Wednesday, November 6, 2013

Dayung yang Kau Tinggal

Kau biarkan aku tenggelam dalam lautan sore itu, tanpa perahu karet atau paling tidak pelampung. Hanya dayung yang kau tinggal, entah untuk apa. Sampai pada akhirnya aku terdampar pada  antah berantah lainnya, dan masih memegang dayung yang kau tinggal. Tanpa tahu untuk apa. Tiba pada malam yang amat kelam, aku masih terdampar dan memegang dayung yang kau tinggal. Dengan terseok aku paksa siksa kaki biar tak manja lagi. Kolaborasi gilu, lemas, mati rasa, dan sejenisnya membuat aku mulai mencibir kau. Tega kali kau meninggalkan aku begini. Aku masuk lebih dalam ke hutan tempatku terdampar, masih dengan erat memegang dayung yang kau tinggal. Lebih dalam masuk ke belantara itu, makin banyak yang tak aku tahu. Makin sering aku menduga-duga, dan makin sering aku mencela apa saja. Ya, termasuk kau! Benci sudah aku pada kau, yang entah tiba-tiba kemana. Akar-akar pohon tua di hutan ini amat besar, sering menyandung langkahku. Jatuh bangun aku melewatinya. Dan setiap aku tersandung, sinyal untuk memaki kau makin kerasa saja.

Kakiku mulai mati rasa, perih sudah tak terasa. Bahkan rasanya makin melayang, hanya saja aku tetap rasakan letih. Letih, sangat letih, tapi tetap kupegang dayung yang kau tinggal. Dayaku habis ketika sampai di bibir pantai. Jalan ini rupanya amat rumit, aku sudah hilang asa. Mataku terpejam begitu saja, badanku luruh ke tanah, ini titik paling melelahkan. Namun, dayung yang kau tinggal masih erat dalam kepalan telapak tanganku.

Semilir angin pantai pagi itu amat lembut menyapu wajahku. Kudengar napas tersengal di sampingku, meringkuk kedinginan. Dengan memegang erat dayung yang kau tinggal aku dekati tubuh itu. Tubuh yang memunggungiku sekitar setengah meter dari tempat aku terkapar dini hari tadi. Bukan main, aku kaget. Tubuh itu rupanya kau, dengan kondisi amat menyedihkan. Di sebelah kau sebuah perahu kayu berukuran sedang tergelatak tak kalah tak berdayanya dengan kau. Tak kuhiraukan perahu itu, kuperiksa tubuhmu. Tangan kau merah, bahkan kulit arinya mengelupas dan tak hentinya mengalirkan darah segar. Kaki kau tak kalah memprihatinkan, lebam seperti berkali-kali tersandung benda yang amat keras. Kukira aku yang paling nelangsa di perjalanan ini, ternyata kau jauh lebih dan lebiiih nelangsa. Gugur sudah semua benci yang aku pelihara sedari kemarin itu.

“Bawa dayung kau, itu perahu kau, segera pergi ke laut. Kau harus berlayar sekarang.” Suara kau parau, namun suara bariton kau itu selalu melegakan.

Aku terisak. Rupanya begini? Begini cara kau? Kau tinggalkan aku tenggelam di lautan tempo hari, membiarkan aku mencari jalan sendiri untuk sampai ke bibir pantai ini. Rupanya dengan segala perih kau bopong perahu ini untukku? Lusa, sepanjang perjalanan kuhabiskan untuk memaki apa saja, termasuk memaki kau. Sebuah tanya kuulang beribu kali, “Kenapa kau hanya bekali aku dayung??? Mana perahunyaa???” Rupanya diam-diam kau bawakan perahu itu untuk jalanku selanjutnya, biar aku tak terlalu nelangsa.

“Kenapa kau tak biarkan aku membantu mengangkat perahu itu sampai di sini? Kenapa?” Tanyaku dengan sesal yang paling tinggi.

Kau tak juga menjawab, malah menyeret tubuhku ke dalam perahu dan membiarkan aku berlayar. Kemudian menguatkan genggaman tanganku pada dayung yang kau tinggal. Kemudian kau bicara,

“Selesaikan apa yang harus kau selesaikan. Sebrangi lautan ini, dan sampailah di pulau yang lebih indah.”

Sore itu ada cahaya yang jauh lebih menyilaukan daripada senja. Kulipat kaki dan duduk terpekur di depan pintu. Lalu diam-diam mataku liar mengamati cahaya itu, cahaya yang lebih menyilaukan dari senja. Iya, itu cahaya dari tatap nanar mata kau. Ujung-ujung jariku mulai mengikir lantai, menimbulkan suara miris di ulu hati. Tiba-tiba mataku pedas dan tak lama mulai kebas.

Bukan tangismu atau keluhmu yang buat aku tak kuasa menahan ini semua. Tapi justru senyummu, kuatmu, hebatmu, dan luar biasamu yang membuat aku kebas begini. Tanyaku tetap sama, dimana kau sembunyikan semua itu? Dimana kau taruh lelah, penat, gelisah, marah, keluh, dan semua bentuk gulma di kepala itu? Dimana?

Seperti biasa, kau tak mau berbagi apa yang ada di balik dadamu.


--Prasetyani Estuning Asri

No comments:

Post a Comment