Wednesday, February 5, 2014

Kisah Tanpa Judul 2

Seminggu setelah kepulangan Ibu aku masih tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Yang aku tahu suasana di rumah sangat buruk, menyedihkan sekali. Ibu selalu menggunakan bahasa-bahasa medis setiap kali menceritkan tentang penyakitnya kepada teman-teman atau sanak saudara, aku tak paham. Sel-sel ganas yang berkembanglah, apalah, aku sudah berusaha keras untuk memahami tapi memang pengetahuanku belum sampai sana. Apalagi Ibu memang menggeluti bidang Biologi, makin aneh-aneh saja istilah yang dipakai. Aku pasrah dan hampir menyerah untuk mencari tahu. Namun malam itu, ketika aku meninggalkan kamar dan tidur di samping Ibu. Percakapan Bapak dan Ibu akhirnya menjadi kunci semua tanya, memecah semua penasaran, dan sekaligus menghancurkan harapan-harapan tentang Ibu.

“Besok kita ajak anak-anak saja Bu untuk kemoterapi ke Jogja.” Bapak membuka percakapan.

“Apa harus kemoterapi, Pak? Ibu belum siap.” Ibu menimpali dengan suara bergetar.

“Bu, kanker tulang itu sudah  stadium lanjut bahkan sudah menyebar sampai ke paru-paru. Kita harus cepat mengatasinya. Ibu harus tetap kemoterapi, itu jalan satu-satunya untuk saat ini, setidaknya untuk menghentikan perkembangan sel-sel itu.”

“Tapi, Pak. Apa Ibu kuat? Dampak dari kemoterapi itu luar biasa.”

“Pasti! Semua mendoakan Ibu, tidak perlu ada yang dicemaskan. Kita lewati semua ini bersama-sama. Ibu tidak boleh takut.”

Kata ‘kanker’ sudah membuatku terisak sejak tadi, namun sekuat tenaga aku berusaha menutup mulut rapat-rapat. Aku tak mau Ibu dan Bapak mendengar isakanku. Ingin rasanya detik itu juga aku memeluk Ibu, berharap apa yang aku dengar semua tak ada yang benar, atau setidaknya Ibu mau meberikan penjelasan yang jauh lebih bisa membesarkan hatiku. Namun aku tak mau mengacaukan yang memang sudah kacau: hati Ibu. Seketika hawa dingin menusuk tubuhku, memilin ulu hati, perih sekali. Aku tak pernah merasa setakut ini sebelumnya, tak pernah. Ya, aku sangat takut kehilangan Ibu.


***

“Wah, asyik Mbak! Kita ke Jogja lagi, nanti temani Tyo jalan-jalan di lorong rumah sakit seperti waktu itu ya.” Tyo nampak girang, anak ini tak tahu bahwa ke Jogja adalah duka, tak ada kebahagiaan sama sekali.

“Iya, gampang, asal kamu jangan mengganggu Bapak dan Ibu ya!” Aku tak mau Tyo masuk dalam gumparan duka sepertiku. Biar dia tetap girang, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, biarkan.

Dua jam perjalanan membawa kami –kembali— ke rumah sakit. Kali ini dengan rasa yang lebih sesak. Masih di bangsal yang sama namun di kamar nomor 53.

“Ah, harusnya Ibu di kamar nomor 56 saja.” Tyo nampak kecewa.

“Memangnya kenapa?” Tanyaku singkat sambil terus berdoa melihat Ibu sedang berjuang untuk kemoterapai.

“Kalau di kamar nomor 56 dulu kan Ibu tidak disuntik dan dipasang selang-selang begitu Mbak tangannya. Ibu kasihan kan kalau begitu sakit semua tangannya.” Jawaban Tyo membuat aku tersenyum kecut. Seandainya kau tahu, Dik. Ini bukan lagi soal kamar nomor berapa, tapi ini soal penyakit ganas yang sedang menggerogiti tubuh Ibu.

Aku tak kuasa menimpali perkataan Tyo, dia benar-benar terlalu belia untuk menghadapi ini semua. Kusaksikan wajah Ibu pucat, beberapa suster nampak sibuk mempersiapkan ini itu. Sebuah infus yang  berisi obat pembasmi sel-sel biadab itu mulai menetes setetes demi setetes,  lantas pasrah saja meluncur di selang kecil dan masuk ke dalam tubuh Ibu. Persis seperti kabar yang semalam kudapat hasil menguping percakapan Bapak dan Ibu, sebuah percakapan tak biasa yang kemudian sedikit demi sedikit terdengar oleh telingaku lantas masuk menghujam hatiku.

“Sakit, Bu?” Tanyaku pelan sambil menggenggam tangan Ibu.

“Tidak, kan rasanya cuma seperti suntik biasa. Riya saja tidak pernah nangis kan kalau disuntik, Ibu juga tidak mau kalah.” Ibu masih berusaha bercanda, meski aku tahu hatinya diselimuti banyak ketakutan.

“Ya, semoga tubuhnya mau menerima obat itu, Pak. Sehingga dampaknya tidak terlalu berat. Tapi nanti pasti setelah cairan itu masuk tubuh pasien akan lemas, atau bahkan sampai muntah-muntah. Dipersiapkan ya, Pak.  Beruntung kali ini darahnya normal dan kita tak perlu melakukan transfusi darah. Semoga upaya kemoterapi ini berjalan lancar.” Dokter yang menangani Ibu sedikit memberi penjelasan kemudian berlalu setelah memastikan semua berjalan sesuai prosedur.

Semenjak itu berminggu-minggu Ibu harus bolak-bali rumah sakit untuk menuntaskan paket kemoterapinya. Ketika kemoterapi kedua Ibu harus melakukan transfusi darah, Bapak yang menjadi pendonornya. Kemoterapi ketiga pun tak jauh berbeda, Ibu harus transfusi darah, dan kali ini Mas Pras yang mendonor. Dan untuk kemoterapi berikutnya Bapak harus mencari darah di PMI setempat. Berulang kali aku merengek untuk ikut donor darah, dan berulang kali pula Bapak memberi penjelasan bahwa usiaku belum cukup, sangat berbahaya. Mulai detik itu, aku berjanji pada diriku sendiri,  jika usiaku sudah cukup untuk donor darah aku akan donor darah. Ya setidaknya untuk mengganti darah orang baik yang menyelamatkan Ibu.

Tak terasa kemoterapi benar-benar dahsyat. Sedikit demi sedikit obat keras itu tak hanya menhancurkan sel kanker, tapu juga daya tahan tubuh Ibu. Ibu terlihat kurus, dan rambutnya perlahan mulai rontok. Setiap helai rambut yang rontok, dengan telaten aku mengumpulkannya dan Tyo sering bilang pada Ibu, “Rambut Ibu akan tumbuh lagi nanti, lebih lebat dari yang sekarang.”  Ibu terharu dan mengacak rambut Tyo kemudian memeluk erat kami berdua.


***


Sebulan kemudian, sehari setelah Ibu  kemoterapi, petaka besar hadir lagi. Seperti biasa, usai singgah sebentar di Perpustakaan aku bergegas pulang. Suasana rumah sangat lengang, meski pintu tak dikunci tapi tak ada tanda-tanda kehidupan. Aku panik, memangil Ibu dan Bapak bergantian di seantero rumah. Setelah putus asa karena tak menemukan mereka seorang tetangga datang menjawab kegusaranku.

“Nduk, Nduk. Sing sabar ya ngger. Ibu tadi jatuh lalu kakinya patah dan sekarang dibawa ke rumah sakit Solo.” Mbak Mirna bergetar menceritakan apa yang terjadi sambil terus memelukku.

Aku lemas, lemas selemas-lemasnya. Kuraih gagang telpon, menekan nomor telepon Bapak dengan kesetanan. Air mataku entah sudah membasahi apa saja.

“Bapak. Ibu gimana? Sekarang dimana? Aku mau ngomong sama Ibu.” Dengan suara parau dan emosi yang sangat tak terkontrol aku membuka percakapan.

“Ibu tidak apa-apa kok. Sekarang sedang istirahat. Nanti kalau Mas Pras sudah pulang suruh menelpon Bapak ya. Kamu tidak usah memikirkan yang tidak-tidak.” Bapak coba menenangkan namun dari gelagat bicaranya dan tergesa-gesa menutup telpon aku amat paham keadaannya jauh dari kata baik-baik saja.

Aku risau sekali menunggu Mas Pras di depan pintu, Tyo sudah kuminta tenang dan jangan banyak tanya. Tak lama, dengan senandung yang lirih Mas Pras datang. Buru-buru aku ceritakan semuanya, dan ceritaku sempurna menghentikan senandung lirih Mas Pras. Dengan sigap dia langsung meraih gagang telepon, lebih kesetanan dari aku. Entah apa yang Bapak dan Mas Pras perbincangkan, yang jelas sore itu aku, Tyo, dan Mas Pras bergegas ke tempat Ibu dirawat.

Dalam perjalanan kami bertiga hanyut dalam hening masing-masing. Aku hanya ingin cepat sampai, dan memastikan kondisi Ibu. Itu saja.

Sesampainya di rumah sakit aku langsung menghambur menuju tempat Ibu dirawat. Kusaksikan wajah itu makin sayu, dengan selang infus dan berbagai alat medis yang tak aku mengerti. Kau tahu, detik itu bahkan aku tak mampu menangis. Ibu diam saja, tak bergerak, tak menyambut kehadiranku seperti biasanya. Bapak dengan sigap meraih tubuhku dan Tyo, meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Aku percaya kata Bapak, sangat percaya. Kemudian Ibu sadar, merintih sebentar dan kembali menahan.

“Ibu kenapa Pak?” Dengan susah payah menahan sesak aku bertanya.

“Tadi jatuh di kamar mandi dan lututnya mungkin patah. Ibu sangat kesakitan, kalian doakan ya biar sakitnya cepat hilang.” Bapak masih memeluk tubuhku dan menjelaskan dengan suara bergetar, aku tahu Bapak juga menahan tangis.

Aku tak bisa berbicara dengan Ibu, karena beliau harus istirahat total. Tak mau menyusahkan akhirnya dengan besar hati aku terima kondisi ini. Aku akan menunggu kondisi Ibu membaik kemudian mengajaknya bercerita seperti biasanya.

Keesokan harinya aku, Tyo, dan Mas Pras kembali ke rumah. Kali ini aku lebih nurut untuk diajak pulang. Tidak mau menambah beban pikiran Bapak dan terutama Ibu.

Hari-hari kembali terlalui tanpa Bapak dan Ibu. Pekerjaan rumah dan lain sebagainya tentu saja sudah bukan hal baru bagiku, tapi tak mendengar suara Ibu adalah hal baru yang amat menyiksa. Kondisi Ibu menyita banyak perhatianku, mengkesampingkan Ujian Nasional yang sebentar lagi datang. Pada saat itu aku hanya minta untuk dikuatkan, aku tak mau roboh oleh masalah-masalah ini. Biar banyak yang bilang aku masih kecil, banyak yang bilang ini terlalu berat untuk aku lalui. Tapi aku tidak suka dikasihani, aku kuat dan aku mampu. Sungguh!

No comments:

Post a Comment