Sunday, June 15, 2014

Lima Ratus Delapan Belas Kata untuk Bapak



Bapak, terima kasih telah mengajarkanku tentang kesetiaan, meski dirimu tidak pernah memberiku pengertian bahwa setia adalah bla bla bla. Tapi dari caramu merawat dan mendampingi Ibu dalam satu tahun lebih masa meyakitkan yang membuat Ibu tak lagi bisa berjalan dan bahkan tidur untuk selamanya, aku mampu memahami dengan baik setia itu seperti apa. 

Bapak, terima kasih telah menjadi alarm makanku yang rutin mengingatkan tiga kali sehari. Padahal aku pun tahu, ketika kau menelpon dan bertanya “Sudah makan? Cepat makan.” kau sendiri mungkin sama sekali belum menyentuh perabotan makan. Padahal, mestinya kau menjaga dirimu lebih baik ketimbang menjaga aku. Ah, tapi entahlah, orang tua memang selalu begitu, kerap mengkhawatirkan anak-anaknya tapi abai dengan dirinya sendiri. 

Bapak, terima kasih telah rutin mencium kedua pipiku ketika kita akan merajut jarak dalam beratus-ratus kilometer. Aku tidak malu meski kau pernah melakukannya di depan teman-temanku, justru aku bangga karena mampu membuat mereka iri. Ya, mereka bilang “Bapakmu so sweet sekali. Astaga, aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali dicium Bapakku.”

Bapak, banyak yang bilang kau adalah dua sosok sekaligus dalam hidupku saat ini: Ibu dan Bapak. Tapi bagiku Bapak ya Bapak, Ibu ya Ibu. Aku tidak suka menggabungkan dua sosok itu menjadi satu, sabaik-baik Bapak dia tetap Bapak, bukan Ibu. Pun juga sebaliknya, sebaik-baik Ibu dia tetap Ibu, bukan Bapak. 

Bapak, belakangan ini mungkin banyak keputusan yang aku ambil membuat harapanmu putus. Aku mulai memiliki kesadaran berlebih tentang ‘ini hidupku’, hingga ambisiku mengejar target-target pribadi menggugurkan segala mimpimu tentang aku. Maaf, atas segala tindakan menyakitkan dan ucapan yang teramat kasar, aku payah dalam upaya menjelasakan apa yang aku rasakan dan apa yang aku inginkan.

Bapak, sejujurnya aku mengambil keputusan ini bukan karena aku tidak tahan tapi karena aku memang tidak mau bertahan. Terima kasih telah menaruh kepercayaan dan keyakinan penuh padaku, tapi menurutku semua itu terlalu berlebihan. Aku tidak sekuat yang Bapak kira, aku juga bukan anak sulung Bapak yang mempunyai talenta di bidang sains. Aku adalah anak ke dua Bapak, yang amat tergila-gila menyusun kata hingga membentuk kalimat dan menaruhnya pada tumpukan paragraf. Aku mencintai dunia menulis, Pak. Sungguh. Dan biarkan untuk kali ini aku memperjuangkan apa yang aku cintai, meski aku harus melukai orang yang aku cintai:Bapak. 

Bapak, jika aku memaksakan bertahan di sini itu berati aku hanya akan membuat Bapak semakin sakit. Maka untuk pertama kalinya dalam hidupku, ijinkan aku mengambil keputusan sepihak ini. Lalu beri aku kesempatan untuk membuktikan, bahwa bahagiamu ada pada pilihan yang aku pilih saat ini.  
Bapak, meski aku bukan anak yang penurut, meski aku bukan anak yang patuh, meski aku bukan anak yang rajin, meski aku bukan anak yang pintar, meski aku bukan anak yang menyenangkan, meski aku bukan anak yang membanggakan, meski aku bukan anak yang....ah sudahlah. Tapi sungguh, di balik kenakalanku dan kesulitanku untuk diatur, aku menyimpan cinta yang utuh untukmu, Pak. Jangan ragukan soal itu. 

Untuk saat ini aku tidak bisa menjanjikan kapan akan menghadirkan kebahagiaan untukmu, tapi percayalah aku akan berjuang untuk itu, sekuat yang aku bisa. Semoga Tuhan senantiasa membantumu untuk melapangkan kesabaran dalam manghadapi aku. Dan kuharap kau mulai belajar mencitai dirimu sendiri, kesehatanmu. Aku mencintaimu, selalu dan selamanya.