Tuesday, January 21, 2014

Ketika semua menjadi lebih rumit




Kupikir dewasa adalah masa paling menyenangkan, setidaknya kita tak musti banyak diatur. Tapi rupanya aku keliru, teramat keliru. Bahwa dewasa adalah titik dimana aturan makin menggunung, dan konyolnya, makin tidak realistis. Kita tak boleh bermain-main, tak boleh cengeng, sekalinya melanggar, sebuah statement langsung menderu di gendang telinga: “DASAR KEKANAK-KANAKAN!!”
Aku sendiri tak pernah ambil pusing menanggapinya, sebab bagiku, apa buruknya menjadi kekanak-kanankan? Dewasa hanya fase menyebalkan dan merepotkan. Cukup, tidak kurang dan tidak lebih. Aku suka sedih melihat para dewasa pulang larut, tak ada waktu untuk keluarga, bahkan untuk dirinya sendiri, hanya demi kertas bernominal itu. Ah, aku sebenarnya juga tidak naif, siapa yang tidak butuh uang? Hanya orang bodoh yang bilang tidak, dan juga hanya orang bodoh yang tidak mau berusaha mencarinya. Tapi, orang bodoh pula yang menghabiskan waktunya hanya untuk uang, uang, dan uang.
Selepas SMA aku baru menyadari, rupanya hidup itu keras. Aku bukan orang baru yang mendapat masalah besar di kehidupan ini, aku sempat ditinggalkan orang yang paling aku cinta, dan itu amat sangat menyakitkan! Dan detik ini, setelah delapan tahun aku kehilangan orang yang aku cintai, sakit itu datang lagi.  Sakit yang sama, bedanya, aku kehilangan diriku sendiri.
Usiaku hampir dua puluh, usia yang mustinya sangat produktif. Usia yang mustinya kuhabiskan untuk menikmati perkuliahan, sibuk mengerjakan tugas kuliah, tenggelam dalam proker-proker organisasi, berlomba mengejar beasiswa, kerja part time dan berbagai hal yang menyita waktu lainnya. Teman-teman sebayaku kusaksikan tengah melakoni semua hal yang aku jabarkan di atas, tapi aku tidak. Aku berbeda, aku tidak sama. Aku amat sangat menyedihkan. Bahwa ketika teman-teman sebayaku itu mengeluhkan kenapa sehari  hanya 24 jam, aku justru sebaliknya, kenapa waktu begitu lama tiap harinya. Kenapa 24 jam selalu menyiksaku dalam ketidaktahuan, dalam kebohongan, dalam kepalsuan, dan dalam berbagai paksaan tak tersirat?
Dalam satu setengah tahun terakhir ini, aku selalu mengeluhkan 24 jam yang amat menyiksa. Amat sangat, percuma sudah hidupku satu setengah tahun ini. Sebab hanya aku gunakan untuk mendzalimi bapakku, berpura-pura kuliah padahal aku hanya meratap di suatu tempat. Membual pada abangku yang semester lalu membiayai kuliahku. Semua tersebab egoku, bahwa aku ingin bebas dari segitiga yang bapak buat untuk masa depanku. Aku punya cerita sendiri, yang mereka tak pernah mau dengar, sedikitpun! Kupikir aku sudah menjadi anak penurut selama ini, dan aku lelah. Aku perlu dan butuh waktu untuk mengejar apa yang ingin aku kejar. Tapi tak ada yang mau mengerti!! Ingin rasanya mengaduh, tapi harus mengaduh pada siapa?????? Setiap orang hanya menyarankan untuk bertahan, bertahan, dan bertahan, tanpa memikirkan betapa sakit dan hancurnya aku!
Bukan tidak mungkin, aku sekarang sudah ada diambang ketidakwarasan. Aku lebih senang di kamar, menangisi diri sendiri, aku buruk sekali.
—prasasri,21-01-2014—
Dalam tangis dan keputusasaan..............................................................................................................

No comments:

Post a Comment