Kupikir dewasa adalah masa paling
menyenangkan, setidaknya kita tak musti banyak diatur. Tapi rupanya aku keliru,
teramat keliru. Bahwa dewasa adalah titik dimana aturan makin menggunung, dan
konyolnya, makin tidak realistis. Kita tak boleh bermain-main, tak boleh
cengeng, sekalinya melanggar, sebuah statement langsung menderu di gendang
telinga: “DASAR KEKANAK-KANAKAN!!”
Aku sendiri tak pernah ambil pusing
menanggapinya, sebab bagiku, apa buruknya menjadi kekanak-kanankan? Dewasa hanya
fase menyebalkan dan merepotkan. Cukup, tidak kurang dan tidak lebih. Aku suka
sedih melihat para dewasa pulang larut, tak ada waktu untuk keluarga, bahkan
untuk dirinya sendiri, hanya demi kertas bernominal itu. Ah, aku sebenarnya
juga tidak naif, siapa yang tidak butuh uang? Hanya orang bodoh yang bilang
tidak, dan juga hanya orang bodoh yang tidak mau berusaha mencarinya. Tapi,
orang bodoh pula yang menghabiskan waktunya hanya untuk uang, uang, dan uang.
Selepas SMA aku baru menyadari,
rupanya hidup itu keras. Aku bukan orang baru yang mendapat masalah besar di kehidupan
ini, aku sempat ditinggalkan orang yang paling aku cinta, dan itu amat sangat
menyakitkan! Dan detik ini, setelah delapan tahun aku kehilangan orang yang aku
cintai, sakit itu datang lagi. Sakit yang
sama, bedanya, aku kehilangan diriku sendiri.
Usiaku hampir dua puluh, usia yang
mustinya sangat produktif. Usia yang mustinya kuhabiskan untuk menikmati
perkuliahan, sibuk mengerjakan tugas kuliah, tenggelam dalam proker-proker
organisasi, berlomba mengejar beasiswa, kerja part time dan berbagai hal yang
menyita waktu lainnya. Teman-teman sebayaku kusaksikan tengah melakoni semua
hal yang aku jabarkan di atas, tapi aku tidak. Aku berbeda, aku tidak sama. Aku
amat sangat menyedihkan. Bahwa ketika teman-teman sebayaku itu mengeluhkan
kenapa sehari hanya 24 jam, aku justru
sebaliknya, kenapa waktu begitu lama tiap harinya. Kenapa 24 jam selalu
menyiksaku dalam ketidaktahuan, dalam kebohongan, dalam kepalsuan, dan dalam
berbagai paksaan tak tersirat?
Dalam satu setengah tahun terakhir
ini, aku selalu mengeluhkan 24 jam yang amat menyiksa. Amat sangat, percuma
sudah hidupku satu setengah tahun ini. Sebab hanya aku gunakan untuk mendzalimi
bapakku, berpura-pura kuliah padahal aku hanya meratap di suatu tempat. Membual
pada abangku yang semester lalu membiayai kuliahku. Semua tersebab egoku, bahwa
aku ingin bebas dari segitiga yang bapak buat untuk masa depanku. Aku punya
cerita sendiri, yang mereka tak pernah mau dengar, sedikitpun! Kupikir aku
sudah menjadi anak penurut selama ini, dan aku lelah. Aku perlu dan butuh waktu
untuk mengejar apa yang ingin aku kejar. Tapi tak ada yang mau mengerti!! Ingin
rasanya mengaduh, tapi harus mengaduh pada siapa?????? Setiap orang hanya
menyarankan untuk bertahan, bertahan, dan bertahan, tanpa memikirkan betapa
sakit dan hancurnya aku!
Bukan tidak mungkin, aku sekarang
sudah ada diambang ketidakwarasan. Aku lebih senang di kamar, menangisi diri sendiri,
aku buruk sekali.
—prasasri,21-01-2014—
Dalam tangis dan keputusasaan..............................................................................................................
No comments:
Post a Comment