Thursday, January 23, 2014

Yang Tak Terselesaikan

Siang itu aku masih sibuk merogoh kantong jaket untuk mengambil kunci kamar kos, tiba-tiba Riya datang dengan wajah masam. Belum sempat aku bertanya tentang apa yang terjadi tapi dia sudah lebih dulu masuk ke kamarnya, terdengar suara badannya yang terhempas di kasur. Kuurungkan sejenak niatan untuk mencari kunci yang masih bersarang di kantong jaketku.

“Aku boleh masuk?” Di sela pintu kamar Riya –kamar yang berada tepat di depan kamarku— suaraku lirih dan pelan-pelan terbawa angin hingga akhirnya sampai ke telinga Riya.

“Ya.” Riya menjawab dengan datar.

Kusaksikan kamar Riya amat berantakan, berbagai kertas berserakan tak beraturan. Padahal, meski Riya itu cuek tapi untuk urusan beres-beres kamar, aku selalu kalah rapi.

“Semalam kau belajar sungguh-sungguh ya nampaknya, aku turut senang.” Kalimat berikutnya keluar begitu saja dari mulutku setelah memeriksa kertas-kertas yang berserakan itu, kalimat yang nampaknya amat keliru.

“Ahhhhh. Mau belajar sungguh-sungguh atau tidak, juga sama saja.” Ledakan amarah terdengar dari suara serak Riya disusul dengan seabrek kertas ujian yang ia sodorkan padaku.

Aku menghela napas pelan, membiarkan Riya tenang sejenak. Sesekali aku menepuk pundaknya, sebab kata-kata kurasa hanya akan sia-sia. Namun sayangnya, lagi-lagi aku mengulangi kesia-siaan yang keliru.

“Sudah. Aku juga remidi banyak kok. Nilaiku buruk-buruk, kau tidak sendiri.” Begitu kalimat yang sebenarnya kutujukan untuk membesarkan hatinya.

“Maksud kau apa ha? Kau bilang nilai delapan, sembilan, bahkan seratus itu buruk? Teman satu kelas kau tadi menitipkan kertas ujian kau padaku, lihat saja di bawah  tumpukan kertas ujianku yang kau pegang itu. Tidak usah menghiburku dengan merendahkan diri kau seperti itu, karena justru semakin menyakitiku! Sudah aku mau keluar dulu. Assalamu’alaykum.” Kini Riya benar-benar meledak. Meninggalkan aku yang masih terpaku di kamarnya dengan setumpuk hasil ujianku –yang ternyata berada di bawah tumpukan kertas ujian Riya—.

“Wa’alaykumssalam.” Lirih aku membalas salam Riya.

***


Keesokan harinya, aku masih tak mau bersuara. Bukan karena aku marah, bukan pula aku tak mau memulai, tapi karena aku tak mau keliru untuk yang kesekian kalinya.

“Mel, mau nitip makanan tidak? Aku mau beli lauk.” Suara riang itu menelusup ke dalam kamarku, suara dari orang yang sangat aku kenal, Riya.

“Eh, iya, nitip nasi pecel saja.” Tukasku singkat setengah kaget, masih canggung karena kejadian kemarin.
Sepuluh menit kemudian Riya datang dengan dua kantong plastik yang ia tenteng di kedua tanggannya. Para penghuni kos sudah berangkat ke kampus pagi itu, tersisa aku dan Riya yang kebetulan sama-sama kuliah siang. Jadilah kami menikmati sarapan di ruang makan, berdua. Dugaanku, sarapan kali ini akan berjalan amat kaku. Beruntung, dugaanku seratus persen keliru.

“Anu, aku mau minta maaf soal yang kemarin. Kau tahulah bagaimana aku.” Riya membuka percakapan di meja makan, disusul dengan hembusan napas legaku.

“Akhirnya!!! Kau sudah sehat kembali. Tidak apa, hanya saja aku selalu ketakutan jika kau seperti kemarin itu. Kau amat meyeramkan, sungguh!!!!” Iya, emosi Riya yang meledak seperti kemarin itu bukan hal baru bagiku, hanya saja aku belum terbiasa. Namun yang aku suka dari Riya, meski ketika marah amat meledak-ledak tapi akan reda dengan cepat. Sebab dia pernah bilang padaku, daripada berlarut-larut memendam kesal lebih baik diungkapkan saja. Caranya menyelesaikan masalah memang cenderung mirip laki-laki, saat itu juga dan tak mau bertele-tele seperti perempuan. Namun aku perempuan, yang terkadang tak siap dengan sikap ‘jantan’ Riya.

“Haha. Maafkan aku. Kemarin itu aku benar-benar sedang kesal. Seminggu ini aku belajar mati-matian, tapi nilai ujianku ya Tuhan, tetap sangat menjijikkan.” Dari gaya bicaranya aku makin yakin bahwa Riya benar-benar sudah ‘sembuh’.

“Aku juga minta maaf, tentang kata-kataku yang melukai hati kau kemarin itu. Maaf ya. Kau harus tetap semangatt!!” Aku menjabat tangan Riya, sebagai simbol bahwa kami sudah tak ada konflik lagi.

Usai menuntaskan sarapan aku bergegas bersiap menuju kampus, meninggalkan Riya yang kuliahnya masih tiga jam lagi. Aku dan Riya satu fakultas, tapi berbeda jurusan. Aku Mela, mahasiswi tingkat dua yang dikenal berprestasi. Dua semester yang telah aku lalui menghasilkan cumloud, membuatku dengan mudah mempertahankan beasiswa. Aku bukannya sombong, aku hanya bicara tentang fakta. Riya, dia teman baikku, selain satu kos dan satu fakultas, kami juga satu organisasi. Riya anak yang periang, namun terjebak pada jurusan kuliah yang tak pernah ia nikmati. Jiwanya utuh di dunia menulis, sungguh tak bisa dibagi. Berbeda denganku yang rajin sekali kuliah, dia hanya sekali dua kali masuk kelas. Hal ini cukup merepotkanku ketika Ayah Riya mengadakan sidang dadakan dengan datang ke kosan. Berbagai alasan aku buat untuk melindungi Riya. Riya sudah bukan kuanggap teman lagi, dia sudah seperti saudara kandungku sendiri.

“Mela!”

Suara teriakan dari lobi jurusan menghancurkan lamunanku, bergegas aku memutar badan melihat  sang empunya suara.

“Rani, ada apa?” Kataku sambil merespon jabat tangan dari Rani.

“Mel, kau tau tidak Riya dimana? Hari ini ada ujian dan dia tidak masuk.”

“Apa? Dia tadi bilang akan ke kampus. Oh ya sudah, nanti aku hubungi dia. Barangkali Riya sedang tak enak badan. Aku permisi dulu ya Ran.” Aku bergegas meninggalkan Rani, segera ingin sampai kos dan bertemu Riya.

Aku tahu, Riya makin buruk akhir-akhir ini. Meski sempat hanyut dalam euforia semangat belajar tapi itu hanya formalitas, hatinya entah sedang memikirkan judul cerita apa. Pantas saja kalau hasil ujiannya masih tetap jelek, dia belum sepenuh hati atau bisa dibilang tak akan pernah bisa sepenuh hati memperjuangkan kuliahnya ini. Tiap hari meski nampak riang, aku tahu pasti ada waktu buatnya untuk menangis. Hanya luarnya saja yang nampak tak ada apa-apa, tapi hatinya remuk seremuk-remuknya.

***

“Aku tadi ke kampus sebelah, ikut seminar kepenulisan. Kau tahu, penulisnya adalah idolaku. Sayang sekali kalau sampai aku lewatkan. Sudah cukup waktuku habis selama ini untuk mengejar apa yang tak ingin kukejar, sesekali boleh lah aku keluar ‘lintasan’.” Enteng saja Riya menjawab pertanyaanku tentang kenapa dia tak ikut ujian.
“Tapi kenapa tadi kau tak bilang padaku?” Aku masih jengkel.

“Bilang kepada kau sama saja seperti maling yang mau kabur dari penjara tapi minta ijin dulu sama polisi yang jaga. Hahaha!” Riya nampak riang usai mengikuti seminar kepenulisan, tak ikut ujian bukan suatu masalah baginya.

“Aku sedang serius! Sampai kapan kau akan seperti ini ha? Sampai kapan kau akan merepotkan banyak orang? Kenapa tak sekalipun kau menghargai kekhawatiran orang lain? Semua orang itu menyayangi kau, peduli pada kau, tapi apa balasan kau? Kau boleh saja benci dengan kuliah kau saat ini, tapi membencilah dengan bertanggung jawab!” Kusaksikan air muka Riya mulai berubah, wajahnya tertunduk. Dan aku masih dengan marahku. “Apa kau tidak kasihan dengan Ayah kau ha? Ayah kau sudah tua, dia orang tua kau satu-satunya! Dan kau, kau! Kau seenaknya saja kuliah! Sembarangan, asal! Kalau kau memang mau berhenti, berhenti saja! Jangan berjalan tapi berhenti sembarangan seperti saat ini, bikin macet! Bikit rumit! Kau harus tegas dengan hidup kau, Riya!!” Entah setan apa yang merasuki diriku, kurasakan sikap ‘jantan’ Riya merasuk ke selurih sendi-sendi tulangku lalu menelusup ke pembuluh darah hingga ke seluruh tubuhku. Aku seperti dirasuki Riya, iya kali ini aku yang meledak.

Setelah kesetanan, aku sengaja meninggalkan Riya sendiri. Malam itu akau menginap di kosan temanku. Demi Allah, aku bertindak seperti ini sepenuhnya hanya karena aku sayang pada Riya. Aku tahu Riya ‘sakit’, dan aku ingin dia ‘sembuh’. Setahun setengah melihat kawan baikku ‘kesakitan’, cukup membuat aku ikut tersiksa, tak tega.

***

“Apa? Riya hari ini tak masuk lagi?” Aku lemas seketika mendengar laporan dari Rani, teman sekelas Riya yang rutin melaporkan kondisi Riya padaku.

“Iya, padahal hari ini ada 3 makul yang ujian. Sayang sekali Riya tidak masuk. Oh ya sudah, aku permisi dulu yan Mel, masih ada kuliah.” Rani berlalu meninggalkan setumpuk sesak dalam dadaku. Riya bukan anak yang mudah tersinggung, apalagi sampai lari seperti ini. Tadi pagi aku sempat pulang kos, kamar Riya sudah terkunci, kupikir dia sudah ke kampus. Kupikir kata-kataku kemarin membuat Riya tergerak hatinya, tapi aku keliru. Apa mungkin Riya amat terpukul dengan marahku, lalu memutuskan untuk pergi.

Sebulan sudah Riya pergi, dia tak sepenuhnya menghilang. Sesekali aku menyapanya di sosial media, dia merespon dengan baik. Sekali lagi kutegaskan, Riya bukan tipe orang ‘penyimpan’, aku paham benar marahku tempo hari bisa dicerna dengan baik olehnya. Namun dengan alasan yang tak kumengerti, dia tak pernah terbuka tentang masalah kelanjutan kuliahnya dan apa yang sedang ia lakukan. Pernah ingin berkunjung ke rumahnya, namun dia bilang sedang tak ingin bertemu siapa pun, aku memahami hal itu dan memilih untuk tidak memaksa. Hidupku mejadi sangat aneh tanpa Riya, tapi entah kenapa, aku punya firasat baik tentang Riya.

Genap empat bulan Riya tak membersamaiku, sore itu untuk melumerkan rindu aku pergi ke toko buku. Aku dan Riya memang sama-sama gemar membaca, dan toko buku adalah tempat hiburan paling menyenangkan. Tiba di toko buku aku langsung meghambur di etalase buku baru. Tak ada yang menarik, kebanyakan masih seputar percintaan remaja. Namun seketika aku tercekat, melihat setumpuk buku berjudul “Sebuah Buku”, covernya biru muda, tak banyak ornamen, hanya langit biru yang nampak timbul membelalakkan mata. Kuperiksa lebih teliti, dan pojok bawah kiri buku tertulis nama pena penulis: “RY”. Aku memeluk buku itu, memeluk Riya.

***
Seminggu setelah aku mendapat sekaligus membeli buku Riya, kami akhirnya bertemu.

“Ah, kau gila! Tak pernah cerita dan tiba-tiba sudah seperti ini!” Aku membuka percakapan.

“Haha. Aku ingat betul ketika kau marah besar waktu itu, aku ingin membalas semua kata-kata kau yang pedas itu dengan pembuktian. See, kau kaget! Itu tandanya aku berhasil. Haha. Dan satu lagi, aku tidak lagi bikin macet. Haha.” Riya terkekeh.

“Ah kau iniiiii yaaaa! Aku malu tiap ingat aku marah-marah dulu. Apa kau tak rindu padaku dan pada kawan-kawan kampus? Semua repot mencari kau! Ah aku sampai gila mencari-cari alasan tentang hilangnya Riya dari peradaban.” Kini aku mulai mengusik soal rindu.

“Haha. Maafkan aku, sudaah sangat sering merepotkan kau. Tapi kau sudah baca bukuku bukan? Setengah bab dari bukuku itu habis untuk menceritakan kau. Haha, itu wujud rinduku pada kau dan tentunya teman-teman. Bagaimanapun juga, aku hanya berada di tempat yang keliru, bukan orang-orang yang keliru. Kalian tak ada gantinya.” Riya melanjutkan.

Kami larut dalam obrolan yang panjang, Riya akhirnya menceritakan semuanya, dan satu yang paling aku suka, Ayahnya Riya telah menerima keputusannya. Riya tak banyak berubah, hanya terlihat lebih lepas dan tenang. Sesekali ia membenarkan letak kaca matanya. Memperlihatkan matanya yang nampak sayu, kurang tidur, maklum bukunya sedang naik daun dan dia mendapat tawaran mengisi seminar hingga ke luar pulau. Riya memang lelah, tapi dia bahagia, dan itu tak jadi soal baginya, lelah yang Lillah.

Mungkin bagi Riya, cerita ini sudah selesai. Selesai dengan happy ending. Tapi tidak bagiku, tidak bagi aku yang punya cerita ini. Aku Mela, mahasiswi tingkat dua yang dikenal berprestasi. Dua semester yang telah aku lalui menghasilkan cumloud, membuatku dengan mudah mempertahankan beasiswa. Aku yang dari dulu nampak jauh lebih bermasa depan ketimbang Riya. Padahal sebaliknya, aku hanyalah manusia korban sistem. Entah apa yang aku lakukan, sejujurnya aku memiliki cita-cita yang sama seperti Riya, menjadi penulis. Cita-cita sejak aku kecil, sejak aku pertama kali bisa mebaca, cita-cita yang aku bawa hingga detik ini. Namun aku terlalu pengecut untuk memperjuangkannya. Dan aku, masih terbelenggu dalam penjara yang aku rawat. Entah sampai kapan aku dipandang berhasil padahal aku sepenuhnya gagal. Entah sampai kapan.


<photo id="1" />

Tuesday, January 21, 2014

Ketika semua menjadi lebih rumit




Kupikir dewasa adalah masa paling menyenangkan, setidaknya kita tak musti banyak diatur. Tapi rupanya aku keliru, teramat keliru. Bahwa dewasa adalah titik dimana aturan makin menggunung, dan konyolnya, makin tidak realistis. Kita tak boleh bermain-main, tak boleh cengeng, sekalinya melanggar, sebuah statement langsung menderu di gendang telinga: “DASAR KEKANAK-KANAKAN!!”
Aku sendiri tak pernah ambil pusing menanggapinya, sebab bagiku, apa buruknya menjadi kekanak-kanankan? Dewasa hanya fase menyebalkan dan merepotkan. Cukup, tidak kurang dan tidak lebih. Aku suka sedih melihat para dewasa pulang larut, tak ada waktu untuk keluarga, bahkan untuk dirinya sendiri, hanya demi kertas bernominal itu. Ah, aku sebenarnya juga tidak naif, siapa yang tidak butuh uang? Hanya orang bodoh yang bilang tidak, dan juga hanya orang bodoh yang tidak mau berusaha mencarinya. Tapi, orang bodoh pula yang menghabiskan waktunya hanya untuk uang, uang, dan uang.
Selepas SMA aku baru menyadari, rupanya hidup itu keras. Aku bukan orang baru yang mendapat masalah besar di kehidupan ini, aku sempat ditinggalkan orang yang paling aku cinta, dan itu amat sangat menyakitkan! Dan detik ini, setelah delapan tahun aku kehilangan orang yang aku cintai, sakit itu datang lagi.  Sakit yang sama, bedanya, aku kehilangan diriku sendiri.
Usiaku hampir dua puluh, usia yang mustinya sangat produktif. Usia yang mustinya kuhabiskan untuk menikmati perkuliahan, sibuk mengerjakan tugas kuliah, tenggelam dalam proker-proker organisasi, berlomba mengejar beasiswa, kerja part time dan berbagai hal yang menyita waktu lainnya. Teman-teman sebayaku kusaksikan tengah melakoni semua hal yang aku jabarkan di atas, tapi aku tidak. Aku berbeda, aku tidak sama. Aku amat sangat menyedihkan. Bahwa ketika teman-teman sebayaku itu mengeluhkan kenapa sehari  hanya 24 jam, aku justru sebaliknya, kenapa waktu begitu lama tiap harinya. Kenapa 24 jam selalu menyiksaku dalam ketidaktahuan, dalam kebohongan, dalam kepalsuan, dan dalam berbagai paksaan tak tersirat?
Dalam satu setengah tahun terakhir ini, aku selalu mengeluhkan 24 jam yang amat menyiksa. Amat sangat, percuma sudah hidupku satu setengah tahun ini. Sebab hanya aku gunakan untuk mendzalimi bapakku, berpura-pura kuliah padahal aku hanya meratap di suatu tempat. Membual pada abangku yang semester lalu membiayai kuliahku. Semua tersebab egoku, bahwa aku ingin bebas dari segitiga yang bapak buat untuk masa depanku. Aku punya cerita sendiri, yang mereka tak pernah mau dengar, sedikitpun! Kupikir aku sudah menjadi anak penurut selama ini, dan aku lelah. Aku perlu dan butuh waktu untuk mengejar apa yang ingin aku kejar. Tapi tak ada yang mau mengerti!! Ingin rasanya mengaduh, tapi harus mengaduh pada siapa?????? Setiap orang hanya menyarankan untuk bertahan, bertahan, dan bertahan, tanpa memikirkan betapa sakit dan hancurnya aku!
Bukan tidak mungkin, aku sekarang sudah ada diambang ketidakwarasan. Aku lebih senang di kamar, menangisi diri sendiri, aku buruk sekali.
—prasasri,21-01-2014—
Dalam tangis dan keputusasaan..............................................................................................................

Saturday, January 18, 2014

Makhluk Sekaligus

Kau adalah sesegukan yang paling menyesakkan
Tapi kau adalah girang yang paling menyenangkan
Kau adalah ranjau yang paling menyakitkan
Tapi kau adalah kursi goyang yang paling menenangkan
Kau adalah banjir yang menenggelamkan
Tapi kau adalah air terjun yang menyegarkan
Kau adalah jarum yang menusuk, tinggalkan perih dalam luka
Tapi kau adalah kain kasa yang membelit, menyembuhkan luka

Ya, begitulah kau
Kau adalah makhluk sekaligus
Menyesakkan sekaligus menyenangkan
Menyakitkan sekaligus menenangkan
Menenggelamkan sekaligus menyegarkan
Menyebabkan luka sekaligus menyembuhkan

Kau adalah makhluk sekaligus, yang membuatku merasa dicintai dan diabaikan, sekaligus, dalam waktu yang bersamaan.

Monday, January 13, 2014

KMB 1


Usai mengikuti kelas EAP sekujur badanku basah kuyup diterpa bulir hujan dari UPTP 2B sampai kosan.  Sore  kali ini kehujanan benar-benar merenggut kehangatan. Namun aku tak pernah benci hujan. Setiap tetesnya, air hujan adalah kebahagiaan. Sisa gigil mendadak hilang sebab pesan singkat dari salah seorang sahabat karib membawa kabar yang menghangatakan.

“Men, besok aku pulangggg :D. Kita sarapan bubur di Manahan ya. Jarkom teman-teman yang lain.”

Sender: Jaya

Seketika hawa semangat menghangatkanku. Membuat aku dengan gesit membalas pesan singkat itu. Setelah mengiyakan permintaan Jaya, aku bergegas menjarkom SMS pemberitahuan akan ada   KMB (Konfrensi Melingkar Bundar) di Manahan. Kenapa kusebut Konfrensi Melingkar Bundar? Karena setiap kami berkumpul, formasinya selalu begitu, melingkar, bundar. Dan aku suka lingkaran, dimana setiap dari kami adalah jari-jari yang memiliki jarak yang sama dengan pusat lingkaran. Ya kami semua sama, tak ada beda kasta. Lingkaran juga lambang tak pernah putus, selalu berkesinambungan. Seperti persahabatan kita.

Namun mendadak aku tak begitu semangat, karena ternyata tak ada satu temanpun yang bisa datang di acara KMB besok pagi. Kuputuskan mengabarkan hal itu pada Jaya, dengan emot sedih bertubi-tubi.

“Haha, ya sudah tidak ada apa-apa. Dua minggu lagi aku akan kembali pulang. Kabarkan pada teman-teman, semoga kita bisa berkumpul.”

Sender: Jaya


***


Selasa, 9 Oktober 2012

Akhirnya kami menemukan hari dan tempat yang tepat untuk menyelenggarakan KMB yang dua minggu lalu sempat dibatalkan. Di belakang gerbang UNS, tepatnya di sebuah kedai bubur ayam KMB dilaksanakan. Jaya sudah memesan semangkuk bubur ketika aku tiba di sana, dia amat kelaparan karena semalam sampai di Solo sudah dini hari dan tak sempat beli makan. Aku, Risti, dan Fitri yang datang bersamaan langsung meledak melihat Jaya. Ini kali pertama kami bertemu setelah menyandang status Mahasiswa. Juga kali pertama kami jumpa setelah Jaya sejangkah lebih maju mengejar jas putihnya.  Aku antusias sekali. Dengan cekatan, kami lantas siap dengan formasi melingkar. Inilah KMB. Aku menikmatinya, sangat menikmati.

“Kamu katanya ada kuliah?” Tanya Nanda yang  baru saja datang lengkap dengan mata sembab khas orang baru bangun tidur.

“Nanti jam setengah delapan, ini kan masih jam enam.” Kataku sembari mengeluarkan beberapa materi kuliah untuk praktikum Kalkulus nanti. “Nih, aku mau pamer!! Yang kayak begini ini yang bikin aku nggak bisa tinggi-tinggi!” Lanjutku sambil menghempaskan modul kuliah yang seabrek di depan mereka.
Reflek seperti ayam yang mendekat setelah ditebar beras, mereka juga lantas berkerumun melihat ‘barang’ menyiksa itu.

“Ha???? Masih jaman yang kayak begini??? Kasihan banget! Aku dong, kuliah tinggal duduk, yang penting absen, nanti ujian tinggal ngopy materi temen. Udah deh, nilai minimal A. Minim hlo itu! Haha!” Nanda nampak sumringah menceritakan kuliahnya sampai menyamarkan mata kantuknya, membuat aku melongo sambil menelan ludah berulang kali.

“Yang bener, Nda? Aku sih Alhamdulillah juga udah nggak ada hitung-hitungan. Sejauh ini masih okelah. Tapi kalau lengah sedikit, mati di tempat aku!” Jaya yang nampak jaga jarak dengan seonggok kumpulan rumusku mulai bercerita.

“Waaah. Iyaa, Men! Aku sampai lupa. Kamu kan janji mau ceritain semua proses sampai kamu bisa ketrima di kedokteran.” Aku menagih janji Jaya beberapa bulan lalu, sedikit mengabaikan Nanda yang sukses berat membuat aku iri.

“Haha. Masih inget aja! Oke deh aku cerita.” Jaya buru-buru menuntaskan semangkuk buburnya dan bersiap memulai berkisah.

“STOP! Pause dulu. Aku laper. Mau pesen bubur dulu. Siapa yang mau pesan?” Nanda dengan sigap menghentikan sejenak aksi Jaya. Aku, Risti, dan Fitri lantas serempak mengangkat tangan, tanda kami juga ikut pesan.

“Oke, aku mulai nih ya. Dulu itu, waktu kita bareng-bareng ikut SBMPTN aku nggak lolos. Tapi aku nggak mau nyerah. Aku tetep ikut berbagai jalur mandiri. Kebetulan waktu itu kan UNS jalur swadana pendaftarannya paling awal. Nggak mau menyia-nyiakan kesempatan, aku juga ikut. Alhamdulillah aku diterima, tapi di Fakultas Hukum, bukan Fakultas Kedokteran. Karena berbagai hal, aku tetap ambil yang di UNS, tapi aku masih gencer ikut ujian mandiri. Tibalah di Unsoed, tempat itu harapan terakhirku. Semua usaha, doa, dan berbagai ibadah sunah aku maksimalkan. Sepenuhnya aku serahkan sama Allah. InsyaAllah niatku baik, dan pasti Allah memberikan jalan.”

Cerita Jaya terpotong karena empat mangkuk bubur datang, menyisakan wajahku yang melongo takjub dengan cerita Jaya. Jaya memberi kesempatan pada kami untuk sejenak meramu bubur dengan berbagai pelengkapnya. Ketika mengaduk bubur di mangkuk yang ada di hadapanku, pikiranku ikut teraduk. Semua orang selalu menyerah ketika nasi sudah menjadi bubur. Tapi memang apa salahnya menjadi bubur? Kita hanya perlu menambah kuah, suwiran ayam, sambal dan krupuk untuk menjadikan bubur ini tak kalah nikmatnya dengan nasi. Memang, sebenarnya tak ada yang benar-benar hancur, jika kita mau sedikit berpikir.

“Sambil kalian makan, aku lanjut ya ceritanya.” Kami berempat mengangguk. “Nah, karena UNS itu memang yang paling cepat masuknya jadi sambil menunggu pengumuman di Unsoed aku akhirnya tetap mengikuti OSPEK di Fakultas Hukum. Pas puasa pula waktu itu, tapi aku tetap menjalankannya ringan hati saja selama tiga hari. Ketika KRS an aku juga ikut, karena masih paketan jadi tak terlalu ribetlah. Dan, tak kuduga. Ketika pengumuman Unsoed aku justru diterima. Badanku lemas seketika, ada namaku di sana! Aku LOLOS Fakultas Kedokteran Unsoed. Aku bakal jadi dokterr!!! Percaya atau tidak, aku nangis Men!!! Rasanya bener-bener nggak ada yang sia-sia. Akhirnya bisa juga membuktikan dan menepis semua anggapan miring itu. Ahh, aku tidak kuasa menggambarkan kebahagiaan pada hari itu. Ya, begitulah ceritanya. Haha.”

Semua tercengang, melupakan semangkuk bubur ayam yang mulai dingin di hadapan kami. Aku sendiri hilang kesadaran, seperti ditampar berulang kali. Sesusah payah itu Jaya mengejar mimpinya, itu namanya perjuangan. Segelas teh hangat yang nangkring di dekat mangkuk bubur aku raih, entah bagaimana namun aku merasa wajahku terpantul di permukaan air teh. Sebuah tanya kemudian mempermainkanku, “Lantas kau wahai sang empunya wajah yang memantul di air teh ini. Apa yang sudah kau lakukan untuk mimpi kau? Kenapa kau begitu angkuh meminta dan menuntut hakmu pada Tuhan? Padahal kewajibanmu tak pernah –benar-benar—kau jalankan! Kenapa kau begitu meratap ingin dimengerti?  Padahal kau terlalu acuh pada apa-apa yang mustinya kau lakukan! Kenapa kau selalu paksa Tuhan mengabulkan apa yang kau impikan? Padahal kau tak pernah benar-benar berkeyakinan untuk meminta! Kau ini kecil, usahamu kecil, harapanmu kecil, semangatmu kecil, kenapa berani-beraninya meminta hal besar pada Tuhan tanpa memperbaiki diri dulu?”

“Dih, kenapa kalian malah pada diam? Ayolah giliran kalian bercerita tentang kuliah kalian. Oh ya, aku mau menambahkan sedikit. Satu yang harus kalian tahu, setelah kalian berhasil mendapat yang kalian impikan maka Tuhan akan semakin menguji kesungguhan kalian, caranya ya dengan ujian-ujian kehidupan. Tuhan butuh diyakinkan, Tuhan butuh pembuktian dari kita atas apa yang telah Dia beri. Aku juga merasakannya sekarang, diterima di Kedokteran bukanlah pencapaian yang sesungguhnya. Semuanya baru dimulai, berkali lipat lebih berat. Asdos yang killer, materi yang luar biasa. Aku minta doa dari kalian ya, semoga dikuatkan dan dimudahkan.” Jaya menambahkan dan seketika menghancurkan bayangku di permukaan air teh.

Kami mengamini dengan serempak. Mitha yang baru datang juga langsung larut dalam aura pejuangnya Jaya. Kebetulan Mitha kuliah di jurusan Kebidanan jadi untuk makulnya ada yang mirip dengan Jaya, jadilah mereka berdua asyik bertukar pikiran. Membicarakan matkul Anatomi yang katanya bikin teler. Aku yang notabene lemah dibidang seperti itu mendadak antusias mendengarkan, berkali-kali bertanya, berkali-kali pula Jaya dan Mitha bahu membahu menjelaskan. Kemudian disusul Risti yang menceritakan berbagai tugasnya, dia kuliah di jurusan Arsitektur yang terkenal dengan tugasnya yang menggunung. Sebuah statement yang aku tak akan lupa dari Risti, “Anak Arsitektur itu kebanyakan tidak punya mimpi! Mau tahu kenapa? Karena mereka jarang tidur.” Aku terbahak luar biasa. Fitri yang melakoni lintas Jurusan ke Akuntansi justru menceritakan kabar menyedihkan, hampir dua minggu sudah ia tak kuliah karena sakit. Ah, anak ini selalu aja membuatku panik, susah pula kalau disuruh makan! Sedangkan Nanda masih terus berkoar dengan kuliahnya yang melenakan, dia kuliah di FISIP tapi aku lupa nama jurusan kuliahnya.

Tak terasa, waktu memberikan batas bertemu. Aku menilik arlojiku, sudah pukul 07.35 wib, terlambat lima menit. Beruntung masih ada lima menit untuk waktu maksimal keterlambatan. Dosen makul kali ini amat disiplin, jujur aku tak berani terlambat parah seperti pada makul lainnya. Dengan bergegas aku meminta Fitri untuk mengantarku ke kampus, tak kusangka Jaya dan teman-teman lainnya malah ikut mengantar. Alhasil, pagi itu adalah berangkat kuliah yang paling menyenangkan, sebab aku diantar (calon) orang-orang sukses!

Meski terlambat masuk kelas, meski terlambat mengerjakan soal dan akhirnya aku tak berhasil menyelesaikan soal dan musti ikut perbaikan pekan depan, tapi aku tetap bahagia. KMB benar-benar membesarkan hatiku. Riang sekali rasanya. Karena aku terlambat untuk menyerap ilmu-ilmu kehidupan yang tak akan aku dapat di kelas kuliah. Kusebut ini keterlambatan yang berkualitas.