Monday, January 13, 2014

KMB 1


Usai mengikuti kelas EAP sekujur badanku basah kuyup diterpa bulir hujan dari UPTP 2B sampai kosan.  Sore  kali ini kehujanan benar-benar merenggut kehangatan. Namun aku tak pernah benci hujan. Setiap tetesnya, air hujan adalah kebahagiaan. Sisa gigil mendadak hilang sebab pesan singkat dari salah seorang sahabat karib membawa kabar yang menghangatakan.

“Men, besok aku pulangggg :D. Kita sarapan bubur di Manahan ya. Jarkom teman-teman yang lain.”

Sender: Jaya

Seketika hawa semangat menghangatkanku. Membuat aku dengan gesit membalas pesan singkat itu. Setelah mengiyakan permintaan Jaya, aku bergegas menjarkom SMS pemberitahuan akan ada   KMB (Konfrensi Melingkar Bundar) di Manahan. Kenapa kusebut Konfrensi Melingkar Bundar? Karena setiap kami berkumpul, formasinya selalu begitu, melingkar, bundar. Dan aku suka lingkaran, dimana setiap dari kami adalah jari-jari yang memiliki jarak yang sama dengan pusat lingkaran. Ya kami semua sama, tak ada beda kasta. Lingkaran juga lambang tak pernah putus, selalu berkesinambungan. Seperti persahabatan kita.

Namun mendadak aku tak begitu semangat, karena ternyata tak ada satu temanpun yang bisa datang di acara KMB besok pagi. Kuputuskan mengabarkan hal itu pada Jaya, dengan emot sedih bertubi-tubi.

“Haha, ya sudah tidak ada apa-apa. Dua minggu lagi aku akan kembali pulang. Kabarkan pada teman-teman, semoga kita bisa berkumpul.”

Sender: Jaya


***


Selasa, 9 Oktober 2012

Akhirnya kami menemukan hari dan tempat yang tepat untuk menyelenggarakan KMB yang dua minggu lalu sempat dibatalkan. Di belakang gerbang UNS, tepatnya di sebuah kedai bubur ayam KMB dilaksanakan. Jaya sudah memesan semangkuk bubur ketika aku tiba di sana, dia amat kelaparan karena semalam sampai di Solo sudah dini hari dan tak sempat beli makan. Aku, Risti, dan Fitri yang datang bersamaan langsung meledak melihat Jaya. Ini kali pertama kami bertemu setelah menyandang status Mahasiswa. Juga kali pertama kami jumpa setelah Jaya sejangkah lebih maju mengejar jas putihnya.  Aku antusias sekali. Dengan cekatan, kami lantas siap dengan formasi melingkar. Inilah KMB. Aku menikmatinya, sangat menikmati.

“Kamu katanya ada kuliah?” Tanya Nanda yang  baru saja datang lengkap dengan mata sembab khas orang baru bangun tidur.

“Nanti jam setengah delapan, ini kan masih jam enam.” Kataku sembari mengeluarkan beberapa materi kuliah untuk praktikum Kalkulus nanti. “Nih, aku mau pamer!! Yang kayak begini ini yang bikin aku nggak bisa tinggi-tinggi!” Lanjutku sambil menghempaskan modul kuliah yang seabrek di depan mereka.
Reflek seperti ayam yang mendekat setelah ditebar beras, mereka juga lantas berkerumun melihat ‘barang’ menyiksa itu.

“Ha???? Masih jaman yang kayak begini??? Kasihan banget! Aku dong, kuliah tinggal duduk, yang penting absen, nanti ujian tinggal ngopy materi temen. Udah deh, nilai minimal A. Minim hlo itu! Haha!” Nanda nampak sumringah menceritakan kuliahnya sampai menyamarkan mata kantuknya, membuat aku melongo sambil menelan ludah berulang kali.

“Yang bener, Nda? Aku sih Alhamdulillah juga udah nggak ada hitung-hitungan. Sejauh ini masih okelah. Tapi kalau lengah sedikit, mati di tempat aku!” Jaya yang nampak jaga jarak dengan seonggok kumpulan rumusku mulai bercerita.

“Waaah. Iyaa, Men! Aku sampai lupa. Kamu kan janji mau ceritain semua proses sampai kamu bisa ketrima di kedokteran.” Aku menagih janji Jaya beberapa bulan lalu, sedikit mengabaikan Nanda yang sukses berat membuat aku iri.

“Haha. Masih inget aja! Oke deh aku cerita.” Jaya buru-buru menuntaskan semangkuk buburnya dan bersiap memulai berkisah.

“STOP! Pause dulu. Aku laper. Mau pesen bubur dulu. Siapa yang mau pesan?” Nanda dengan sigap menghentikan sejenak aksi Jaya. Aku, Risti, dan Fitri lantas serempak mengangkat tangan, tanda kami juga ikut pesan.

“Oke, aku mulai nih ya. Dulu itu, waktu kita bareng-bareng ikut SBMPTN aku nggak lolos. Tapi aku nggak mau nyerah. Aku tetep ikut berbagai jalur mandiri. Kebetulan waktu itu kan UNS jalur swadana pendaftarannya paling awal. Nggak mau menyia-nyiakan kesempatan, aku juga ikut. Alhamdulillah aku diterima, tapi di Fakultas Hukum, bukan Fakultas Kedokteran. Karena berbagai hal, aku tetap ambil yang di UNS, tapi aku masih gencer ikut ujian mandiri. Tibalah di Unsoed, tempat itu harapan terakhirku. Semua usaha, doa, dan berbagai ibadah sunah aku maksimalkan. Sepenuhnya aku serahkan sama Allah. InsyaAllah niatku baik, dan pasti Allah memberikan jalan.”

Cerita Jaya terpotong karena empat mangkuk bubur datang, menyisakan wajahku yang melongo takjub dengan cerita Jaya. Jaya memberi kesempatan pada kami untuk sejenak meramu bubur dengan berbagai pelengkapnya. Ketika mengaduk bubur di mangkuk yang ada di hadapanku, pikiranku ikut teraduk. Semua orang selalu menyerah ketika nasi sudah menjadi bubur. Tapi memang apa salahnya menjadi bubur? Kita hanya perlu menambah kuah, suwiran ayam, sambal dan krupuk untuk menjadikan bubur ini tak kalah nikmatnya dengan nasi. Memang, sebenarnya tak ada yang benar-benar hancur, jika kita mau sedikit berpikir.

“Sambil kalian makan, aku lanjut ya ceritanya.” Kami berempat mengangguk. “Nah, karena UNS itu memang yang paling cepat masuknya jadi sambil menunggu pengumuman di Unsoed aku akhirnya tetap mengikuti OSPEK di Fakultas Hukum. Pas puasa pula waktu itu, tapi aku tetap menjalankannya ringan hati saja selama tiga hari. Ketika KRS an aku juga ikut, karena masih paketan jadi tak terlalu ribetlah. Dan, tak kuduga. Ketika pengumuman Unsoed aku justru diterima. Badanku lemas seketika, ada namaku di sana! Aku LOLOS Fakultas Kedokteran Unsoed. Aku bakal jadi dokterr!!! Percaya atau tidak, aku nangis Men!!! Rasanya bener-bener nggak ada yang sia-sia. Akhirnya bisa juga membuktikan dan menepis semua anggapan miring itu. Ahh, aku tidak kuasa menggambarkan kebahagiaan pada hari itu. Ya, begitulah ceritanya. Haha.”

Semua tercengang, melupakan semangkuk bubur ayam yang mulai dingin di hadapan kami. Aku sendiri hilang kesadaran, seperti ditampar berulang kali. Sesusah payah itu Jaya mengejar mimpinya, itu namanya perjuangan. Segelas teh hangat yang nangkring di dekat mangkuk bubur aku raih, entah bagaimana namun aku merasa wajahku terpantul di permukaan air teh. Sebuah tanya kemudian mempermainkanku, “Lantas kau wahai sang empunya wajah yang memantul di air teh ini. Apa yang sudah kau lakukan untuk mimpi kau? Kenapa kau begitu angkuh meminta dan menuntut hakmu pada Tuhan? Padahal kewajibanmu tak pernah –benar-benar—kau jalankan! Kenapa kau begitu meratap ingin dimengerti?  Padahal kau terlalu acuh pada apa-apa yang mustinya kau lakukan! Kenapa kau selalu paksa Tuhan mengabulkan apa yang kau impikan? Padahal kau tak pernah benar-benar berkeyakinan untuk meminta! Kau ini kecil, usahamu kecil, harapanmu kecil, semangatmu kecil, kenapa berani-beraninya meminta hal besar pada Tuhan tanpa memperbaiki diri dulu?”

“Dih, kenapa kalian malah pada diam? Ayolah giliran kalian bercerita tentang kuliah kalian. Oh ya, aku mau menambahkan sedikit. Satu yang harus kalian tahu, setelah kalian berhasil mendapat yang kalian impikan maka Tuhan akan semakin menguji kesungguhan kalian, caranya ya dengan ujian-ujian kehidupan. Tuhan butuh diyakinkan, Tuhan butuh pembuktian dari kita atas apa yang telah Dia beri. Aku juga merasakannya sekarang, diterima di Kedokteran bukanlah pencapaian yang sesungguhnya. Semuanya baru dimulai, berkali lipat lebih berat. Asdos yang killer, materi yang luar biasa. Aku minta doa dari kalian ya, semoga dikuatkan dan dimudahkan.” Jaya menambahkan dan seketika menghancurkan bayangku di permukaan air teh.

Kami mengamini dengan serempak. Mitha yang baru datang juga langsung larut dalam aura pejuangnya Jaya. Kebetulan Mitha kuliah di jurusan Kebidanan jadi untuk makulnya ada yang mirip dengan Jaya, jadilah mereka berdua asyik bertukar pikiran. Membicarakan matkul Anatomi yang katanya bikin teler. Aku yang notabene lemah dibidang seperti itu mendadak antusias mendengarkan, berkali-kali bertanya, berkali-kali pula Jaya dan Mitha bahu membahu menjelaskan. Kemudian disusul Risti yang menceritakan berbagai tugasnya, dia kuliah di jurusan Arsitektur yang terkenal dengan tugasnya yang menggunung. Sebuah statement yang aku tak akan lupa dari Risti, “Anak Arsitektur itu kebanyakan tidak punya mimpi! Mau tahu kenapa? Karena mereka jarang tidur.” Aku terbahak luar biasa. Fitri yang melakoni lintas Jurusan ke Akuntansi justru menceritakan kabar menyedihkan, hampir dua minggu sudah ia tak kuliah karena sakit. Ah, anak ini selalu aja membuatku panik, susah pula kalau disuruh makan! Sedangkan Nanda masih terus berkoar dengan kuliahnya yang melenakan, dia kuliah di FISIP tapi aku lupa nama jurusan kuliahnya.

Tak terasa, waktu memberikan batas bertemu. Aku menilik arlojiku, sudah pukul 07.35 wib, terlambat lima menit. Beruntung masih ada lima menit untuk waktu maksimal keterlambatan. Dosen makul kali ini amat disiplin, jujur aku tak berani terlambat parah seperti pada makul lainnya. Dengan bergegas aku meminta Fitri untuk mengantarku ke kampus, tak kusangka Jaya dan teman-teman lainnya malah ikut mengantar. Alhasil, pagi itu adalah berangkat kuliah yang paling menyenangkan, sebab aku diantar (calon) orang-orang sukses!

Meski terlambat masuk kelas, meski terlambat mengerjakan soal dan akhirnya aku tak berhasil menyelesaikan soal dan musti ikut perbaikan pekan depan, tapi aku tetap bahagia. KMB benar-benar membesarkan hatiku. Riang sekali rasanya. Karena aku terlambat untuk menyerap ilmu-ilmu kehidupan yang tak akan aku dapat di kelas kuliah. Kusebut ini keterlambatan yang berkualitas.

No comments:

Post a Comment