Thursday, January 23, 2014

Yang Tak Terselesaikan

Siang itu aku masih sibuk merogoh kantong jaket untuk mengambil kunci kamar kos, tiba-tiba Riya datang dengan wajah masam. Belum sempat aku bertanya tentang apa yang terjadi tapi dia sudah lebih dulu masuk ke kamarnya, terdengar suara badannya yang terhempas di kasur. Kuurungkan sejenak niatan untuk mencari kunci yang masih bersarang di kantong jaketku.

“Aku boleh masuk?” Di sela pintu kamar Riya –kamar yang berada tepat di depan kamarku— suaraku lirih dan pelan-pelan terbawa angin hingga akhirnya sampai ke telinga Riya.

“Ya.” Riya menjawab dengan datar.

Kusaksikan kamar Riya amat berantakan, berbagai kertas berserakan tak beraturan. Padahal, meski Riya itu cuek tapi untuk urusan beres-beres kamar, aku selalu kalah rapi.

“Semalam kau belajar sungguh-sungguh ya nampaknya, aku turut senang.” Kalimat berikutnya keluar begitu saja dari mulutku setelah memeriksa kertas-kertas yang berserakan itu, kalimat yang nampaknya amat keliru.

“Ahhhhh. Mau belajar sungguh-sungguh atau tidak, juga sama saja.” Ledakan amarah terdengar dari suara serak Riya disusul dengan seabrek kertas ujian yang ia sodorkan padaku.

Aku menghela napas pelan, membiarkan Riya tenang sejenak. Sesekali aku menepuk pundaknya, sebab kata-kata kurasa hanya akan sia-sia. Namun sayangnya, lagi-lagi aku mengulangi kesia-siaan yang keliru.

“Sudah. Aku juga remidi banyak kok. Nilaiku buruk-buruk, kau tidak sendiri.” Begitu kalimat yang sebenarnya kutujukan untuk membesarkan hatinya.

“Maksud kau apa ha? Kau bilang nilai delapan, sembilan, bahkan seratus itu buruk? Teman satu kelas kau tadi menitipkan kertas ujian kau padaku, lihat saja di bawah  tumpukan kertas ujianku yang kau pegang itu. Tidak usah menghiburku dengan merendahkan diri kau seperti itu, karena justru semakin menyakitiku! Sudah aku mau keluar dulu. Assalamu’alaykum.” Kini Riya benar-benar meledak. Meninggalkan aku yang masih terpaku di kamarnya dengan setumpuk hasil ujianku –yang ternyata berada di bawah tumpukan kertas ujian Riya—.

“Wa’alaykumssalam.” Lirih aku membalas salam Riya.

***


Keesokan harinya, aku masih tak mau bersuara. Bukan karena aku marah, bukan pula aku tak mau memulai, tapi karena aku tak mau keliru untuk yang kesekian kalinya.

“Mel, mau nitip makanan tidak? Aku mau beli lauk.” Suara riang itu menelusup ke dalam kamarku, suara dari orang yang sangat aku kenal, Riya.

“Eh, iya, nitip nasi pecel saja.” Tukasku singkat setengah kaget, masih canggung karena kejadian kemarin.
Sepuluh menit kemudian Riya datang dengan dua kantong plastik yang ia tenteng di kedua tanggannya. Para penghuni kos sudah berangkat ke kampus pagi itu, tersisa aku dan Riya yang kebetulan sama-sama kuliah siang. Jadilah kami menikmati sarapan di ruang makan, berdua. Dugaanku, sarapan kali ini akan berjalan amat kaku. Beruntung, dugaanku seratus persen keliru.

“Anu, aku mau minta maaf soal yang kemarin. Kau tahulah bagaimana aku.” Riya membuka percakapan di meja makan, disusul dengan hembusan napas legaku.

“Akhirnya!!! Kau sudah sehat kembali. Tidak apa, hanya saja aku selalu ketakutan jika kau seperti kemarin itu. Kau amat meyeramkan, sungguh!!!!” Iya, emosi Riya yang meledak seperti kemarin itu bukan hal baru bagiku, hanya saja aku belum terbiasa. Namun yang aku suka dari Riya, meski ketika marah amat meledak-ledak tapi akan reda dengan cepat. Sebab dia pernah bilang padaku, daripada berlarut-larut memendam kesal lebih baik diungkapkan saja. Caranya menyelesaikan masalah memang cenderung mirip laki-laki, saat itu juga dan tak mau bertele-tele seperti perempuan. Namun aku perempuan, yang terkadang tak siap dengan sikap ‘jantan’ Riya.

“Haha. Maafkan aku. Kemarin itu aku benar-benar sedang kesal. Seminggu ini aku belajar mati-matian, tapi nilai ujianku ya Tuhan, tetap sangat menjijikkan.” Dari gaya bicaranya aku makin yakin bahwa Riya benar-benar sudah ‘sembuh’.

“Aku juga minta maaf, tentang kata-kataku yang melukai hati kau kemarin itu. Maaf ya. Kau harus tetap semangatt!!” Aku menjabat tangan Riya, sebagai simbol bahwa kami sudah tak ada konflik lagi.

Usai menuntaskan sarapan aku bergegas bersiap menuju kampus, meninggalkan Riya yang kuliahnya masih tiga jam lagi. Aku dan Riya satu fakultas, tapi berbeda jurusan. Aku Mela, mahasiswi tingkat dua yang dikenal berprestasi. Dua semester yang telah aku lalui menghasilkan cumloud, membuatku dengan mudah mempertahankan beasiswa. Aku bukannya sombong, aku hanya bicara tentang fakta. Riya, dia teman baikku, selain satu kos dan satu fakultas, kami juga satu organisasi. Riya anak yang periang, namun terjebak pada jurusan kuliah yang tak pernah ia nikmati. Jiwanya utuh di dunia menulis, sungguh tak bisa dibagi. Berbeda denganku yang rajin sekali kuliah, dia hanya sekali dua kali masuk kelas. Hal ini cukup merepotkanku ketika Ayah Riya mengadakan sidang dadakan dengan datang ke kosan. Berbagai alasan aku buat untuk melindungi Riya. Riya sudah bukan kuanggap teman lagi, dia sudah seperti saudara kandungku sendiri.

“Mela!”

Suara teriakan dari lobi jurusan menghancurkan lamunanku, bergegas aku memutar badan melihat  sang empunya suara.

“Rani, ada apa?” Kataku sambil merespon jabat tangan dari Rani.

“Mel, kau tau tidak Riya dimana? Hari ini ada ujian dan dia tidak masuk.”

“Apa? Dia tadi bilang akan ke kampus. Oh ya sudah, nanti aku hubungi dia. Barangkali Riya sedang tak enak badan. Aku permisi dulu ya Ran.” Aku bergegas meninggalkan Rani, segera ingin sampai kos dan bertemu Riya.

Aku tahu, Riya makin buruk akhir-akhir ini. Meski sempat hanyut dalam euforia semangat belajar tapi itu hanya formalitas, hatinya entah sedang memikirkan judul cerita apa. Pantas saja kalau hasil ujiannya masih tetap jelek, dia belum sepenuh hati atau bisa dibilang tak akan pernah bisa sepenuh hati memperjuangkan kuliahnya ini. Tiap hari meski nampak riang, aku tahu pasti ada waktu buatnya untuk menangis. Hanya luarnya saja yang nampak tak ada apa-apa, tapi hatinya remuk seremuk-remuknya.

***

“Aku tadi ke kampus sebelah, ikut seminar kepenulisan. Kau tahu, penulisnya adalah idolaku. Sayang sekali kalau sampai aku lewatkan. Sudah cukup waktuku habis selama ini untuk mengejar apa yang tak ingin kukejar, sesekali boleh lah aku keluar ‘lintasan’.” Enteng saja Riya menjawab pertanyaanku tentang kenapa dia tak ikut ujian.
“Tapi kenapa tadi kau tak bilang padaku?” Aku masih jengkel.

“Bilang kepada kau sama saja seperti maling yang mau kabur dari penjara tapi minta ijin dulu sama polisi yang jaga. Hahaha!” Riya nampak riang usai mengikuti seminar kepenulisan, tak ikut ujian bukan suatu masalah baginya.

“Aku sedang serius! Sampai kapan kau akan seperti ini ha? Sampai kapan kau akan merepotkan banyak orang? Kenapa tak sekalipun kau menghargai kekhawatiran orang lain? Semua orang itu menyayangi kau, peduli pada kau, tapi apa balasan kau? Kau boleh saja benci dengan kuliah kau saat ini, tapi membencilah dengan bertanggung jawab!” Kusaksikan air muka Riya mulai berubah, wajahnya tertunduk. Dan aku masih dengan marahku. “Apa kau tidak kasihan dengan Ayah kau ha? Ayah kau sudah tua, dia orang tua kau satu-satunya! Dan kau, kau! Kau seenaknya saja kuliah! Sembarangan, asal! Kalau kau memang mau berhenti, berhenti saja! Jangan berjalan tapi berhenti sembarangan seperti saat ini, bikin macet! Bikit rumit! Kau harus tegas dengan hidup kau, Riya!!” Entah setan apa yang merasuki diriku, kurasakan sikap ‘jantan’ Riya merasuk ke selurih sendi-sendi tulangku lalu menelusup ke pembuluh darah hingga ke seluruh tubuhku. Aku seperti dirasuki Riya, iya kali ini aku yang meledak.

Setelah kesetanan, aku sengaja meninggalkan Riya sendiri. Malam itu akau menginap di kosan temanku. Demi Allah, aku bertindak seperti ini sepenuhnya hanya karena aku sayang pada Riya. Aku tahu Riya ‘sakit’, dan aku ingin dia ‘sembuh’. Setahun setengah melihat kawan baikku ‘kesakitan’, cukup membuat aku ikut tersiksa, tak tega.

***

“Apa? Riya hari ini tak masuk lagi?” Aku lemas seketika mendengar laporan dari Rani, teman sekelas Riya yang rutin melaporkan kondisi Riya padaku.

“Iya, padahal hari ini ada 3 makul yang ujian. Sayang sekali Riya tidak masuk. Oh ya sudah, aku permisi dulu yan Mel, masih ada kuliah.” Rani berlalu meninggalkan setumpuk sesak dalam dadaku. Riya bukan anak yang mudah tersinggung, apalagi sampai lari seperti ini. Tadi pagi aku sempat pulang kos, kamar Riya sudah terkunci, kupikir dia sudah ke kampus. Kupikir kata-kataku kemarin membuat Riya tergerak hatinya, tapi aku keliru. Apa mungkin Riya amat terpukul dengan marahku, lalu memutuskan untuk pergi.

Sebulan sudah Riya pergi, dia tak sepenuhnya menghilang. Sesekali aku menyapanya di sosial media, dia merespon dengan baik. Sekali lagi kutegaskan, Riya bukan tipe orang ‘penyimpan’, aku paham benar marahku tempo hari bisa dicerna dengan baik olehnya. Namun dengan alasan yang tak kumengerti, dia tak pernah terbuka tentang masalah kelanjutan kuliahnya dan apa yang sedang ia lakukan. Pernah ingin berkunjung ke rumahnya, namun dia bilang sedang tak ingin bertemu siapa pun, aku memahami hal itu dan memilih untuk tidak memaksa. Hidupku mejadi sangat aneh tanpa Riya, tapi entah kenapa, aku punya firasat baik tentang Riya.

Genap empat bulan Riya tak membersamaiku, sore itu untuk melumerkan rindu aku pergi ke toko buku. Aku dan Riya memang sama-sama gemar membaca, dan toko buku adalah tempat hiburan paling menyenangkan. Tiba di toko buku aku langsung meghambur di etalase buku baru. Tak ada yang menarik, kebanyakan masih seputar percintaan remaja. Namun seketika aku tercekat, melihat setumpuk buku berjudul “Sebuah Buku”, covernya biru muda, tak banyak ornamen, hanya langit biru yang nampak timbul membelalakkan mata. Kuperiksa lebih teliti, dan pojok bawah kiri buku tertulis nama pena penulis: “RY”. Aku memeluk buku itu, memeluk Riya.

***
Seminggu setelah aku mendapat sekaligus membeli buku Riya, kami akhirnya bertemu.

“Ah, kau gila! Tak pernah cerita dan tiba-tiba sudah seperti ini!” Aku membuka percakapan.

“Haha. Aku ingat betul ketika kau marah besar waktu itu, aku ingin membalas semua kata-kata kau yang pedas itu dengan pembuktian. See, kau kaget! Itu tandanya aku berhasil. Haha. Dan satu lagi, aku tidak lagi bikin macet. Haha.” Riya terkekeh.

“Ah kau iniiiii yaaaa! Aku malu tiap ingat aku marah-marah dulu. Apa kau tak rindu padaku dan pada kawan-kawan kampus? Semua repot mencari kau! Ah aku sampai gila mencari-cari alasan tentang hilangnya Riya dari peradaban.” Kini aku mulai mengusik soal rindu.

“Haha. Maafkan aku, sudaah sangat sering merepotkan kau. Tapi kau sudah baca bukuku bukan? Setengah bab dari bukuku itu habis untuk menceritakan kau. Haha, itu wujud rinduku pada kau dan tentunya teman-teman. Bagaimanapun juga, aku hanya berada di tempat yang keliru, bukan orang-orang yang keliru. Kalian tak ada gantinya.” Riya melanjutkan.

Kami larut dalam obrolan yang panjang, Riya akhirnya menceritakan semuanya, dan satu yang paling aku suka, Ayahnya Riya telah menerima keputusannya. Riya tak banyak berubah, hanya terlihat lebih lepas dan tenang. Sesekali ia membenarkan letak kaca matanya. Memperlihatkan matanya yang nampak sayu, kurang tidur, maklum bukunya sedang naik daun dan dia mendapat tawaran mengisi seminar hingga ke luar pulau. Riya memang lelah, tapi dia bahagia, dan itu tak jadi soal baginya, lelah yang Lillah.

Mungkin bagi Riya, cerita ini sudah selesai. Selesai dengan happy ending. Tapi tidak bagiku, tidak bagi aku yang punya cerita ini. Aku Mela, mahasiswi tingkat dua yang dikenal berprestasi. Dua semester yang telah aku lalui menghasilkan cumloud, membuatku dengan mudah mempertahankan beasiswa. Aku yang dari dulu nampak jauh lebih bermasa depan ketimbang Riya. Padahal sebaliknya, aku hanyalah manusia korban sistem. Entah apa yang aku lakukan, sejujurnya aku memiliki cita-cita yang sama seperti Riya, menjadi penulis. Cita-cita sejak aku kecil, sejak aku pertama kali bisa mebaca, cita-cita yang aku bawa hingga detik ini. Namun aku terlalu pengecut untuk memperjuangkannya. Dan aku, masih terbelenggu dalam penjara yang aku rawat. Entah sampai kapan aku dipandang berhasil padahal aku sepenuhnya gagal. Entah sampai kapan.


<photo id="1" />

No comments:

Post a Comment