Tuesday, February 4, 2014

Kisah Tanpa Judul 1 (Repost)

Sayup-sayup terdengar adzan Shubuh berkumandang, aku masih meringkuk di ranjang dan enggan bangkit dari tidur yang tidak terlalu nyenyak semalam. Ibu yang hari itu tidur di sampingku sudah tidak ada, pasti beliau sudah terbangun sedari tadi. Ibu memang selalu begitu, bangun lebih awal dari semua penghuni rumah, menyiapkan keperluan semua anggota keluarga. Dan aku, hanya tinggal menikmatinya saja, jarang sekali membantu Ibu di pagi hari. Tapi, pagi itu Ibu terlihat tidak melakukan aktivitas seperti biasanya, beliau sibuk membongkar isi lemari. Sebuah tas yang biasa kami gunakan untuk pergi ke luar kota diraihnya, setiap helai baju dilipatnya dan dimasukkan ke dalam tas. Dengan nyawa yang belum terkumpul dan mata yang masih buram, aku mendekati Ibu.

“Berangkat jam berapa, Bu?” Tanyaku sambil duduk di dekat Ibu.

“Nanti, kalau kamu, Tyo, dan Mas Pras sudah berangkat sekolah, Ibu dan Bapak berangkat.” Ibu menjawab tanpa memandangku.

Esok, aku tidak bisa lagi bermalas-malasan bangun pagi seperti hari ini dan hari-hari sebelumnya. Pekerjaan rumah Ibu mulai esok sudah berpindah menjadi tugasku. Hari ini Ibu dan Bapak akan pergi ke Jogja, ke sebuah rumah sakit swasta,rencananya Ibu akan melakukan operasi. Operasi syaraf yang terjepit di tulang belakang. Semalam, Ibu mempersiapkan segalanya. Mempersiapka segala keperluanku dan kedua saudara laki-lakiku. Karena aku perempuan sendiri, tentunya urusan memasak dan pekerjaan rumah lainya Ibu limpahkan padaku. Disebabkan waktu yang hanya semalam, Ibu hanya sempat mengajariku menanak nasi. Kata Ibu, yang penting bisa nanak nasi dulu, untuk urusan lauk nanti beli saja. Kemudian cara mencuci dan menyetrika baju juga Ibu ajarkan malam itu, dan mau tidak mau aku harus belajar. Aku hanya mengangguk dan sesekali bertanya ketika Ibu menjelaskan ini dan itu. Aku menghela napas ketika semua instruksi Ibu telah usai. Sejujurnya aku ingin belajar seperti ini, tapi tidak dalam waktu sesingkat ini dengnan kondisi yang sama sekali tidak aku inginkan.

“Bu, Pak, Riya berangkat sekolah ya.” Punggung tangan Bapak dan Ibu aku cium. Ketika aku mencium punggung tangan Ibu yang mulai keriput, Ibu manarikku, lalu meraih badanku. Dipeluknya aku, hangat sekali. Tiba-tiba pundakku terasa hangat dan basah, Ibu menangis. Entah apa yang terjadi, semalam Ibu bilang operasinya tidak akan lama dan Ibu akan segera pulang, tapi kenapa Ibu sekarang menangis. Aku tidak mau banyak tanya, aku berusaha percaya seutuhnya apa yang dikatakan Ibu semalam. Tapi seberapa pun aku percaya, aku juga benci perpisahan. Mataku mulai memerah, aku sudah tak mampu membendung air mata. Seketika aku sesegukan. Pelukan Ibu semakin erat, beradu dengan gejolak dan tanda tanya besar dalam pikiranku tentang kondisi Ibu. Ajaib, pelukan itu mampu menghentikan tangisku, menenangkanku. Dengan sigap Ibu lalu membangkitakn badanku, menghapus air mataku, lengkap dengan kecupan hangat di kening dan kedua pipiku. Tas sekolah aku raih, ini langkah terberat pergi ke sekoalah seumur hidupku. Sebab nanti ketika pulang, untuk pertama kalinya aku tidak akan bertemu ke dua malaikat duniaku dalam waktu yang entah sampai kapan.

Di sekolah aku hanya mematung di bangku. Meletakkan kepalaku di atas ke dua tangan yang bersedekap di atas meja. Teman-teman nampak kewalahan mengajakku bermain karena sama sekali tidak aku gubris. Siang itu, aku malas sekali pulang ke rumah. Tapi tiba-tiba pekerjaan rumah menghantui, aku belum nanak nasi. Bergegas aku meninggalkan SD N 6 Wonogiri, sekolahku. Belakangan ini, semenjak Ibu bolak-balik ke rumah sakit aku jadi lebih sering melompat pagar belakang sekolah ketika pulang. Aku ingin segera sampai rumah, dan mengetahui kondisi terkini Ibu. Sudah sebulan belakangan Ibu mengeluh sakit pada lutut kirinya, Bapak lalu memaksa Ibu untuk periksa di rumah sakit umum di Solo. Kabar baik, Ibu hanya perlu mengikuti terapi selama tiga minggu dan sakitnya akan hilang. Tapi ternyata tak semulus yang kami bayangkan, kaki Ibu tak kunjung sembuh meski paket terapi sudah habis. Setelah konsultasi pada seorang dokter, Ibu lalu memberanikan diri untuk periksa ke dokter spesialis syaraf di Jogja. Kala itu aku ikut, miris! Setelah melakukan check up, Ibu diharuskan menjalani operasi. Yang membuat kami tersentak, operasi harus dilakukan sesegera mungkin dan Ibu harus diopname malam itu juga. Namun dengan tegas Ibu menolak, dalam kondisi segenting itu Ibu masih memikirkan kami, anak-anaknya. Mana mungkin Ibu akan meninggalkan kami tanpa bekal apa-apa, dengan bersi kukuh Ibu memaksa dokter untuk mengundurnya. Sehari, iya mengundurnya sehari untuk mengajariku nanak nasi dan cuci baju.

Rumah masih tampak lengang, Tyo tertidur di depan TV. Anak itu, selalu lebih kuat dari aku. Dengan langkah gontai aku masuk kamar, terlihat sebuah surat bertengger manis di atas meja belajar. Sudah ku duga itu pasti surat dari Ibu, setiap kali akan pergi Ibu pasti meninggalkan surat. Kuhempaskan tubuhku di atas ranjang, sembari perlahan aku baca surat itu.

Dik Riya+Dik Tyo yts. .

Dik hati-hati yaa, doakan ibu agar selamat dan lancar,dapat kembali sehat lagi. Dik Riya nanti pulang sekolah ketempat Mbak Bela ya njaga Mas Faras. Dik Tyo diajak, jangan dinakali ya, makan dulu.

Wis yaa . .

Cium dan peluk sayang

Ibuk

Air mataku lagi-lagi menetes tak karuan. Setelah melipat surat itu dan menaruhnya di lemari aku melangkahkan kaki menuju dapur. Aku kaget bukan kepalang di meja makan sudah terhidang banyak makanan, padahal seingatku tadi pagi Ibu tidak sempat memasak. Setelah aku amati masakan-masakan itu, aku mulai menyadari bahwa itu bukan masakan Ibu. Ya, aku hapal betul masakan Ibu, bahkan hanya dengan melihatnya saja aku sudah bisa mengenalinya. Tapi tak penting masakan siapa, yang jelas aku lega bisa makan tanpa harus repot-repot beli lauk. Tinggal masak nasi, dan makan. Setelah aku usai memasak nasi, Tyo terbangun dan buru-buru menuju ke arahku.

“Mbak, tadi di kasih lauk sama Bu Camat. Warungnya kan baru buka.” Kata Tyo sembari merenggangkan tangannya keatas.

“Ow. Iya, nanti kita kembalikan pring-piringnya dan bilang terima kasih.” Tandasku sambil meraih tudung saji di meja makan lalu menutupkannya.

Usai nasi masak, aku dan Tyo lantas segera menyantap hidangan yang ada. Selezat apa pun masakan ini, batinku tetap bergelayut pada masakan Ibu yang tidak ada tandingannya. Mas Pras belum pulang, barangkali dia akan pulang sore karena mengikuti les. Seperti instruksi dari Ibu, setelah mengembalikan piring-piring kepada Bu Camat, kami lalu menuju rumah sepupu kami yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah.

Malam ini hening sekali, Mas Pras sibuk dengan komputernya, Tyo sibuk membisu di depan TV, dan aku berusaha sekuat tenaga untuk membaca buku tapi tidak konsen sama sekali. Kuraih gagang telepon, aku telepon rumah sakit dimana Ibu dirawat. Iya, tadi siang Bapak telpon melalui telepon rumah sakit dan memintaku menghubungi rumah sakit jika terjadi sesuatu atau hanya sekedar ingin mendengar suara Bapak dan Ibu.

“Halo, Selamat malam. Ada yang bisa dibantu?” Suara nyaring dari seorang wanita terdengar di ujung telepon.

“Selamat malam, saya minta tolong disambungkan dengan kamar No. 56.” Kataku sedikit gugup.

“Baiklah, tolong tunggu sebentar.” Suara nyaring itu kembali menyeruak.

Tidak berapa lama kemudian aku sudah terhubung dengan Ibu, aku menceritakan apa saja yang sudah terjadi hari ini. Sesekali Ibu tertawa dan mendeham. Di ujung pembicaraan, aku bertanya pada Ibu,

“Bu, kapan pulang?” Aku tahu ini pertanyaan yang sangat memberatkan bagi Ibu. Sebenarnya aku tak tega menanyakan ini, tapi hatiku terus bergejolak. Karena tak kunjung ada jawaban, aku mengalihkan pembicaraan.

“Eh, Ibu diinfus? Di sana enak tidak Bu makannya? Ibu sekarang gimana kondisinya?” Tanyaku beruntun, agar Ibu lupa tentang pertanyaanku tadi “Kapan pulang?”.

“Tidak, Nduk. Ibu tidak diinfus. Ibu masih seperti biasanya kok. Makanan di sini enak-enak, Nduk. O iya, soal kapan pulang. Ibu belum bisa memastikan. Hari ini Ibu melakukan banyak check up, dan hasilnya baru keluar beberapa hari ke depan. Kalau badan Ibu sehat, Ibu bisa segera operasi dan pulang. Doakan saja ya, Nduk.” Jelas Ibu. Masih lama, pekikku dalam hati.

Tyo yang sedari tadi duduk manis di sampingku tiba-tiba meraih gagang telpon yang masih melekat di kupingku. Kubiarkan dia meraihnya, dan kusaksikan banyak pertanyaan ia lontarkan pada Ibu. Hebatnya, dia tidak cengeng sepertiku. Padahal usianya jauh lebih belia dariku, Tyo masih kelas 1 SD sedangkan aku sudah kelas 6 SD.

Tiga hari berlalu tanpa Bapak dan Ibu. Aktivitas pagiku seperti biasa, usai salat aku langsung masak air untuk membuat susu. Lalu menanak nasi, dan kalau sempat ya menyuci baju. Mas Pras bertugas membeli lauk. Sedang Tyo, hanya aku minta untuk menemani di dapur atau kalau tidak aku biarkan dia tidur lagi. Aku dan Tyo satu sekolah, kita selalu berangkat bersama.

Siang itu ketika jam istirahat tiba, Luki,teman baikku, menyusulku di perpustakaan. Kebetulan sejak kelas 6 ini aku mendapat tugas sebagai sekertaris perpustakaan. Tugasku sederhana, hanya memberikan kartu perpustakan pada anak-anak yang akan meminjam buku dan mencatatnya pada buku perpustakaan. Aku sangat menikmati tugas ini, karena dengan begitu aku juga bisa tahu lebih banyak buku yang ada di perpustakaan. Luki duduk di dekatku, lalu menyenggol lenganku yang tengah sibuk mencatat buku-buku yang dipinjam. Aku paham kode dari Luki, lalu aku mengentikan sejenak kesibukanku.

“Ada apa, Ki?” Tanyaku tanpa bertele-tele.

“Aku punya kabar gembira buatmu!” Ujar Luki antusias.

“Apa??” Tanyaku penasaran.

“Tadi, aku ketemu sama Bu Siti. Kita diminta untuk ikut latihan bikin sinopsis lagi buat perlombaan, akan ada seleksi lagi. Nanti sore, kita sama-sama ke rumah Bu Siti ya? Ini kesempatan baik buatmu! Dulu kan kamu nyaris mau maju lomba, siapa tahu kali ini benar-benar lolos. Aku tunggu di rel kereta biasa kita kumpul ya. Jam 4!” Luki menjelaskan padaku tentang kabar gembira itu tanpa jeda, dia bercerita dengan semangat berkobar-kobar.

Sekolah kami memang terkenal sering memenangi juara lomba sinopsisi, jadi setiap kali akan diadakan seleksi kami sangat antusias. Apalagi aku, yang notabene sangat gemar membaca dan menulis. Ketika kelas 5 aku juga mengikuti pelatihan sinopsis di rumah Bu Siti, guru Bahasa Indonesia kami. Kala itu cara menulisku dinilai sudah cukup baik, tapi karena aku tidak pandai presentasi jadi aku belum berhasil ikut lomba. Karena kegagalan itu, aku berjanji akan memperbaiki di seleksi berikutnya. Berbeda denganku, Luki hanya ingin menambah pengalaman saja dan tidak telalu berharap untuk bisa ikut lomba.

“Aku nggak bisa, Ki.” Tukasku singkat.

“Apa???? Aku tahu kamu itu pengen banget ikut lomba kan? Kenapa sekarang ada kesempatan kamu nggak ikut?? Kamu takut gagal lagi?” Luki nampak kesal setelah mendengar jawabanku.

“Bukan, bukan gitu. Jujur aku pengen ikut tapi keadaanku tidak memungkinkan.” Aku mulai murung.

“Kenapa?” Luki seolah mendesakku untuk terus bercerita.

“Ibuku, Ibuku sakit. Sekarang di rawat di rumah sakit yang ada di Jogja. Pekerjaan rumah sekarang jadi tanggung jawabku, tapi itu sebenarnya tidak jadi soal karena aku bisa mengerjakannya pagi hari. Tapi, Tyo sama siapa kalau aku latihan sinopsis. Mas Pras sekarang sedang sibuk ikut les dan juga ikut bimbingan belajar untuk bisa masuk perguruan tinggi, dia kan sudah kelas 3 SMA. Aku juga tidak mau dia terlalu repot memikirkan aku dan Tyo. Sedangkan kau tau sendiri, latihan sinopsis itu sangat menyita waktu. Kita bisa pulang malam atau bahkan menginap di rumah Bu Siti. Mana aku bisa, Ki.” Akhirnya aku mencurahkan semuanya pada Luki. Keadaan menjadi hening. Luki menunduk dan berhenti memaksaku untuk mengikuti pelatihan itu.

Dulu, ketika aku ikut latihan membuat sinopsis di rumah Bu Siti aku berangkat pukul 16.00 WIB, tapi karena aku terlalu asyik menulis aku baru pulang sekitar pukul 21.00 WIB. Sebelumnya ketika ba’da Isya’ Ibu dan Tyo sudah menjemputku . Tapi aku menolak di ajak pulang, “Tanggung, Bu” kataku pada Ibu yang sudah susah payah menjemputku. Aku memang tidak bisa dipaksa, Ibu lalu mebiarkanku tetap menulis. Dan aku pulang diantar suaminya Bu Siti.

“Ya sudah, kalau begitu alasanmu. Aku turut prihatin, kamu yang sabar ya. Nanti aku bilang ke Bu Siti soal ini. Karena tadi beliau menanyakanmu.” Kata-kata Luki menghancurkan hening yang tiba-tiba hadir. Tangannya lalu menepuk-nepuk lenganku, pertanda menguatkan. Aku pun tersenyum, senyum yang sangat aku paksakan.

Sekonyong-konyong aku langkahkan kaki menuju rumah, ingin segera menghempas badanku di atas ranjang. Tiba-tiba kepalaku pening, mungkin terlalu memikirkan lomba sinopsis. Dengan berat hati aku mengubur dalam-dalam mimpi yang sudah aku idamkan sejak dulu itu. Tiba-tiba telepon rumah berdering, Ibu menelpon. Kabar baik, akhir pekan ini karena libur tiga hari aku akan dijemput Bapak dan sama-sama menjenguk Ibu ke Jogja. Sebentar lagi rindu ini sirna, sungguh bertemu dengan Ibu adalah obat mujarab untuk menyembuhakan luka apa saja. Seketika, lomba sinopsis itu tak lagi menghujam jantungku walaupun tak bisa dipungkiri masih meninggalkan perih. Bayang-bayang wajah Ibu menjadi pelipur lara yang mendamaikan hati. Setelah perpisahan dengan Ibu, aku merasa banyak hal yang berubah dariku. Aku belajar untuk tidak lagi menjadi anak manja yang apa-apa tinggal minta. Keadaan yang mendesakku untuk berubah, atau barangkali ini memang cara Allah untuk merubahku. Sungguh, Allah selalu punya cara untuk menegur hamba-Nya dan menuntun hamba-Nya pada jalan yang benar.

***


Jum’at pagi yang indah. Tak sabar rasanya ingin segera bangun dan bergegas melepas rindu pada Ibu, rindu yang  menggebu tak terbantahkan. Pagi-pagi sekali Bapak datang dari Jogja menggunakan bus, aku dan Tyo lantas segera bersiap. Tanpa istirahat, Bapak langsung mengajak kami berangkat dengan menggunakan motor. Mungkin, Bapak teramat khawatir meninggalkan Ibu terlalu lama. Mas Pras tidak ikut, dia tidak libur dan akan menyusul hari Sabtu setelah pulang sekolah. Perjalanan menuju Jogja terasa lama, mungkin rindu ini yang menyaratkan agar cepat sampai tapi jarak tak mau bertoleransi. Sesekali aku bertanya tentang keadaan Ibu, dan Bapak menjawab secukupnya. Tiba-tiba Bapak memelankan laju motor, lalu menepi pada sebuah warung soto. Bapak memang selalu memahami masalah perut kami, beliau sangat mewajibkan kami untuk sarapan. Terlebih Ibu, tiada satu pagi pun yang beliau lewatkan untuk memastikan anak-anaknya sudah minum susu dan sarapan. Padahal, aku tahu betul bahwa Bapak dan Ibu jarang sekali sarapan. Begitulah orang tua, terlalu mengkhawatirkan anaknya tapi tidak peduli dengan dirinya sendiri.

Satu jam kemudian kami sampai di rumah sakit. Setelah memakirkan motor, Bapak lalu mengajak aku dan Tyo menuju bangsal kamar Ibu. Rumah sakit ini terkesan klasik, tapi mewah. Setiap lorongnya bersih dan tertata rapi. Seperti biasa Bapak berjalan dengan cepat, aku dan Tyo agak sedikit keteteran mengikutinya, bahkan sesekali kami berdua harus berlari kecil untuk mengejar Bapak. Hatiku berbunga, aku ingin segera sampai kamar No. 56.

 54, 55, dan 56... Ibuuu!! Seruku sambil berlari menjangkau pelukannya. Tyo lalu mendesal dari belakangku dan memaksaku menyingkir dari pelukan hangat itu, aku menyadari bahwa harus berbagi. Ibu terlihat sehat, beliau masih berjalan seperti biasa. Tanpa infus, tanpa alat bantu apa pun. Hanya saja jalannya memang sedikit terganggu karena rasa sakit di lututnya. Setelah memastikan kondisi Ibu, aku masuk ke kamar, melihat-lihat apa yang ada. Aku  bergumam pelan. “Kamarnya bagus.”

“Iya.. tapi sebagus-bagus kamar ini lebih nyaman rumah sendiri, Nduk.” Kata Ibu yang tak kusangka ternyata mendengar celotehku.

Tiba-tiba seorang dokter dan suster masuk ke kamar Ibu untuk memeriksa dan memberikan hasil lab. Kami harus keluar kamar, hanya Bapak dan Ibu yang tinggal di kamar. Aku menguping dari luar, sedang Tyo asyik dengan gamenya.

“Operasinya harus diundur, atau mungkin dibatalkan. Karena pada paru-paru Ibu ada bercak-bercak putih. Bercak-bercak putih yang ada di paru-paru Ibu itu bisa saja hanya flek biasa, atau mungkin tumor, atau bisa jadi yang lainnya. Untuk itu, besok kita harus megambil sedikit bercak itu dan akan diteliti.” Kata Pak Dokter dengan tenang, dan menenangkan.

Tumor? Aku terperanjat mendengar kata itu. Tapi masih belum pasti, bisa saja itu hanya flek. Aku mencoba menenangkan diriku sendiri.

“Kalau itu tumor, lantas bagaimana, Dok?” Ibu terdengar bertanya dengan lirih. Barangkali agar aku tidak dengar, tapi jangkauan pendengaranku masih mampu menangkapnya.

“Kalau tumor, operasi tulang belakangnya akan dibatalkan. Kita akan mengangkat tumornya, karena bisa jadi sakitnya dari situ.” Pak Dokter menjelaskan lagi.

“Lalu kapan akan dilakukan pengambilan sempel bercak di paru-paru istri saya, Dok?” Kali ini Bapak angkat bicara.

“Besok siang, Pak. Mohon dipersiapkan.”  Jawab Pak Dokter.

Ibu lantas menjelaskan padaku hasil check up, menjelaskan hal yang sudah jelas aku dengar. Dengan bahasa yang simpel, dan tidak serumit yang aku dengar dari Pak Dokter tadi. Ibu hanya bilang paru-parunya kotor, lalu besok harus dibersihakan sehingga operasi tertunda dan dipastikan pulangnya lebih lama.

Keesokan harinya, Ibu menjalani proses pengambilan bercak noda di paru-parunya. Menggunakan alat suntik spesial, dari samping suntikan itu dimasukan hingga menjangkau paru-paru. Tak terbayang bagaimana bentuk suntikan itu karena dilengkapi dengan selang kecil untuk mengambil bercak di paru-paru Ibu. Lalu bercak itu bisa tersedot. Ibu tidak pernah mengeluh sakit secara blak-blakkan, tapi kali ini Ibu bilang sakit sekali meski sudah dibius.  Setelah bercak  diambil, Ibu harus menunggu hasilnya beberapa hari lagi. Menunggu lagi, Ibu pulangnya akan lebih lama lagi, pekikku dalam hati.

Minggu malam adalah jadwalku untuk kembali pulang ke Wonogiri, Mas Pras yang kemarin pagi baru datang kini sudah bersiap untuk mengajakku pulang. Tyo dengan langkah berat dan agak diseret mengikuti langkah Mas Pras. Tapi, aku enggan pulang. Aku peluk erat Ibu, aku takut terjadi sesuatu. Entahlah, tapi tiba-tiba aku sangat ketakutan meninggalkan Ibu. Aku mulai menangis, meronta dan meminta untuk tetap tinggal. Semua ikut panik, terlebih Ibu yang juga ikut menitihkan air mata. Bapak kelabakan melihat situasi seperti itu. Tiba-tiba Tyo berlari ke arah aku dan Ibu, ikut memeluk kami berdua. Dengan terisak, dia juga berkata tidak ingin pulang. Mas Pras tertegun, aku tahu dia juga sebenarnya enggan pulang. Tapi jadwal ulangannya padat, dan dia adalah tipe orang yang terlalu gengsi jika telihat lemah. Dia selalu terlihat tabah, kuat, dan manguatkan. Sampai tak ada seorang pun yang mengetahui, sebenarnya apa yang dia rasakan. Kakakku yang hebat.

Ibu terlihat tidak tega melihat aku dan Tyo terus menangis. Lalu Ibu mengijinkan aku dan Tyo untuk menginap satu malam lagi. Jadilah malam itu Mas Pras pulang bersama Bapak. Aku masih terisak, entah darimana rasa takut yang maha dahsyat itu menghancurkan akal sehatku. Aku bahkan tak habis pikir akan menangis sehebat itu.
Dua hari sudah berlalu, aku kembali ke Wonogiri dan menjalani hidup masih tanpa Ibu. Sedikit mulai terbiasa, mebagi tugas rumah dan sekolah. Hanya saja aku menjadi jarang main, beruntung teman-teman sering sekali berkunjung ke rumahku. Mereka memahami betul kondisiku.

Siang itu aku pulang seperti biasa, setelah singgah sebantar ke perpustakaan aku menuju rumah. Tidak seperti biasanya, Pakdheku datang dan mengajakku untuk segera ke Jogja. Beliau tidak banyak cerita, hanya mengatakan Ibu akan pulang. Aku senang, tapi khawatir sekali. Apa yang membuat Ibu bisa pulang secepat ini? Operasinya bagaimana? Apa di paru-paru Ibu ada tumor? Atau kenapa? Semua tanya itu hanya mampu aku simpan, aku canggung untuk banyak tanya pada Pakdhe. Aku amati raut muka Pakdhe, sangat panik. Dari situ aku menyadari, kabar kepulangan Ibu bukanlah kabar baik. Aku hanya diam, menunggu kabar yang mungkin belum saatnya tersampaikan padaku. Tak berapa lama Mas Pras datang, dengan menggunakan dua motor aku, Pakdhe, Mas Pras, dan Tyo melesat menuju Jogja. Aku berada dalam satu motor dengan Pakdhe, cara Pakdhe mengemudikan motor yang tergesa-gesa dan panik membuatku semakin yakin bahwa ada sesuatu hal besar yang terjadi.
Sesekali aku memejamkan mata, berharap ini hanya mimpi. Dan Ibu baik-baik saja. Di perjalanan, pikiranku melanglang buana entah kemana. Memikirkan berbagai hal yang tidak-tidak. Pernah aku mencoba menenangkan diri, meminta perasaanku tenang. Membayangkan Ibu sudah sembuh dan memang sudah saatnya pulang. Tapi sia-sia, usahaku menghibur diri tak ada gunanya. Jemariku mengepal dan  kupukul-pukulkan pada telapak tangan kiriku. Gelagat kepanikanku akhirnya diketahui Pakdhe. Beliau lalu berkata, “Istighfar..”Aku lantas menarik napas, lalu membuangnya berharap masalah ini ikut tebuang bersama hembusan napasku.

Sesampainya di rumah sakit, Pakdhe menggandeng tanganku dan berlari kecil menuju kamar No. 56. Mas Pras yang menggandeng Tyo mengekor di belakang kami. Tidak ada yang bahagia dengan kabar kepulangan Ibu. Padahal, kabar ini yang paling aku tunggu selama beberapa hari ini.

Seperti biasa, aku menghitung...54, 55, dan 56.. Dan..aku lihat seorang wanita nampak gelisah melihat kanan dan kiri, seperti menunggu sesuatu. Iya , itu Ibu. Sekonyong-konyong aku berlari menuju Ibu. Kali ini Ibu yang meraih badanku dengan buru-buru, lalu memelukku. Seperti biasa, erat sekali. Tapi, ini bukan pelukan Ibu yang biasanya. Aku rasa ada yang janggal, entah apa.

“Ibu ndak jadi operasi.” Dengan menyeka air matanya, Ibu membuka pembicaraan.

Aku bingung harus bagaimana meresponnya. Di satu sisi aku jelas bahagia Ibu tidak jadi operasi dan akan pulang, tapi di sisi lain aku kalut. Bapak yang usai berbicara empat mata dengan Mas Pras terlihat lesu di pojok kamar. Kepalanya disangga oleh tangan kanannya yang ditumpu oleh kaki kanan  yang ditekuknya. Mas Pras seperti biasa, raut wajahnya tak bisa terbaca dengan jelas, tapi aku tahu ada yang disembunyikan. Ia hanya pura-pura terlihat baik-baik saja, sebenarnya tidak.

Malam itu Ibu diwajibkan untuk menginap lagi satu malam. Semalaman Ibu menangis, dan memelukku tiada henti. Ibu mengajakku tidur di atas ranjang rumah sakit. Aku memang yang paling dekat dengan Ibu, kami berbagi tempat tidur yang semestinya hanya untuk pasien saja. Tapi Ibu tida peduli, dia tetap mengajakku tidur berdua. Seolah beliau tidak mau jauh dariku, begitupun dengan aku.

“Nduk, Ibu kena penyakit parah. Tapi kamu ndak perlu khawatir. Ibu akan berjanji untuk sembuh, Nduk. Ibu akan menemanimu sampai kamu menikah nanti, sampai kamu punya anak. Ibu akan berusaha, Nduk.. Doakan ya.”  Kata-kata Ibu menghujam jantungku. Aku hanya bisa menangis terisak sambil memeluk Ibu.

“I .. I.. Ibu sakit apa?” Aku kuatkan hati untuk bertanya, sebuah pertanyaan yang aku tahan sejak tadi. Sebuah pertanyaan yang sejujurnya aku sendiri tidak ingin mendengar jawabannya, tapi aku tetap bertanya.

“Ndak kok, Nduk. Sudah, tidur ya..” Ibu sangat menutupinya, Beliau memaksaku tidur dan aku tak kuasa menolaknya.

Benar-benar malam paling kelabu, dan aku masih berharap ini mimpi. Atau ini cuma sandiwara, dan tiba-tiba “Surprise..selamat ualang tahun Riya..” . Pikiran bodoh itu mulai menggelayuti sistem kerja otakku.
Keesokan harinya kami pulang ke Wonogiri, kepulangan Ibu yang awalnya aku idam-idamkan kini justru menyakitkan. Ibu masih murung, tapi tetap berusaha tersenyum. Setibanya di rumah, banyak yang  menjenguk Ibu. Kabar kepulangan Ibu dengan cepat menyebar di seantero kampung. Tapi, dalam keadaan seperti itu Ibu masih memepedulikanku. Beliau memintaku untuk membeli kentang di warung sebelah rumah. Beliau bilang akan merebuskan kentang untukku. Iya, aku sangat suka kentang rebus. Dan semenjak Ibu dirawat di rumah sakit aku sudah tidak pernah makan kentang rebus lagi. Aku tak habis pikir, Ibu mengingat hal sesepele itu di tengah cobaan berat yang beliau hadapi.

Ibu.. Ibu.. Tangguh sekali dirimu. Entah penyakit apa yang tengah mengerogoti tubuhmu tapi aku tahu itu penyakit parah. Namun, semangat hidupmu demi aku, demi kelurgamu, adalah bukti betapa luar biasanya engkau. Bahkan, untuk kesembuahnmu, kau perjaungkan untuk aku dan keluarga. Aku sayang Ibu, sungguh sangat sayang.

No comments:

Post a Comment