Usai mengikuti
kelas EAP sekujur badanku basah kuyup diterpa bulir hujan dari UPTP 2B sampai
kosan. Sore kali ini kehujanan benar-benar merenggut
kehangatan. Namun aku tak pernah benci hujan. Setiap tetesnya, air hujan adalah
kebahagiaan. Sisa gigil mendadak hilang sebab pesan singkat dari salah seorang
sahabat karib membawa kabar yang menghangatakan.
“Men, besok aku
pulangggg :D. Kita sarapan bubur di Manahan ya. Jarkom teman-teman yang lain.”
Sender: Jaya
Seketika hawa
semangat menghangatkanku. Membuat aku dengan gesit membalas pesan singkat itu. Setelah
mengiyakan permintaan Jaya, aku bergegas menjarkom SMS pemberitahuan akan
ada KMB (Konfrensi Melingkar Bundar) di
Manahan. Kenapa kusebut Konfrensi Melingkar Bundar? Karena setiap kami berkumpul,
formasinya selalu begitu, melingkar, bundar. Dan aku suka lingkaran, dimana
setiap dari kami adalah jari-jari yang memiliki jarak yang sama dengan pusat
lingkaran. Ya kami semua sama, tak ada beda kasta. Lingkaran juga lambang tak
pernah putus, selalu berkesinambungan. Seperti persahabatan kita.
Namun mendadak
aku tak begitu semangat, karena ternyata tak ada satu temanpun yang bisa datang
di acara KMB besok pagi. Kuputuskan mengabarkan hal itu pada Jaya, dengan emot
sedih bertubi-tubi.
“Haha, ya sudah
tidak ada apa-apa. Dua minggu lagi aku akan kembali pulang. Kabarkan pada
teman-teman, semoga kita bisa berkumpul.”
Sender: Jaya
***
Selasa, 9
Oktober 2012
Akhirnya kami
menemukan hari dan tempat yang tepat untuk menyelenggarakan KMB yang dua minggu
lalu sempat dibatalkan. Di belakang gerbang UNS, tepatnya di sebuah kedai bubur
ayam KMB dilaksanakan. Jaya sudah memesan semangkuk bubur ketika aku tiba di
sana, dia amat kelaparan karena semalam sampai di Solo sudah dini hari dan tak
sempat beli makan. Aku, Risti, dan Fitri yang datang bersamaan langsung meledak
melihat Jaya. Ini kali pertama kami bertemu setelah menyandang status
Mahasiswa. Juga kali pertama kami jumpa setelah Jaya sejangkah lebih maju
mengejar jas putihnya. Aku antusias
sekali. Dengan cekatan, kami lantas siap dengan formasi melingkar. Inilah KMB. Aku
menikmatinya, sangat menikmati.
“Kamu katanya
ada kuliah?” Tanya Nanda yang baru saja
datang lengkap dengan mata sembab khas orang baru bangun tidur.
“Nanti jam
setengah delapan, ini kan masih jam enam.” Kataku sembari mengeluarkan beberapa
materi kuliah untuk praktikum Kalkulus nanti. “Nih, aku mau pamer!! Yang kayak
begini ini yang bikin aku nggak bisa tinggi-tinggi!” Lanjutku sambil
menghempaskan modul kuliah yang seabrek di depan mereka.
Reflek seperti
ayam yang mendekat setelah ditebar beras, mereka juga lantas berkerumun melihat
‘barang’ menyiksa itu.
“Ha???? Masih
jaman yang kayak begini??? Kasihan banget! Aku dong, kuliah tinggal duduk, yang
penting absen, nanti ujian tinggal ngopy materi temen. Udah deh, nilai minimal
A. Minim hlo itu! Haha!” Nanda nampak sumringah menceritakan kuliahnya sampai
menyamarkan mata kantuknya, membuat aku melongo sambil menelan ludah berulang
kali.
“Yang bener,
Nda? Aku sih Alhamdulillah juga udah nggak ada hitung-hitungan. Sejauh ini
masih okelah. Tapi kalau lengah sedikit, mati di tempat aku!” Jaya yang nampak
jaga jarak dengan seonggok kumpulan rumusku mulai bercerita.
“Waaah. Iyaa,
Men! Aku sampai lupa. Kamu kan janji mau ceritain semua proses sampai kamu bisa
ketrima di kedokteran.” Aku menagih janji Jaya beberapa bulan lalu, sedikit
mengabaikan Nanda yang sukses berat membuat aku iri.
“Haha. Masih
inget aja! Oke deh aku cerita.” Jaya buru-buru menuntaskan semangkuk buburnya
dan bersiap memulai berkisah.
“STOP! Pause
dulu. Aku laper. Mau pesen bubur dulu. Siapa yang mau pesan?” Nanda dengan
sigap menghentikan sejenak aksi Jaya. Aku, Risti, dan Fitri lantas serempak
mengangkat tangan, tanda kami juga ikut pesan.
“Oke, aku mulai
nih ya. Dulu itu, waktu kita bareng-bareng ikut SBMPTN aku nggak lolos. Tapi
aku nggak mau nyerah. Aku tetep ikut berbagai jalur mandiri. Kebetulan waktu
itu kan UNS jalur swadana pendaftarannya paling awal. Nggak mau menyia-nyiakan
kesempatan, aku juga ikut. Alhamdulillah aku diterima, tapi di Fakultas Hukum,
bukan Fakultas Kedokteran. Karena berbagai hal, aku tetap ambil yang di UNS,
tapi aku masih gencer ikut ujian mandiri. Tibalah di Unsoed, tempat itu harapan
terakhirku. Semua usaha, doa, dan berbagai ibadah sunah aku maksimalkan.
Sepenuhnya aku serahkan sama Allah. InsyaAllah niatku baik, dan pasti Allah
memberikan jalan.”
Cerita Jaya
terpotong karena empat mangkuk bubur datang, menyisakan wajahku yang melongo
takjub dengan cerita Jaya. Jaya memberi kesempatan pada kami untuk sejenak
meramu bubur dengan berbagai pelengkapnya. Ketika mengaduk bubur di mangkuk
yang ada di hadapanku, pikiranku ikut teraduk. Semua orang selalu menyerah
ketika nasi sudah menjadi bubur. Tapi memang apa salahnya menjadi bubur? Kita
hanya perlu menambah kuah, suwiran ayam, sambal dan krupuk untuk menjadikan
bubur ini tak kalah nikmatnya dengan nasi. Memang, sebenarnya tak ada yang
benar-benar hancur, jika kita mau sedikit berpikir.
“Sambil kalian
makan, aku lanjut ya ceritanya.” Kami berempat mengangguk. “Nah, karena UNS itu
memang yang paling cepat masuknya jadi sambil menunggu pengumuman di Unsoed aku
akhirnya tetap mengikuti OSPEK di Fakultas Hukum. Pas puasa pula waktu itu,
tapi aku tetap menjalankannya ringan hati saja selama tiga hari. Ketika KRS an
aku juga ikut, karena masih paketan jadi tak terlalu ribetlah. Dan, tak kuduga.
Ketika pengumuman Unsoed aku justru diterima. Badanku lemas seketika, ada
namaku di sana! Aku LOLOS Fakultas Kedokteran Unsoed. Aku bakal jadi dokterr!!!
Percaya atau tidak, aku nangis Men!!! Rasanya bener-bener nggak ada yang
sia-sia. Akhirnya bisa juga membuktikan dan menepis semua anggapan miring itu.
Ahh, aku tidak kuasa menggambarkan kebahagiaan pada hari itu. Ya, begitulah
ceritanya. Haha.”
Semua
tercengang, melupakan semangkuk bubur ayam yang mulai dingin di hadapan kami.
Aku sendiri hilang kesadaran, seperti ditampar berulang kali. Sesusah payah itu
Jaya mengejar mimpinya, itu namanya perjuangan. Segelas teh hangat yang
nangkring di dekat mangkuk bubur aku raih, entah bagaimana namun aku merasa
wajahku terpantul di permukaan air teh. Sebuah tanya kemudian mempermainkanku,
“Lantas kau wahai sang empunya wajah yang memantul di air teh ini. Apa yang
sudah kau lakukan untuk mimpi kau? Kenapa kau begitu angkuh meminta dan
menuntut hakmu pada Tuhan? Padahal kewajibanmu tak pernah –benar-benar—kau
jalankan! Kenapa kau begitu meratap ingin dimengerti? Padahal kau terlalu acuh pada apa-apa yang
mustinya kau lakukan! Kenapa kau selalu paksa Tuhan mengabulkan apa yang kau
impikan? Padahal kau tak pernah benar-benar berkeyakinan untuk meminta! Kau ini
kecil, usahamu kecil, harapanmu kecil, semangatmu kecil, kenapa
berani-beraninya meminta hal besar pada Tuhan tanpa memperbaiki diri dulu?”
“Dih, kenapa
kalian malah pada diam? Ayolah giliran kalian bercerita tentang kuliah kalian.
Oh ya, aku mau menambahkan sedikit. Satu yang harus kalian tahu, setelah kalian
berhasil mendapat yang kalian impikan maka Tuhan akan semakin menguji
kesungguhan kalian, caranya ya dengan ujian-ujian kehidupan. Tuhan butuh
diyakinkan, Tuhan butuh pembuktian dari kita atas apa yang telah Dia beri. Aku
juga merasakannya sekarang, diterima di Kedokteran bukanlah pencapaian yang
sesungguhnya. Semuanya baru dimulai, berkali lipat lebih berat. Asdos yang
killer, materi yang luar biasa. Aku minta doa dari kalian ya, semoga dikuatkan
dan dimudahkan.” Jaya menambahkan dan seketika menghancurkan bayangku di
permukaan air teh.
Kami mengamini
dengan serempak. Mitha yang baru datang juga langsung larut dalam aura
pejuangnya Jaya. Kebetulan Mitha kuliah di jurusan Kebidanan jadi untuk
makulnya ada yang mirip dengan Jaya, jadilah mereka berdua asyik bertukar
pikiran. Membicarakan matkul Anatomi yang katanya bikin teler. Aku yang
notabene lemah dibidang seperti itu mendadak antusias mendengarkan,
berkali-kali bertanya, berkali-kali pula Jaya dan Mitha bahu membahu
menjelaskan. Kemudian disusul Risti yang menceritakan berbagai tugasnya, dia
kuliah di jurusan Arsitektur yang terkenal dengan tugasnya yang menggunung.
Sebuah statement yang aku tak akan lupa dari Risti, “Anak Arsitektur itu
kebanyakan tidak punya mimpi! Mau tahu kenapa? Karena mereka jarang tidur.” Aku
terbahak luar biasa. Fitri yang melakoni lintas Jurusan ke Akuntansi justru
menceritakan kabar menyedihkan, hampir dua minggu sudah ia tak kuliah karena
sakit. Ah, anak ini selalu aja membuatku panik, susah pula kalau disuruh makan!
Sedangkan Nanda masih terus berkoar dengan kuliahnya yang melenakan, dia kuliah
di FISIP tapi aku lupa nama jurusan kuliahnya.
Tak terasa,
waktu memberikan batas bertemu. Aku menilik arlojiku, sudah pukul 07.35 wib,
terlambat lima menit. Beruntung masih ada lima menit untuk waktu maksimal
keterlambatan. Dosen makul kali ini amat disiplin, jujur aku tak berani
terlambat parah seperti pada makul lainnya. Dengan bergegas aku meminta Fitri
untuk mengantarku ke kampus, tak kusangka Jaya dan teman-teman lainnya malah
ikut mengantar. Alhasil, pagi itu adalah berangkat kuliah yang paling
menyenangkan, sebab aku diantar (calon) orang-orang sukses!
Meski terlambat
masuk kelas, meski terlambat mengerjakan soal dan akhirnya aku tak berhasil
menyelesaikan soal dan musti ikut perbaikan pekan depan, tapi aku tetap bahagia.
KMB benar-benar membesarkan hatiku. Riang sekali rasanya. Karena aku terlambat
untuk menyerap ilmu-ilmu kehidupan yang tak akan aku dapat di kelas kuliah.
Kusebut ini keterlambatan yang berkualitas.
No comments:
Post a Comment