Bapak, terima kasih telah mengajarkanku tentang kesetiaan,
meski dirimu tidak pernah memberiku pengertian bahwa setia adalah bla bla bla. Tapi
dari caramu merawat dan mendampingi Ibu dalam satu tahun lebih masa meyakitkan
yang membuat Ibu tak lagi bisa berjalan dan bahkan tidur untuk selamanya, aku mampu
memahami dengan baik setia itu seperti apa.
Bapak, terima kasih telah menjadi alarm makanku yang rutin mengingatkan
tiga kali sehari. Padahal aku pun tahu, ketika kau menelpon dan bertanya “Sudah
makan? Cepat makan.” kau sendiri mungkin sama sekali belum menyentuh perabotan
makan. Padahal, mestinya kau menjaga dirimu lebih baik ketimbang menjaga aku. Ah,
tapi entahlah, orang tua memang selalu begitu, kerap mengkhawatirkan
anak-anaknya tapi abai dengan dirinya sendiri.
Bapak, terima kasih telah rutin mencium kedua pipiku ketika
kita akan merajut jarak dalam beratus-ratus kilometer. Aku tidak malu meski kau
pernah melakukannya di depan teman-temanku, justru aku bangga karena mampu membuat
mereka iri. Ya, mereka bilang “Bapakmu so sweet sekali. Astaga, aku bahkan sudah
lupa kapan terakhir kali dicium Bapakku.”
Bapak, banyak yang bilang kau adalah dua sosok sekaligus
dalam hidupku saat ini: Ibu dan Bapak. Tapi bagiku Bapak ya Bapak, Ibu ya Ibu. Aku
tidak suka menggabungkan dua sosok itu menjadi satu, sabaik-baik Bapak dia
tetap Bapak, bukan Ibu. Pun juga sebaliknya, sebaik-baik Ibu dia tetap Ibu,
bukan Bapak.
Bapak, belakangan ini mungkin banyak keputusan yang aku
ambil membuat harapanmu putus. Aku mulai memiliki kesadaran berlebih tentang ‘ini
hidupku’, hingga ambisiku mengejar target-target pribadi menggugurkan segala
mimpimu tentang aku. Maaf, atas segala tindakan menyakitkan dan ucapan yang
teramat kasar, aku payah dalam upaya menjelasakan apa yang aku rasakan dan apa
yang aku inginkan.
Bapak, sejujurnya aku mengambil keputusan ini bukan karena
aku tidak tahan tapi karena aku memang tidak mau bertahan. Terima kasih telah
menaruh kepercayaan dan keyakinan penuh padaku, tapi menurutku semua itu
terlalu berlebihan. Aku tidak sekuat yang Bapak kira, aku juga bukan anak
sulung Bapak yang mempunyai talenta di bidang sains. Aku adalah anak ke dua
Bapak, yang amat tergila-gila menyusun kata hingga membentuk kalimat dan menaruhnya
pada tumpukan paragraf. Aku mencintai dunia menulis, Pak. Sungguh. Dan biarkan untuk
kali ini aku memperjuangkan apa yang aku cintai, meski aku harus melukai orang
yang aku cintai:Bapak.
Bapak, jika aku memaksakan bertahan di sini itu berati aku hanya
akan membuat Bapak semakin sakit. Maka untuk pertama kalinya dalam hidupku,
ijinkan aku mengambil keputusan sepihak ini. Lalu beri aku kesempatan untuk
membuktikan, bahwa bahagiamu ada pada pilihan yang aku pilih saat ini.
Bapak, meski aku bukan anak yang penurut, meski aku bukan
anak yang patuh, meski aku bukan anak yang rajin, meski aku bukan anak yang
pintar, meski aku bukan anak yang menyenangkan, meski aku bukan anak yang
membanggakan, meski aku bukan anak yang....ah sudahlah. Tapi sungguh, di balik
kenakalanku dan kesulitanku untuk diatur, aku menyimpan cinta yang utuh
untukmu, Pak. Jangan ragukan soal itu.
Untuk saat ini aku tidak bisa menjanjikan kapan akan
menghadirkan kebahagiaan untukmu, tapi percayalah aku akan berjuang untuk itu,
sekuat yang aku bisa. Semoga Tuhan senantiasa membantumu untuk melapangkan
kesabaran dalam manghadapi aku. Dan kuharap kau mulai belajar mencitai dirimu
sendiri, kesehatanmu. Aku mencintaimu, selalu dan selamanya.
No comments:
Post a Comment