Ubun-ubunku disengat panas maha dahsyat, pening sekali. Matahari
rupanya sedang ingin cari perhatian, panasnya mendidihkan kepala semua
orang.
Barangkali mirip kepalaku ketika usai ulangan Kimia atau semacamnya.
Ruang
kelas XII IPA 2 akhirnya menjadi tempat pilihan untuk mendinginkan diri
dan merenung sejenak. Entahlah, aku rasa waktu berjalan begitu membabi
buta atau mungkin aku yang terlalu men'siput'kan diri. Aku lemaskan
badan, menikmati perenungan ini dengan kawan-kawan terbaik semasa kelas
XI.
"Nggak kerasa udah mau lulusan aja." Mitha membuka pembicaraan.
"Iya
ya, perasaan belum lama MOS ya. Dibentak-bentak bingung bawa barang PR,
eh sekarang udah bingung milih jurusan kuliah." Sahutku kemudian,
sambil mengangkat kepala yang sedari tadi aku biarkan terkapar lunglai
di atas meja.
Suasana kembali hening, dalam diam seolah
kami sepakat untuk bilang 'iya ya,waktu kok cepet banget.' Ketika aku,
Mitha, Ina, Linda, Risti dan Rahma asyik dengan lamunan kami
masing-masing, terdengar suara sol sepatu yang beradu dengan keramik.
Derap langkah yang cukup punya ritme untuk menandakan ada
sepasang
langah kaki –yang sangat kami kenal— menuju arah kami. “Woi,
Mennn!!!” Teriakan menggelegar dari sesosok manusia berpawakan tinggi,
cukup kurus, dengan kulit legam. Menghancurkan hening.
Matanya
tajam menyoroti kami satu per satu, mendadak jidatnya mengernyit. Lalu
bibirnya ditarik beberapa senti ke arah kiri, entah apa yang ada
dibenaknya. Laki-laki yang sekilas nampak garang itu, memang tekadang
sulit ditebak. Tarikan napas yang cukup panjang terdengar dari dengus
hidungnya, gelagat seperti biasa saat ia akan memberi aba-aba –ketika
diadaulat menjadi pemimpin upacara –. Kami menunggu, apa yang akan
terjadi selepas napas panjang itu terbuang. “Kalau lagi sama-sama
susah, buat yang lain seneng aja dulu. Urusan kita seneng atau enggak,
itu belakangan. Ada yang bikin seneng ya Alhamdulillah, tapi kalau nggak
ada yang udah. Yang penting, yang lain tetep seneng.” Aku bangkit,
menyambar lengannya dengan tonjokan kecil. Kata-kata macam apa itu!
Kenapa hanya dengan satu tarikan napas, lantas ia bisa mengeluarkan satu
kalimat yang menjawab semua keraguan di pikiran kami? Sebentar, aku dan
teman-teman masih di alam bawah sadar, sesekali mengucek-ucek mata, dan
menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Bagaimana tidak,
seseorang berperangai macam pelakon stand up comedy kini menjelma
menjadi manusia super sekelas Mario Teguh. Ituuu! Kini, giliran
mata-mata kami yang menyorotnya. Tajam. "Dih. Kalian kenapa?" Tidak
tahan dipandangi tak wajar, ia pun mengucap sebuah pertanyaan klise.
Sekadar kalimat untuk menyampaikan, 'jangan liatin aku kayak begitu'.
Melihat dia kebingungan kami semua tertawa, lepas. "Habis, omonganmu
itu hlo. Beneran mau nyaingin Pak Mario." Mitha tak tahan untuk
menghakiminya. "Keadaan yang buat aku seperti ini. Hahaha." "Duh,
tapi kita lagi stress nih! Mumet!" Kataku menyela tawanya. "Kenape,
Set?" "Ya, sewajarnya anak kelas tiga SMA lah. Bingung, habis ini mau
kemana." Rahma yang menjawab lalu mendekat ke arahku, tangannya
melingkar di leherku. Pandangan matanya seperti bertanya padaku, 'iya
kan?'. “Hmmm, ya kejar apa yang kalian impikan lah!”
Seolah mengerti apa yang ingin kami tanyakan, dia kembali berujar sebelum kami lanjut bertanya.
“Kalian tahu kan, aku punya mimpi untuk jadi seorang dokter.
Walaupun
aku kebanyakan main, tapi aku nggak pernah main-main sama mimpiku itu.
Jas putih itu harus aku pakai di masa depan. Dan untuk pembuktian dari
kata-kata ini, dari mimpi ini, saat ini cuma usaha keras dan doa
maksimal yang bisa aku lakukan. Aku juga hanya manusia, sebatas pemimpi
dan pengharap belas kasih Tuhan. Aku paham prestasi akademikku
biasa-biasa saja atau nyaris tidak ada, dan pasti banyak yang mencerca
mimpiku yang tidak biasa ini. Tapi buat apa dengar kata orang? Diam
saja, cukup buktikan!”
Aku tercengang, seperti tenggelam
dalam danau mati lalu mengambang di atasnya. Tenang. Namun sesekali ada
ikan-ikan kecil yang menyundul jemari kakiku, membuatku terperanjat dan
bangkit dari ketenangan. Iya, kata-kata itu menenangkan dan mengobarkan.
Bahkan seorang komedian pun bisa golden ways, pikirku.
Laki-laki
yang ‘nampak’ garang yang ternyata punya selera humor tinggi dan juga
kerap kali golden ways itu bernama Jaya, teman sekelasku sewaktu kelas
XI. Tidak banyak yang tahu di balik kegarangannya dia menyimpan berjuta
hal mengejutkan. Dia memang pandai menempatkan diri. Dan yang
terpenting, dia tidak pernah pilih-pilih teman!
***
“Jayaa! Hayo, masa’ rumus seperti itu saja lupa!” Bu Ria nampak kesal melihat Jaya lupa salah satu rumus trigonometri.
Satu
kelas ikut menahan napas, tak tega melihat Jaya kelabakan di depan
kelas, tapi kami tak bisa bantu apa-apa. Jaya memang tidak terlalu mahir
di mata pelajaran hitungan, Matematika dan Fisika kurasa menjadi
musuhnya.
“Ini sudah hampir kenaikan kelas. Kalian jangan
sampai sering-sering remidi, nanti bisa-bisa tidak naik kelas. Jaya,
kamu harus berhati-hati, nilaimu mengkhawatirkan. Jangan sering-sering
meninggalkan kelas ya.” Kali ini Pak Doni guru Fisika yang berganti
memperingatkan Jaya.
Jaya memang aktif ikut paskibra dan
pramuka, dia juga ketua MPK. Tak heran kalau dia sering ketinggalan
pelajaran karena kerap mengikuti kegiatan di luar sekolah.
“Anak
kayak begitu, mana bisa jadi dokter. Mimpi kan kudu realistis.” Suara
sumbang terdengar dari anak kelas sebelah, yang aku sendiri malas sebut
namanya.
Jaya tak gentar, meski sampai naik kelas XII
nilainya tak terlalu menggembirakan tapi dia tetap semangat mengejar jas
putihnya. Bahkan, semakin dicerca, semakin diremehkan, semakin tidak
dipercaya, dia semakin kuat mengejar mimpinya. Fokus, pada jas putih
saja.
***
Sayangnya, kelas tiga memecah kebersamaan
kami. Aku terdampar di kelas XII IPA 4 bersama Linda, Jaya bersama Mitha
dan Risti menempati kelas XII IPA 2, Ina di kelas XII IPA 3, dan Rahma
di kelas XII IPA 5. Semetara itu sahabat XI IPA 4 lainnya juga sudah
berpencar di seantero kelas IPA. Ah, sedih! Aku dengar sekarang Jaya
duduk sebangku dengan Woto, ex XI IPA 4 juga, wah dijamin bakal gokil.
Tapi aku hanya bisa menelan ludah karena tak bisa satu forum untuk
menggila bersama mereka dua semester ke depan. Jidatku panas seketika.
Kesal. Sebal.
Kelas XII berjalan seperti roda grobak
siomay abang depan sekolah, cepat sekali putarannya. Serangkaian Try
Out, UAS, dan Ujian Praktik terlalui begitu saja. Benar-benar cepat, tak
ada adegan slow motion sama sekali!!!! Kemudian UAN menjadi awal
tertelannya semua kebersamaan, sebab setelahnya kami akan menempuh jalan
kami masing-masing.
26 Mei 2012, sekujur tubuh mengigil
di tengah terik matahari yang tengah pongah di atas sana, aneh. Kemudian
gigil itu perlahan lumer menjadi satu teriakan serempak yang
menggelegar,”LULUSS!!!”. Namun mirisnya, gigil itu datang lagi seper
sekian detik setelah teriakan lega kami mengudara. Sebuah ketakutan yang
gigilnya berlipat-lipat lebih dahsyat: setelah ini mau kemana dan mau
apa?
“WAAAAAAAAAAAAAHH. LULUS KITAA!” Rahma berteriak
kencang sekali sembari memeluk erat tubuhku. Sayang, responku kurang
baik, standar, biasa, tak antusias.
“Mukamu kenapa? Kusut
amat, Set?” Risti menyenggol lenganku, dibarengi Mitha, Ina, Linda, dan
Rahma yang melingkar mendekati aku.
Kemudian kuutarakan
segala ketakutanku, mereka pun akhirnya paham. Alhasil sore itu, di
bawah pohon asem dekat lapangan basket kami menikam kekhawatiran, saling
menguatkan, dan percaya semua akan baik-baik saja. Kali ini, tanpa
Jaya.
***
“Duh, ini pilihan ketiga apa dong?” Jaya terlihat puyeng mengisi formulir online SBMPTN nya.
“Apa kek yang PG nya jangan lebih tinggi dari pilihn sebelumnya.” Mitha memberi saran.
“Iya ya, yang penting pilihan pertama jas putih.” Mata Jayamengkilat seperti diruntuhi optimisme bermilyar-milyar.
Pagi
itu di depan kantor kepala sekolah kami sengaja janjian mengisi
formulir pendaftaran SBMPTN bareng-bareng. Sekalian ngisi, sekalian
mendoakan satu sama lain biar dimudahkan. Dan di akhir nanti bisa teriak
LOLOS bareng.
“Kita ini ngisi buat masa depan hlo, jangan main-main. Doa dulu sebelum ngisi.” Jaya mengingatkan.
Aku
tidak banyak komentar, sesekali hanya mencengkram kepala yang mendadak
pening. Semalam sudah dibahas dengan keluarga di rumah mau pilih prodi
apa, dan ya aku bagai wayang yang mau tak mau melakukan apa yang
diinginkan dalang agar ceritanya tetap berlanjut. Tak seperti Jaya yang
nampak begitu mantap dengan pilihannya. Meski banyak yang
menertawakan,tapi dia tetap kekeuh. Andai aku punya keyakinan seperti
Jaya.
Tiga hari masa penentuan itu datang juga. Aku sudah tidak
bergairah menjalaninya. Semua soal TPA, dasar, dan IPA malas sekali
untuk aku sentuh. Malah setengah jam aku sempat pulas dalam lipatan
tanganku. Heran saja aku, kenapa banyak sekali yang begitu gencar ingin
kuliah. Entahlah, sejak awal aku memang tak pernah tertarik. Mungkin,
karena aku hanya wayang.
Sedang orang-orang yang luar
biasa di sekitarku adalah penulis skenario dan sekaligus aktor/aktris
dalam hidupnya untuk selanjutnya dikoreksi Tuhan, agar tahu lulus sensor
atau tidak.
Sebulan setelahnya, pengumuman itu keluar juga. HP ku
berdering bekali-kali, banyak pesan dari teman menanyakan hasilnya.
Dengan lincah jemariku mengetik ‘belum rejeki’. Aku juga bertanya pada
kawan-kawan yang lain. Hanya Linda yang LOLOS, Teknik Arsitektur UNNES.
Bahagia rasanya, setidaknya ada kawan yang bisa memecah mimpinya dengan
langkah yang tak terlalu terseok.
Setelah malam itu, Jaya
tak terdengar lagi kabarnya. Sampai pada pengumuman jalur mandiri
ternyata dia diterima di jurusan Hukum. Kebetulan pada pengumuman itu
aku juga diterima di universitas yang sama dengan Jaya, tapi beda
fakultas.
Kabar baik terus berdatangan, Ina kuliah di
jurusan Hukum Internasional, Mitha akhirnya setelah melewati pertempuran
sengit bisa juga kuliah di kebidanan, Rahma tedampar jauh di kota
metropolitan sekolah kesehatan, dan Risti di arsitektur. Serangkain
ospek dan berbagai tetek bengek sudah dilewati para maru, termasuk aku.
Beberapa pekan kuliah aku baru dapat kabar dari seorang teman ketika
chat di FB. Sebuah kabar mencengangkan, menggelegarkan.
“Setya, sekarang di mana?”
“Di UNS, kamu di mana Yu’?
“Aku di UGM.”
“Wah. Selamat yaa.”
“Iya. Eh, Jaya keren tuh.”
“Knp? di fakultas hukum dia sekarang.”
“Loh, kamu malah belum tahu Set?”
“Tau apa Yu’?”
“Jaya kan sekarang di UNSOED, Fakultas Kedokteran.”
Glek,
serasa mau pingsan aku raih HP dan segera menghubungi Jaya. Sial, no HP
nya sudah tidak aktif. Selepas pengumuman aku memang sudah tidak pernah
bertanya kabar lagi dengan dia, takut melukai hatinya. Sampai kabar
sehebat ini aku malah dengan dari orang lain, ya Tuhan.
Aku putar otak, minta no HP nya ke teman yang lain. Dan akhirnya dapat juga.
“JAYAAA!! KAMU GILAAA!!! GILAAA!”
“Heh, ini siapa?”
“SETYA!!! KAMU GILAAAA!!!” “Woiii men. :D Apa kabar??? Gila gimana??” “KEDOKTERAN UNSOED????!! MEN! AKU TERHARUUUU!!!”
“HAHAHA,
santai dulu. Iya, Alhamdulillaaaah, berkat doa kalian juga. Aku dulu
juga ampek nangis pas baca pengumuman, nggak nyangka.”
“Ya ampun, Jay! Kamu juga nggak kasih kabar sihhh!!!”
“Maaf, aku ganti no HP dan semua kontak ilang, jadi nggak bisa kasih kabar.”
“Ah, ya udah. Gimana ceritanya bisa ketrima????”
“Ya
aku usaha maksimal. Pokonya habis-habisan lah belajarnya, doanya juga.
Bumbuku itu cuma usaha+doa (sholat wajib, tahajud, dhuha, dzikir) itu
aja, dan Alhamdulillah jadi sekarang :’D.”
Aku mrinding
seketika. Benar, Jaya tidak pernah main-main dengan impian jas putihnya.
Dari jaya aku belajar banyak, tentu saja tentang mimpi yang harus
dikejar mati-matian agar bisa benar-benar jadi
jaya.
Terima kasih Tuhan, sudah hadirkan kawan-kawan luar biasa yang memberiku semangat tanpa
kata-kata,
tapi dengan praktik langsung. Saat itu juga aku lantas mengobrak-abrik
folder lama, melanjutkan lukisan kata yang mulai usang. Aku haru seperti
Jaya, berjuang keras mengusahakan apa yang telah diimpikan. Selamat
tinggal wayang, aku akan mulai menulis ceritaku sendiri.