Sejujurnya aku ingin belajar seperti ini, tapi tidak dalam waktu sesingkat ini dengnan kondisi yang sama sekali tidak aku inginkan.
“Bu, Pak, Setya berangkat sekolah ya.” Punggung tangan Bapak dan Ibu aku cium. Ketika aku mencium punggung tangan Ibu yang mulai keriput, Ibu manarikku, lalu meraih badanku. Dipeluknya aku, hangat sekali. Tiba-tiba pundakku terasa hangat dan basah, Ibu menangis. Entah apa yang terjadi, semalam Ibu bilang operasinya tidak akan lama dan Ibu akan segera pulang, tapi kenapa Ibu sekarang menangis. Aku tidak mau banyak tanya, aku berusaha percaya seutuhnya apa yang dikatakan Ibu semalam. Tapi seberapa pun aku percaya, aku juga benci perpisahan. Mataku mulai memerah, aku sudah tak mampu membendung air mata. Seketika aku sesegukan. Pelukan Ibu semakin erat, beradu dengan gejolak dan tanda tanya besar dalam pikiranku tentang kondisi Ibu. Ajaib, pelukan itu mampu menghentikan tangisku, menenangkanku. Dengan sigap Ibu lalu membangkitakn badanku, menghapus air mataku, lengkap dengan kecupan hangat di kening dan kedua pipiku. Tas sekolah aku raih, ini langkah terberat pergi ke sekoalah. Sebab nanti ketika pulang, untuk pertama kalinya aku tidak akan bertemu ke dua malaikat duniaku dalam waktu yang entah sampai kapan.
Di sekolah aku hanya mematung di bangku. Meletakkan kepalaku di atas ke dua tangan yang bersedekap di atas meja. Teman-teman nampak kewalahan mengajakku bermain karena sama sekali tidak aku gubris. Siang itu, aku malas sekali pulang ke rumah. Tapi tiba-tiba pekerjaan rumah menghantui, aku belum nanak nasi. Bergegas aku meninggalkan SD N 6 Wonogiri, sekolahku. Belakangan ini, semenjak Ibu bolak-balik ke rumah sakit aku jadi lebih sering melompat pagar belakang sekolah ketika pulang. Aku ingin segera sampai rumah, dan mengetahui kondisi terkini Ibu. Sudah sebulan belakangan Ibu mengeluh sakit pada lutut kirinya, Bapak lalu memaksa Ibu untuk periksa di rumah sakit umum di Solo. Kabar baik, Ibu hanya perlu mengikuti terapi selama tiga minggu dan sakitnya akan hilang. Tapi ternyata tak semulus yang kami bayangkan, kaki Ibu tak kunjung sembuh meski paket terapi sudah habis. Setelah konsultasi pada seorang dokter, Ibu lalu memberanikan diri untuk periksa ke dokter spesialis syaraf di Jogja. Kala itu aku ikut, miris! Setelah melakukan check up, Ibu diharuskan menjalani operasi. Yang membuat kami tersentak, operasi harus dilakukan sesegera mungkin dan Ibu harus diopname malam itu juga. Namun dengan tegas Ibu menolak, dalam kondisi segenting itu Ibu masih memikirkan kami, anak-anaknya. Mana mungkin Ibu akan meninggalkan kami tanpa bekal apa-apa, dengan bersi kukuh Ibu memaksa dokter untuk mengundurnya. Sehari, iya mengundurnya sehari untuk mengajriku nanan nasi dan cuci baju.
Rumah masih tampak lengang, Tyo tertidur di depan TV. Anak itu, selalu lebih kuat dari aku. Dengan langkah gontai aku masuk kamar, terlihat sebuah surat bertengger manis di atas meja belajar. sudah ku duga itu pasti surat dari Ibu, setiap kali akan pergi Ibu pasti meninggalkan surat. Kuhempaskan tubuhku di atas ranjang, sembari perlahan aku baca surat itu.
Dik Setya+Dik Tyo yts. .

Dik hati-hati yaa, doakan ibu agar selamat dan lancar,dapat kembali sehat lagi. Dik Setya nanti pulang sekolah ketempat Mbak Bela ya njaga Mas Faras. Dik Tyo diajak, jangan dinakali ya, makan dulu.
Wis yaa . .

Cium dan peluk sayang

Ibuk
Air mataku lagi-lagi menetes tak karuan. Setelah melipat surat itu dan menaruhnya di lemari aku melangkahkan kaki menuju dapur. Aku kaget bukan kepalang di meja makan sudah terhidang banyak makanan, padahal seingatku tadi pagi Ibu tidak sempat memasak. Setelah aku amati masakan-masakan itu, aku mulai menyadari bahwa itu bukan masakan Ibu. Ya, aku hapal betul masakan Ibu, bahkan hanya dengan melihatnya saja aku sudah bisa mengenalinya. Tapi tak penting masakan siapa, yang jelas aku lega bisa makan tanpa harus repot-repot beli lauk. Tinggal masak nasi, dan makan. Setelah aku usai memasak nasi, Tyo terbangun dan buru-buru menuju ke arahku.
“Mbak, tadi di kasih lauk sama Bu Camat. Warungnya kan baru buka.” Kata Tyo sembari mengolet.
“Ow. Iya, nanti kita kembalikan pring-piringnya dan bilang terima kasih.” Tandasku sambil meraih tudung saji di meja makan lalu menutupkannya.
Usai nasi masak, aku dan Tyo lantas segera menyantap hidangan yang ada. Selezat apa pun masakan ini, batinku tetap bergelayut pada masakan Ibu yang tidak ada tandingannya. Mas Pras belum pulang, barangkali dia akan pulang sore karena mengikuti les. Seperti instruksi dari Ibu, setelah mengembalikan piring-piring kepada Bu Camat, kami lalu menuju rumah sepupu kami yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah.
Malam ini hening sekali, Mas Pras sibuk dengan komputernya, Tyo sibuk membisu di depan TV, dan aku berusaha sekuat tenaga untuk membaca buku tapi tidak konsen sama sekali. Kuraih gagang telepon, aku telepon rumah sakit dimana Ibu dirawat. Iya, tadi siang Bapak telpon melalui telepon rumah sakit dan memintaku menghubungi rumah sakit jika terjadi sesuatu atau hanya sekedar ingin mendengar suara Bapak dan Ibu.
“Halo, Selamat malam. Ada yang bisa dibantu?” Suara nyaring dari seorang wanita terdengar di ujung telepon.
“Selamat malam, saya minta tolong disambungkan dengan kamar No. 56.” Kataku sedikit gugup.
“Baiklah, tolong tunggu sebentar.” Suara nyaring itu kembali menyeruak.
Tidak begitu lama kemudian aku sudah terhubung dengan Ibu, aku menceritakan apa saja yang sudah terjadi hari ini. Sesekali Ibu tertawa dan mendeham. Di ujung pembicaraan, aku bertanya pada Ibu,
“Bu, kapan pulang?” Aku tahu ini pertanyaan yang sangat memberatkan bagi Ibu. Sebenarnya aku tak tega menanyakan ini, tapi hatiku terus bergejolak. Karena tak kunjung ada jawaban, aku mengalihkan pembicaraan.
“Eh, Ibu diinfus? Di sana enak tidak Bu makannya? Ibu sekarang gimana kondisinya?” Tanyaku beruntun, agar Ibu lupa tentang pertanyaanku tadi “Kapan pulang?”.
“Tidak, Nduk. Ibu tidak diinfus. Ibu masih seperti biasanya kok. Makanan di sini enak-enak, Nduk. O iya, soal kapan pulang. Ibu belum bisa memastikan. Hari ini Ibu melakukan banyak check up, dan hasilnya baru keluar beberapa hari ke depan. Kalau badan Ibu sehat, Ibu bisa segera operasi dan pulang. Doakan saja ya, Nduk.” Jelas Ibu.
Masih lama, pekikku dalam hati. Tyo yang sedari tadi duduk manis di sampingku tiba-tiba meraih gagang telpon yang masih melekat di kupingku. Kubiarkan dia meraihnya, dan kusaksikan banyak pertanyaan ia lontarkan pada Ibu. Hebatnya, dia tidak cengeng sepertiku. Padahal usianya jauh lebih belia dariku, Tyo masih kelas 1 SD sedangkan aku sudah kelas 6 SD.
Tiga hari berlalu tanpa Bapak dan Ibu. Aktivitas pagiku seperti biasa, usai salat aku langsung masak air untuk membuat susu. Lalu menanak nasi, dan kalau sempat ya menyuci baju. Mas Pras bertugas membeli lauk. Sedang Tyo, hanya aku minta untuk menemani di dapur atau kalau tidak aku biarkan dia tidur lagi. Aku dan Tyo satu sekolah, kita selalu berangkat bersama.  
Siang itu ketika jam istirahat tiba, Luki menyusulku di perpustakaan. Kebetulan sejak kelas 6 ini aku mendapat tugas sebagai sekertaris perpustakaan. Tugasku sederhana, hanya memberikan kartu perpustakan pada anak-anak yang akan meminjam buku dan mencatatnya pada buku perpustakaan. Aku sangat menikmati tugas ini, karena dengan begitu aku juga bisa tahu lebih banyak buku yang ada di perpustakaan. Luki  duduk di dekatku, lalu menyenggol lenganku yang tengah sibuk mencatat buku-buku yang dipinjam. Aku paham kode dari Luki, lalu aku mengentikan sejenak kesibukanku.
“Ada apa, Ki?” Tanyaku tanpa bertele-tele.
“Aku punya kabar gembira buatmu!” Ujar Luki antusias.
“Apa??” Tanyaku penasaran.
“Tadi, aku ketemu sama Bu Siti. Kita diminta untuk ikut latihan bikin sinopsis lagi buat perlombaan, akan ada seleksi lagi. Nanti sore, kita sama-sama ke rumah Bu Siti ya? Ini kesempatan baik buatmu! Dulu kan kamu nyaris mau maju lomba, siapa tahu kali ini benar-benar lolos. Aku tunggu di rel kereta biasa kita kumpul ya. Jam 4!” Luki menjelaskan padaku tentang kabar gembira itu tanpa jeda, dia bercerita dengan semangat berkobar-kobar.
Sekolah kami memang terkenal sering memenangi juara lomba sinopsisi, jadi setiap kali akan diadakan seleksi kami sangat antusias. Apalagi aku, yang notabene sangat gemar membaca dan menulis. Ketika kelas 5 aku juga mengikuti pelatihan sinopsis di rumah Bu Siti, guru Bahasa Indonesia kami. Kala itu cara menulisku dinilai sudah cukup baik, tapi karena aku tidak pandai presentasi jadi aku belum berhasil ikut lomba. Karena kegagalan itu, kau mau memperbaikinya di seleksi berikutnya. Berbeda denganku, Luki hanya ingin menambah pengalaman saja dan tidak telalu berharap untuk bisa ikut lomba.
“Aku nggak bisa, Ki.” Tukasku singkat.
“Apa???? Aku tahu kamu itu pengen banget ikut lomba kan? Kenapa sekarang ada kesempatan kamu nggak ikut?? Kamu takut gagal lagi?” Luki nampak kesal setelah mendengar jawabanku.
“Bukan, bukan gitu. Jujur aku pengen ikut tapi keadaanku tidak memungkinkan.” Aku mulai murung.
“Kenapa?” Luki seolah mendesakku untuk terus bercerita.
“Ibuku, Ibuku sakit. Sekarang di rawat di rumah sakit yang ada di Jogja. Pekerjaan rumah sekarang jadi tanggung jawabku, tapi itu sebenarnya tidak jadi soal karena aku bisa mengerjakannya pagi hari. Tapi, Tyo sama siapa kalau aku latihan sinopsis. Mas Pras sekarang sedang sibuk ikut les dan juga ikut bimbingan belajar untuk bisa masuk perguruan tinggi, dia kan sudah kelas 3 SMA. Aku juga tidak mau dia terlalu repot memikirkan aku dan Tyo. Sedangkan kau tau sendiri, latihan sinopsis itu sangat menyita waktu. Kita bisa pulang malam atau bahkan menginap di rumah Bu Siti. Mana aku bisa, Ki.” Akhirnya aku mencurahkan semuanya pada Luki.
Keadaan menjadi hening. Luki menunduk dan berhenti memaksaku untuk mengikuti latihan itu. Dulu, ketika kelas 5 aku pernah ikut letihan membuat sinopsis di rumah Bu Siti. Waktu itu aku berangkat pukul 16.00 WIB, tapi karena aku terlalu asyik menulis aku baru pulang sekitar pukul 21.00 WIB. Sebelumnya ketika ba’da Isya’ Ibu dan Tyo sudah  menjemputku . Tapi aku menolak di ajak pulang, “Tanggung, Bu” kataku pada Ibu yang sudah susah payah menjemputku. Aku memang tidak bisa dipaksa, Ibu lalu mebiarkanku tetap menulis. Dan aku pulang diantar suaminya Bu Siti.
“Ya sudah, kalau begitu alasanmu. Aku turut prihatin, kamu yang sabar ya. Nanti aku bilang ke Bu Siti soal ini. Karena tadi beliau menanyakanmu.” Kata-kata Luki menghancurkan hening yang tiba-tiba hadir. Tangannya lalu menepuk-nepuk lenganku, pertanda menguatkan. Aku pun tersenyum, senyum yang sangat aku paksakan.
Sekonyong-konyong kau langkahkan kaki menuju rumah, ingin segera menghempas badanku di atas ranjang. Tiba-tiba kepalaku pening, mungkin terlalu memikirkan lomba sinopsis. Dengan berat hati aku mengubur dalam-dalam mimpi yang sudah aku idamkan sejak dulu itu. Tiba-tiba telepon rumah berdering, Ibu menelpon. Kabar baik, akhir pekan ini karena libur tiga hari aku akan dijemput Bapak dan sama-sama menjenguk Ibu ke Jogja. Sebentar lagi rindu ini sirna, sungguh bertemu dengan Ibu adalah obat mujarab untuk menyembuhakan luka apa saja. Seketika, lomba sinopsis itu tak lagi menghujam jantungku. Bayang-bayang wajah Ibu enjadi pelipur lara yang mendamaikan hati.
Setelah perpisahan dengan Ibu, aku merasa banyak hal yang berubah dariku. Aku belajar untuk tidak lagi menjadi anak manja yang apa-apa tinggal minta. Keadaan yang mendesakku untuk berubah, atau barangkali ini memang cara Allah untuk merubahku. Sungguh, Allah selalu punya cara untuk menegur hamba-Nya dan menuntun hamba-Nya pada jalan yang benar. .

No comments:

Post a Comment